Militer Hindia Belanda yang disebut KNIL (het Koninklijke Nederlands-Indische Leger) memiliki kesatuan udara bernama LA (Luchtvaartafdeling) yang awalnya terbentuk pada tahun 1915 dengan nama awal PVA (Proefvliegafdeling).

Terinspirasi dari Perang Dunia I dan melihat betapa pentingnya pesawat tempur bagi pertahanan udara suatu negara, LA mulai membentuk skadron buru sergap pada tahun 1922. Pesawat yang pertama kali dipakai adalah Fokker DC.I, pesawat tempur berawak dua. Memang bukan pesawat tempur murni yang diinginkan karena kemampuannya lebih condong sebagai pengintai.

Baru pada tahun 1924, LA-KNIL memiliki pesawat tempur sesungguhnya, Fokker DVIII. Pesawat ini bermesin Siddeley Puma buatan Inggris dan dibeli sebanyak enam unit. Walaupun dinilai sebagai pesawat tempur terbaik pada Perang Dunia I, penggunaan DVIII tergolong terlambat, dianggap sudah ketinggalan zaman, dan hanya dipakai selama empat tahun saja. Satu per satu rusak dengan hanya menyisakan satu unit untuk mempertahankan keterampilan terbang.

Untuk itulah pada tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda meminta pengadaan pesawat tempur baru dari pemerintah Belanda. Belanda memperbolehkan asal wajib menggunakan produk dalam negeri yaitu Fokker DXVI. Masalahnya LA-KNIL sudah menetapkan pilihan pada pesawat tempur buatan Amerika Serikat, Curtiss P-6 Hawk  yang telah mendemonstrasikan kemampuannya di Andir oleh pilot kawakan, Letnan James Doolittle. LA mau mengalah asalkan Fokker DXVI menggunakan mesin buatan Amerika Serikat, Curtiss Conqueror yang lebih superior.

Curtis-P6-2
Curtiss P-6 Hawk (C-313) saat berkunjung ke lapangan terbang milik MLD (Marineluchtvaartdienst) di Morokrembangan pada tahun 1932.

Awalnya Fokker menyanggupi tapi kenyataannya produksi terhambat. Pemerintah Belanda mengalah, sehingga akhirnya LA memperoleh yang diinginkan, delapan P-6 Curtis Hawk dan pengiriman pertama tiba pada bulan Mei 1931 (diberi registrasi C-307 s/d C-314).

Tangan-tangan kekuasaan kembali beraksi dengan memaksa LA membeli produksi dalam negeri. Pesanan kedua P-6 Curtiss Hawk wajib dibuat oleh pabrik dalam negeri, Aviolanda yang sebenarnya belum berpengalaman memproduksi pesawat tempur secanggih P-6.

Selain harganya lebih mahal, performanya dinilai kurang bila dibandingkan produksi Curtiss. Tapi tak ada pilihan lain, dana tidak akan turun bila tidak membeli dari Aviolanda. Ada enam unit P-6 produksi Aviolanda ini (diberi registrasi C-315 s/d C-320) dibeli oleh LA-KNIL.

P-6 bersenjata dua senapan mesin Colt-Browning kaliber 7.62 dan 12.7 mm ini menjadi kekuatan 1e Vliegtuig Afdeling (Skadron Terbang 1) yang tergabung dalam 1e Vliegtuiggroep (Grup Terbang 1) berkedudukan di Andir, Bandung. Pilot-pilot LA sangat puas, selain lincah juga memiliki daya tahan terhadap gaya gravitasi (G force) yang lebih tinggi, memungkinkan P-6 menyerang sasaran dengan cara menukik, sehingga penembakannya lebih akurat.

Selama beroperasi di LA, satu unit (C-312) hancur saat forced landing di dekat Andir, C-319 kehilangan rodanya ketika terbang rendah namun dapat diperbaiki, C-309 menabrak Gunung Tangkuban Perahu, dan dua unit jatuh karena saling bertabrakan di Rancaekek.

Curtis-P6-3Curtiss P-6 Hawk C-313 di Andir, Bandung. Tampak pilotnya memakai pakaian tebal berlapis untuk terbang tinggi.

Pada pertengahan 1930-an konsep pesawat tempur justru dianggap ketinggalan zaman. Pesawat pembom dianggap konsep pertahanan udara di masa datang, dapat menghancurkan pasukan darat atau laut. Ditambah lagi karena memiliki kecepatan dan sanggup terbang tinggi, tidak dapat disergap/ditembak jatuh oleh pesawat tempur.

Akibatnya bukannya membeli pesawat tempur generasi berikutnya, LA-KNIL justru membeli pesawat pembom buatan Amerika Serikat, Glenn Martin 139 sebanyak dua skadron (1e Vliegtuig Afdeling dan 2e Vliegtuig Afdeling). P-6 disingkirkan ke Kalijati dan dimasukan ke Skadron 3 (3e Vliegtuig Afdeling).

Sisa-sisa P-6 justru dipakai sebagai pesawat latih lanjut untuk melatih calon pilot Glenn Martin. Terakhir pesawat ini dipakai sebagai ground support saat latihan perang bersama Divisi II KNIL di Surakarta pada tahun 1937. P-6 tinggal menjadi pesawat tempur kenangan saat LA berubah nama menjadi ML (Militaire Luchtvaart)  pada bulan Maret 1939. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)