Berdasarkan Peraturan Pemerintah/PP No.19/1962, sekaligus untuk merealisasikan cita-cita Perdana Menteri Djuanda, maka dibentuklah maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines (MNA) sebagai “jembatan udara di Kalimantan”. Maskapai ini berdiri sebagai perusahaan negara (PN) pada tanggal 6 September 1962.
Sebagai modal awal AURI yang memiliki pengalaman membentuk DAUM (Djawatan Angkutan Udara Militer) dipercaya untuk memimpin dan mengatur MNA. Selain menyediakan sumber daya manusia, AURI menghibahkan dua unit Douglas C-47/DC-3 Dakota dan empat de Havilland DHC-3 Otter miliknya.
Rute yang dilayani Merpati Nusantara pada tahun 1962 itu meliputi Banjarmasin, Pangkalan Bun, Sampit, dan Pontianak, dihubungkan dari Jakarta. Seluruh pesawat yang dimiliki sibuk melayani arus penumpang, terlebih lagi pesaing MNA hanyalah Garuda Indonesian Airways (GIA).
Karena kesibukannya melayani kota-kota utama di Indonesia dan luar negeri, GIA membiarkan MNA menguasai jalur-jalur penerbangan perintis. Jumlah penumpang dari dan menuju Kalimantan membengkak, menjadikan MNA kekurangan armada pesawat. Ditambah lagi dengan adanya mismanagemen, justru membuat armada yang sedikit ini semakin berkurang kemampuan operasionalnya.
Lukisan karya Noordono, dua tipe pesawat modal awal MNA, Douglas C-47/DC-3 Dakota (atas) dan de Havilland DHC-3 Otter (bawah).
Dua Dakota akhirnya menyusut hanya satu unit yang dioperasikan, lainnya dipakai sebagai sumber suku cadang. Demikian pula dengan Otter, karena embargo suku cadang dari pabrik de Havilland di Kanada akibat Kampanye Dwikora, mengalami hal yang sama seperti Dakota. Hasilnya, MNA tidak memiliki armada lagi !
Bantuan datang dari GIA (Garuda Indonesian Airways) pada tahun 1964, dengan menghibahkan armada eks maskapai penerbangan anak perusahaan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) di Papua, yaitu NNGLM (Nederlands Nieuw-Guinea Luchtvaart Maatschappij) atau yang lebih dikenal sebagai de Kroonduif. Armada hibah itu meliputi tiga unit Dakota, dua unit Scottish Aviation Twin Pioneer, dan sebuah de Havilland DHC-2 Beaver. Selain armada, GIA juga memberikan konsesi jalur penerbangan di Papua.
Walaupun Kampanye Dwikora berakhir seiring dengan runtuhnya pemerintahan Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, MNA tidak berminat lagi untuk mengoperasikan lebih jauh kedua pesawat ini seiring dengan kebutuhan modernisasi armada. Dakota eks de Kroonduif digantikan oleh pesawat Hawker Siddeley HS 748 sedangkan Otter digantikan oleh adiknya, DHC-6 Twin Otter pada awal 1970-an. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)