De Havilland DHC-3 Otter adalah pesawat bermesin tunggal yang dapat mengangkut 9-10 penumpang, terkesan tenggelam saat pengadaan alut sista (peralatan utama sistem senjata) dan modernisasi besar-besaran AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) periode tahun 1958-1959 dan awal 1960-an.
Namanya tenggelam mungkin karena tidak tergolong pesawat non-combat seperti pesawat jet MiG atau pesawat angkut ukuran besar seperti Lockheed C-130 Hercules, ditambah lagi jumlahnya tidak banyak. Ada tujuh unit Otter yang dibeli AURI dari Kanada untuk menggantikan Auster di Skadron 4 Intai/Angkut Ringan. Empat unit di antaranya disumbangkan AURI kepada MNA (Merpati Nusantara Airlines) (Baca : Dakota dan Otter, Modal Awal MNA).
Deretan de Havilland DHC-3 Otter (versi beroda dan berpelampung) milik Skuadron 4, siap melaksanakan tugas DAUM ke seluruh wilayah Indonesia.
Tangguh, berkemampuan STOL (Short Take Off Landing) seperti kakaknya, DHC-2 Beaver, tapi sanggup membawa penumpang/kargo lebih banyak, pesawat ini menjadi andalan membuka rute-rute perintis di wilayah Kalimatan, sekaligus melebarkan sayap DAUM (Dinas/Djawatan Angkutan Udara Militer) ke pelosok dan wilayah perbatasan di Indonesia yang sulit terjangkau penerbangan komersial.
Karena kemampuannya ini Otter sebenarnya merupakan pilihan pertama Direktur LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) Nurtanio untuk diproduksi di dalam negeri, tapi karena lisensinya dinilai mahal dan tidak bisa memberikan kredit lunak, maka dialihkan ke PZL-104 Wilga.
Otter digunakan AURI ketika Kampanye Trikora dan Dwikora. Untuk yang terakhir ini karena berhadapan dengan negara Pesekmamuran Inggris, Kanada sebagai salah satu anggotanya mengembargo suku cadang Otter. Hal yang patut dimaklumi, walaupun tergolong pesawat angkut, Otter merupakan ancaman tersendiri. Pesawat ini dapat terbang rendah, mendarat di lapangan terbang sederhana atau dengan float/pelampung, mendarat di tepi sungai atau pantai, untuk menyusupkan sukarelawan dan pasukan reguler ke perbatasan Kalimantan Utara.
De Havilland DHC-3 Otter beregistrasi T-200 versi pelampung, lengkap dengan nama hidung (nosename) “Mahakam”.
Perlahan namun pasti seluruh Otter yang ada baik di AURI maupun di MNA tidak bisa terbang lagi akibat embargo ini. Walaupun Kampanye Dwikora berakhir dengan tumbangnya Orde Lama digantikan Orde Baru dan embargo dicabut, Otter tidak digunakan lagi. MNA lebih memilih menggunakan “adiknya” DHC-6 Twin Otter, sedangkan Skadron 4 membeli CASA NC-212 produksi PT. Nurtanio. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)