Mendapat banyak aset hasil sitaan perusahaan yang berafiliasi dengan Pemerintahan Orde Lama, membuat TNI-AD lewat yayasan yang dibentuk untuk mengelolanya, Yayasan Dharma Putra-Kostrad dan Kartika Eka Paksi mendirikan maskapai penerbangan.

Ide yang cemerlang mengingat Pemerintahan Orde Baru lewat Kebijakan Multi Airlines System 1968 membolehkan berdirinya maskapai-maskapai penerbangan baru untuk bersaing dengan dua maskapai penerbangan yang sudah ada, Garuda Indonesian Airways (GIA) dan Merpati Nusantara Airlines (MNA).

Banyak rute-rute di Indonesia yang belum dilayani maskapai penerbangan, padahal rute tersebut potensial terlebih lagi kebijakan ekonomi Pemerintah Orde Baru yang memusatkan pada eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam serta pariwisata.

Dakota-Zamrud
Douglas C-47/DC-3 milik Zamrud Aviation Corp. Berbasis di Denpasar, Bali, pesawat ini biasanya digunakan melayani turis backpacker asal Australia.

Dari kedua yayasan itu tidak tanggung-tanggung melahirkan empat maskapai penerbangan sekaligus : Seulawah Air Services, Mandala Airlines, Zamrud Aviation,  dan Sempati Air Transport. Awalnya sukses namun perlahan-lahan menyurut. Kalah bersaing, mismanagemen, dan kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang profesional menjadi beberapa faktor di antaranya. Belum lagi ada hal yang tergolong konyol tapi wajar pada waktu itu, wajib mendukung partai berkuasa Golongan Karya (Golkar), sehingga uang yang terkumpul bukannya untuk kemajuan perusahaan melainkan untuk kepentingan politik.

Dari ketiga ini hanya dua yang bisa bertahan, Mandala dan Sempati. Sebagai catatan Seulawah dan Zamrud dinyatakan bangkrut lalu digabung dengan Mandala. Kebetulan pimpinan ketiga maskapai itu dipegang oleh satu orang, Brigadir Jenderal Sofyar sehingga penggabungannya menjadi relatif mudah.

Sebenarnya pada akhir 1970-an itu Mandala juga hampir bangkrut, hanya memiliki dua pesawat Vickers Viscount (satu di antaranya berstatus US/Unserviceable), tapi berkat usaha keras pimpinan Mandala yang baru, Marsekal Muda Santoso Suharto–mantan Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines (MNA) periode 1967-1975–krisis keuangannya berhasil diatasi. Caranya adalah dengan ikut serta dalam bisnis penyelenggaraan penerbangan haji dari tahun 1975 sampai 1979. Dari hasil keuntungan itu dipakai untuk menghidupkan kembali armada lama dan membeli beberapa Lockheed L188 Electra.

Fokker-F27-SempatiFokker F27 milik Sempati Air Transport, digunakan untuk operasi penerbangan tidak hanya domestik tapi juga ke manca negara.

Sempati menjadi yang paling sehat karena agresif, tidak terlalu mengandalkan pasar domestik, dan tidak manja dalam berbisnis. Pesawat turboprop Fokker F27 andalannya melakukan layanan terbang sewa/carter ke Singapura, Vietnam dan Kamboja walaupun wilayah itu berkecamuk perang, bahkan sampai ke Amerika Latin (Brasil). Selain itu dengan menyewa Boeing 707 dari Pelita Air Service, Sempati melakukan diversifikasi usaha, membawa turis asal Jepang berkunjung ke Bali.

Ternyata menjadi maskapai sehat justru mendatangkan musibah. Tangan-tangan kekuasaan keluarga Cendana lewat PT. Truba mengambil alih manajemen Sempati pada akhir 1980-an. Mulanya sangat luar biasa, Sempati berkembang pesat, banyak armada didatangkan untuk menjaring banyak penumpang. Sempati bahkan dianggap maskapai nasional nomor dua setelah Garuda Indonesia, dinilai dari jumlah armada dan penumpang yang berhasil diangkut. Tapi kemajuan Sempati itu hanya tampak indah di luar, di dalamnya keropos, dan saat Indonesia dilanda krisis moneter, Sempati langsung jatuh bangkrut pada tahun 1998.

Lockheed-Electra-Mandala
Lockheed L188 Electra milik Mandala, masih digunakan sampai tahun 1995 sebelum digantikan Boeing 737-200Adv.

Sedangkan Mandala masih bertahan seraya melakukan modernisasi perlahan, mengganti armada Lockheed L188 Electra dengan Boeing 737-200Adv. Pesawat jet ini justru pada tahun 2005 menghempaskan nama Mandala, saat pesawat beregistrasi PK-RIM jatuh di jalanan kota Medan.

Berkat investasi dan manajemen dari luar negeri, Mandala berusaha memulihkan reputasinya dengan mendatangkan pesawat lebih modern Airbus A320. Usaha ini sebenarnya cukup berhasil namun maskapai ini beralih model bisnis baru, dari penerbangan medium (yang sudah baik dan dikenal lama) ke penerbangan murah. Peralihan inilah yang menjadi awal kehancuran Mandala, karena bersaing dengan pemain kuat yang sudah lebih dahulu hadir, Lion Air dan AirAsia.

Mandala mendapat uluran investasi tambahan dari IndiGo walaupun rela kehilangan sebagian identitasnya menjadi Tigerair-Mandala. Usaha ini ternyata bukan obat mujarab karena Tigerair juga mengalami kesulitan keuangan. Tigerair-Mandala menghentikan penerbangannya sekaligus dinyatakan bangkrut pada tahun 2014. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)