Spitfire Funds mulai populer dan didukung penuh oleh Lord Beaverbrook yang menjabat Ministry of Aircraft Production pada tahun 1940. Merupakan konsep sejenis war bond untuk membantu memproduksi peralatan perang sekaligus sebagai perwujudan keikutsertaan masyarakat Inggris dalam menghadapi Perang Dunia II.
Walaupun mengambil nama Spitfire tapi sumbangan ini tidak hanya untuk membeli pesawat tipe itu saja. Diambil nama Spitfire karena dianggap salah satu pesawat tempur paling modern saat itu dan terkenal.
Satu Supermarine Spitfire (atau pesawat tempur bermesin tunggal lainnya) dihargai sebesar 5000 poundsterling, harga teoritis karena ongkos produksi bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Sumbangan bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, perkumpulan, bahkan komunitas masyarakat. Sebagai imbal balik, para penyumbang berhak membubuhkan namanya di badan Spitfire. Tidak hanya di Inggris, penggalangan dana dilakukan di negara-negara Persekmakmuran Inggris. Bahkan ada dana yang mencukupi sampai satu skuadron sehingga skuadron itu diberi nama kehormatan berdasarkan negara atau distrik penyumbangnya.
Penggalangan dana Spitfire Funds ini juga dilakukan di Hindia Belanda. Bulan Mei 1940, Belanda dikuasai Jerman dan pemerintahan pengasingan Belanda segera berdiri di London untuk melanjutkan perjuangan. Spitfire Funds merupakan dukungan langsung masyarakat Hindia Belanda dalam melindungi Sang Ratu saat Battle of Britain.
Bahkan tidak hanya uang, dilakukan pula mobilisasi sumbangan dalam bentuk bahan mentah yaitu alumunium. Jadi setiap masyarakat Hindia Belanda bisa menyumbang mulai dari kaleng minuman ringan sampai panci, alumunium ini nantinya dikumpulkan dan dibawa dengan kapal laut dari Tanjung Priok menuju Inggris.
Saat Perdana Menteri Winston Churchill berulang tahun ke-66, via telegram memberitahukan bahwa masyarakat Hindia Belanda lewat organisasi Spitfire Funds memberikan hadiah tujuh Spitfire dan diberi nama : Ceram, Batavia, Bandoeng, Merapi, Soebang, Toba, dan O.A.B, seperti termuat pada London Times tanggal 30 November 1940.
Ilustrasi di Harian de Locomotief tanggal 1 Maret 1941 karya J. Salatun (nama samaran Jacob).
Setelah Battle of Britain, kampanye Spitfire Funds (dan penggalangan dana sejenis) di Hindia Belanda terus dilakukan, kali ini untuk kepentingan Komando ABDA (America British Dutch Australia) dalam menghadapi Jepang saat pecah Perang Pasifik akhir 1941.Sekali lagi kampanye ini gencar dilakukan lewat radio, poster, dan ilustrasi di surat kabar. Salah satu ilustrasinya adalah karya J. Salatun dengan nama samaran Jacob yang masih duduk di kelas 7 HIS Purwokerto, termuat dalam Harian de Locomotief tanggal 1 Maret 1941.
Sayangnya jumlah pesawat yang diperoleh dari Spitfire Funds tidak terlalu pasti, diperkirakan mencapai lebih dari 2000 unit, meliputi pesawat tempur, pembom, angkut, bahkan pesawat latih– Spitfire diperkirakan sekitar 1500 unit. Melacak nama-nama yang tertera di pesawat sebagai penyumbang juga sama sulitnya, bukti dokumentasi foto-foto hanya bisa diperoleh sebagian saja.
Yang lebih parah, hanya satu yang berhasil diselamatkan dan masuk museum sebagai bukti otentik Spitfire Funds. Tapi setidaknya pesawat ini merupakan Spitfire IIB sumbangan dari masyarakat Hindia Belanda, bertuliskan Soebang, dan sekarang menjadi koleksi Canadian War Museum di Ottawa, Kanada. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Sesungguhnya perang udara Battle of Britain Agustus-September 1940 memang benar-benar menguras sumberdaya RAF baik materil (pesawat) maupun SDM (pilot) sehingga Inggris terpaksa membentuk skadron-skadron pemburu legiun asing yg terdiri dr pilot pelarian sekutu Eropa. Para pilot AU Prancis, AU Polandia, AU Ceko (yg terpecah krn AU Slovakia memihak Jerman), AU Norwegia, AU Belgia, termasuk pula AU Belanda.
