Maskapai penerbangan MNA (Merpati Nusantara Airlines) bertekad membangun jaringan kargo udara internasional pada awal tahun 1990-an, namun tidak berhasil.

Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, pemerintah Orde Baru yang sebelumnya sangat tergantung pendapatannya pada sektor migas (minyak bumi dan gas), mencari pendapatan lain dari sektor non-migas. Produk non-migas seperti tekstil sangat besar potensinya tapi sayangnya sarana transportasinya masih sangat kurang khususnya bila diangkut lewat udara.

Berurusan dengan pengangkutan atau bisnis kargo udara bukan hal baru bagi MNA, puluhan tahun dengan memiliki rute perintis di kawasan Indonesia bagian timur, berton-ton kargo telah diantarkan. Kargo ini biasanya bahan-bahan bangunan, bahan makanan, medis, dan kebutuhan pokok lainnya. Walaupun diakui layanan kargo ini merupakan tugas sekunder MNA setelah mengangkut penumpang.

Karena itulah “berdasarkan instruksi dari bapak presiden” bahwa setiap BUMN (Badan Usaha Milik Negara) wajib membantu dan mewujudkan potensi sektor non-migas ini, maka MNA mendirikan anak perusahaan baru bernama PT. Indo Pasifik Merpati Cargo atau cukup disebut Merpati Cargo.

Merpati Cargo menjadi basis pengembangan usaha murni kargo udara bagi MNA. Untuk rute domestik, MNA mengandalkan beberapa unit Fokker F27 yang telah dikonversi menjadi angkut barang. Berikutnya untuk terjun di zaman globalisasi sekaligus untuk mendukung cita-cita pemerintah “menuju era tinggal landas seperti yang dicanangkan dalam Pelita (Pembangunan Lima Tahun) VI”, Merpati Cargo menyewa satu Boeing 707 versi kargo berkapasitas 40 ton untuk ikut bersaing dalam bisnis kargo udara internasional.

Merpati-Cargo-Boeing-707
Boeing 707 aset Merpati Cargo dalam bisnis kargo udara internasional. MNA memberikan nama hidung (nose name) “Borobudur”.

Pesawat beregistrasi LZ-FEB, bernama hidung (nose name) Borobudur, dan dipasang tulisan “The International Air Freighter of Indonesia” di belakang badannya ini mulai mengangkut kargo dengan rute Melbourne-Jakarta-Kolombo-Uganda-Jakarta pada tanggal 28 Juli 1994. Rencana berikutnya rute akan ditambah ke Asia Pasifik, menuju Manila dan Tokyo.

Merpati Cargo menggunakan pola hub and spoke, pesawat perintis seperti de Havilland DHC-3 Twin Otter dan CASA-IPTN NC-212 akan membawa kargo dari desa atau kota kecil menuju kota besar. Dari sana kargo akan diantar Fokker F27 menuju hub utama yaitu Jakarta. Dari Jakarta, kargo itu akan diekspor ke manca negara dengan Boeing 707. Ini juga berlaku sebaliknya untuk kargo impor.

Berhasilkan Merpati Cargo bersaing di kancah internasional ? Sepertinya tidak. Boeing 707 yang disewa saja sudah dikembalikan pada bulan Desember 1994. Kalau dianalisa, MNA ikut terjun ke bisnis kargo internasional sangat terlambat. Di Asia Pasifik saja, pemain kuatnya telah lama ada, punya jaringan kuat, dan ditambah lagi menggunakan armada kargo pesawat terbaru dan lebih besar (Boeing 747-400F) seperti yang dilakukan oleh Singapore Airlines dan Cathay Pasific.

LZ-FEB setelah dikembalikan kepada pemiliknya, lantas disewa oleh Azerbaijan Airlines. Pesawat bermesin empat ini nasib akhirnya tragis, mengalami kecelakaan saat approach di Baku pada tanggal 30 November 1995. Saat kecelakaan, pesawat ini bahkan masih memiliki logo Merpati Nusantara di ekornya ! (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)