Awak kabin pesawat yang dikenal sebagai pramugari/pramugara, sangat penting perannya dalam pengoperasian pesawat komersial. Maskapai penerbangan flag carrier Garuda Indonesian Airways (GIA) yang terbentuk lewat akta notaris pada tanggal 31 Maret 1950, memiliki hubungan erat dengan maskapai penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) asal Belanda.

Kedua maskapai ini saling membantu sebagai perusahaan patungan dan terutama dalam pengadaan sumber daya manusia termasuk awak kabin. Saat GIA mulai beroperasi praktis awak kabinnya mayoritas berkebangsaan Belanda, banyak di antaranya merupakan awak kabin KLM, hanya segelintir yang berkebangsaan Indonesia. Manajemen GIA lantas mendirikan pusat pelatihan awak kabin di Bandara Kemayoran bernama Urusan Pendidikan, berada di bawah Departemen Personalia GIA, sebagai cara agar mandiri dari KLM dan merekrut lebih banyak awak kabin berkebangsaan Indonesia.

Kru-Kabin-GIA-1Gedung Urusan Pendidikan di Bandara Internasional Kemayoran. Operasionalnya di bawah Departemen Personalia GIA.

Mulanya memang sulit, lowongan awak kabin hanya sedikit diminati. Selain karena dunia penerbangan masih baru, kebanyakan keluarga di Indonesia masih berpikir sangat tradisional, tidak ingin anak perempuannya bekerja sampai jauh malam dan bahkan bermalam di luar kota. Belum lagi ucapan sinis bahwa moda angkutan udara dinilai berbahaya, awak kabin cuma dinilai sebagai pembantu rumah tangga di udara.

Tapi perlahan-lahan stigma itu mulai memudar apalagi dengan iming-iming gaji tinggi yaitu Rp 2.100,-/bulan, bandingkan dengan gaji guru yang sebesar Rp 1.500,-/bulan pada waktu itu. Awak kabin yang lulus pendidikan akan bekerja melayani penumpang di pesawat milik GIA yang mayoritas didominasi oleh Douglas C-47/DC-3 Dakota dan Convairliner 240/330/440, serta de Havilland DH 104 Heron dan pesawat amfibi PBY Catalina yang singkat masa operasinya.

Pendidikan pada era 1950-an memang sangat bergaya Belanda dan mengikuti manajemen KLM. Setiap calon awak kabin dilatih selama tiga bulan dengan bahasa pengantar selama pendidikan adalah bahasa Belanda, tentunya awak kabin juga harus mengerti bahasa Inggris baik untuk komunikasi maupun menulis sebagai bahasa internasional di dunia penerbangan.

Nasionalisasi GIA yang dimulai pada tahun 1954 membuat pendidikan awak kabin diserahkan kepada orang Indonesia tapi kebanyakan masih menggunakan kurikulum ala KLM selain memberikan tambahan materi lokal.

Kru-Kabin-GIA-2
Pelatihan awak kabin juga meliputi pelajaran pengenalan setiap pesawat yang dimiliki GIA.

Maraknya pemberontakan di mana-mana khususnya pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1957 membuat awak kabin GIA mendapat tugas baru sebagai wajib militer, diperbantukan ke dalam DAUM (Djawatan Angkutan Udara Militer) AURI.

Begitulah sekilas kisah awal awak kabin GIA dan karena maskapai ini menjadi satu-satunya perusahaan penerbangan di Indonesia, praktis angkatan pertama awak kabin lulusan Urusan Pendidikan menjadi awak kabin pionir di Indonesia, salah satu di antaranya adalah Suryati Subali, istri dari Laksamana Udara Roesmin Nurjadin, mantan KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) periode tahun 1966-1969.

Saat ini  Urusan Pendidikan, Bandara Kemayoran sudah tidak ada. Seluruh pendidikan dan diklat awak kabin Garuda dipindahkan ke Duri Kosambi, Cengkareng–saat ini dikenal dengan nama GITC (Garuda Indonesia Training Center)– seiring dengan kepindahan manajemen dan seluruh fasilitas penerbangan Garuda ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta mulai pertengahan 1980-an. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)