Mereka kabur ke Inggris krn organisasi dan perlengkapan mereka telah hancur dlm pertempuran periode sebelumnya melawan Jerman-Italia. Oleh Inggris mereka diserap utk mengawaki pesawat baru keluaran pabrik ke dlm skadron-skadron baru RAF.
Para penerbang Koninklijke Luchtmacht (KLu) ini lalu ditampung ke 322 Squadron dan dilatih menerbangkan pemburu Spitfire. Sepanjang Perang Dunia Kedua RAF juga membentuk 320 Sqd pembom medium B-25 Mitchell Mk. II dan 321 Sqd pembom maritim B-24 Liberator VI yg diawaki para penerbang Belanda.
Usai PD 2, RAF melakukan demobilisasi besar-besaran. Skd 322 dilepas (detach) kembali kpd KLu (AU Belanda) beserta pesawatnya Spitfire Mark. IXc ke Twente. Status Skd 320 di-detach ke Marine Luchvaart Dienst (Disnerbal Belanda) namun bomber Mitchell Mk. II mereka hrs ditinggal di RAF Dunsfold utk di-scrap krn Inggris berniat menghapus medium bomber bermesin piston. Semua awaknya pulang ke Valkenburg utk berlatih dgn Grumman TBM Avenger hibah US Navy.
Sedangkan nasib Skd 321 jg serupa, yaitu dikembalikan ke MLD. Pesawat pembom berat Liberator Mk. VI yg selama perang berpangkalan di Srilanka digeser ke RAF Kemayoran utk membantu tugas supply drop dan pemulangan interniran di Jawa. Namun tugas ini tdk berlangsung lama sebab memasuki 1946 Inggris berniat mundur dari Hindia Belanda pulang ke Malaya. RAF memerintahkan MLD utk membawa Liberator mereka ke Kalibanteng, Semarang utk di-scrap. Di sana semua Liberator dihancurkan dgn dynamite. Awak Skadron 321 MLD hrs puas kembali menerbangkan PBY Catalina dan Dakota limpahan Inggris. Bisa dibayangkan apabila B-24J Liberator belanda ini masuk daftar pindah tangan KMB 1949. AURIS bakal mjd operator pembom berat Liberator ketiga Asia setelah AU Kuomintang Cina dan AU India. Namun demikian takdir berkata lain.
Kembali ke kisah Skadron 322 dengan Supermarine Spitfire-nya. Ternyata serangan teror udara “Serangan Fajar” 29 Juli 1947 yg dilakukan AURI cukup berdampak psikologis buat NICA. Skadron-skadron pemburu Militaire Luchtvaart (AU KNIL) telah kehabisan nafas. Pangkalan udara Semarang, Batavia, dan Bandung merasa blm aman dr serangan serupa selama Maguwo Yogya belum ditaklukkan. Skd 120 ML (P-40N Kittyhawk) di Semarang, Skd 121 ML (P-51D Mustang) di Kemayoran Batavia, dan Skd 122 ML (P-51D Mustang) di Polonia Medan sdh kuwalahan dgn tugas ground fire support pasukan darat KNIL di wilayah yg begitu luas. Skadron pembom Mitchell dan transport Dakota juga resah dgn spekulasi ancaman pemburu Ki-43 Hayabusa dan Ki-27 Si Banteng milik AURI.
Akhirnya Kabinet Belanda memutuskan utk mengirim Skd 322 KLu ke Hindia Timur. Skadron ini dipandang berpengalaman dlm tugas buru sergap melawan bomber dan pemburu Jerman semasa perang. Alhasil Spitfire Mk. IXc mulai mendarat dan berpangkalan di Kalibanteng Semarang sejak Februari 1948. Tugas Spitfire yg hrs dibayar dgn jatuhnya sejumlah pesawat dlm kecelakaan operasional jg tdk berlangsung lama krn pd 27 Desember 1949 Belanda harus mengakhiri kolonialismenya di Indonesia. Konferensi Meja Bundar tidak menetapkan transfer Spitfire ke AURIS krn merupakan asset AU Negeri Belanda dan bukan asset AU KNIL. Skadron 322 kemudian memboyong Spitfire yg tersisa pulang ke Twente. Tak lama berselang, pd 1952 skadron ini beralih ke pemburu bermesin turbojet Gloster Meteor mark 4.
Sbg penutup berkaitan dgn artikel Aviahistoria di atas adalah betapa Spitfire Funds yg dibiayai para Sinyo Hindia dan diawaki para penerbang Belanda telah impas terbayar tunai dengan kembalinya Skadron 322 ke Koninklijke Luchtmacht lengkap dgn segala pengalaman tempur dan romantikanya.
SukaSuka
Nice info! Nanti mungkin ada ulasan sendiri untuk Squadron 322 ini.
SukaSuka