DH.114 Heron (Burung Bangau) merupakan pesawat komersial kelas komuter yang kurang dikenal, padahal Indonesia pernah menjadi operator terbesar di dunia tapi tetap saja kisahnya tergolong minim.
Indonesia yang belum genap berumur 10 tahun tidak tanggung-tanggung membeli sampai 14 unit de Havilland Heron tipe 1B—beregistrasi PK-GHA s/d PK-GHP—untuk GIA (Garuda Indonesian Airways) ! Jumlah yang sangat besar dan menjadikan GIA sebagai operator Heron terbesar di dunia.
Ceritanya dimulai pada tahun 1951 saat Kementerian Perhubungan mengirim para pemuda untuk dididik menjadi pilot komersial GIA di Britain’s Air University di Hamble, Inggris. Bukan rahasia lagi bahwa tawaran pendidikan/beasiswa ke luar negeri tidak gratis dan ada maksudnya yaitu agar Indonesia menjadi konsumen produk-produk buatan negara itu atau dalam kasus ini pesawat terbang buatan Inggris terbaru.
Karena sudah menandatangai pembelian Heron—pesanan pertama tiba di Indonesia pada bulan Oktober 1953—calon pilot GIA sebanyak 24 orang yang dididik di Inggris ini akhirnya dipecah menjadi dua. Lisensi minimal untuk menerbangkan Heron adalah SCPL (Senior Commercial Pilot License), dan Hamble-1 yang terdiri atas 11 orang dipulangkan lebih awal pada bulan Maret 1954.
DH.114 beregistrasi PK-GHH, menjadi salah satu Heron yang dijual ke Jepang lewat C. Itoh & Company (Itoh).
Sedangkan sisanya menjadi Hamble-2, terus mengikuti pendidikan sampai mendapatkan lisensi ATPL (Air Transport Pilot License) sebagai pilot Douglas C-47/DC-3 Dakota. Meskipun demikian dalam prakteknya pembagian ini tidak mengikat, karena saat itu berlaku multi type rating, peraih ATPL dapat menjadi pilot Heron dan peraih SCPL dapat juga menerbangkan Dakota tapi dibatasi untuk penerbangan domestik.
GIA yang lahir berdasarkan akte notaris tertanggal 31 Maret 1950 masih menggunakan pilot dari Assistentie Groep KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) untuk mengoperasikan pesawatnya (Baca : Penyerahan Aset Pesawat KLM-IIB ke GIA). Armada GIA saat itu terdiri dari 20-an Dakota dan beberapa pesawat amfibi PBY Catalina eks KLM-IIB (KLM- Interinsulair Bedrijf). Berikutnya GIA menambah armada lewat pembelian delapan unit Convair 240, delapan Convair 340 serta tiga Convair 440 yang masing-masing pesawat pesanan pertama tiba di Indonesia pada September 1950, April 1954, dan Januari 1958. Ini artinya Heron menjadi pesawat tipe kedua yang dipesan GIA setelah Convair 240.
Heron adalah “adik” dari DH.104 Dove, sehingga sekilas sangat mirip. Bedanya Heron bermesin piston empat buah tipe Gipsy Queen 30 250tk tapi anehnya justru fixed landing gear. Meskipun dapat mengurangi performa kecepatannya dan terkesan kuno, desain roda yang tidak bisa dilipat masuk ini lebih mudah perawatannya dan sangat kokoh sehingga dapat beroperasi di lapangan terbang kecil dan perintis.
Hal ini juga yang menjadi pertimbangan GIA dalam pembelian Heron, dipakai sebagai pesawat feederlines atau komuter untuk melayani penerbangan jarak dekat antar kota dengan waktu tempuh 30 menit sampai satu jam saja. Penumpang dapat diterbangkan dari Denpasar menuju Surabaya atau Bandung menuju Jakarta lalu melanjutkan perjalanannya ke ibukota provinsi lain bahkan ke luar negeri.
Heron tidak lama beroperasi di Indonesia, beberapa faktor penyebabnya karena jumlah penumpang yang menggunakan transportasi udara masih sedikit pada 1950-an, belum populer ditambah lagi karena tiketnya relatif mahal. Apalagi di jalur feederlines, penumpang cenderung menggunakan transportasi darat seperti bus atau kereta api menuju kota besar atau ibukota provinsi.
Ongkos perawatan pesawat dan mesinnya cukup tinggi karena jumlahnya sangat banyak. Bayangkan dengan adanya 14 unit Heron berarti harus merawat setidaknya 56 mesin Gipsy (!), sedangkan mesin Dakota dan Convair walaupun jumlahnya lebih banyak tapi merupakan buatan Pratt & Whitney walaupun beda tipe.
Ditambah lagi berkurangnya pilot secara drastis dengan hengkangnya Assistentie Groep KLM akibat kampanye nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada tahun 1957—sehingga pilot yang ada diprioritaskan menerbangkan Dakota atau Convair—membuat GIA berpikir ulang dalam mengoperasikan Heron lebih lama.
Mulai pada tahun itu Heron dipensiunkan sehingga tipe ini tergolong singkat pengoperasiannya dan sekaligus tidak banyak ceritanya di GIA. Yang pasti pada tahun 1960 sudah tidak ada lagi pesawat berkapasitas 14 penumpang ini beroperasi di Indonesia.
DH.114 beregistrasi PK-GHI ini dijual ke Jepang dan berubah registrasinya menjadi JA6155. Nasibnya tragis, menabrak Gunung Fuji pada tahun 1963 saat dioperasikan oleh Fujita Airlines, korban tewas 19 orang termasuk kru.
Heron dijual kembali ke de Havilland dan sebagian besar dijual ke Jepang. Pembelinya adalah C. Itoh & Company (Itoh), perusahaan yang awalnya bergerak di bidang tekstil tapi pasca Perang Dunia II mengembangkan bisnis di bidang ekspor-impor migas (minyak dan gas), alat-alat berat, mobil, dan pesawat terbang. Perusahaan inilah yang menjadi distributor Heron untuk dioperasikan maskapai penerbangan yang melayani rute domestik di Jepang, ideal sebagai penghubung antar kota–kereta cepat belum ada waktu itu–dan penerbangan antar pulau (island hopping).
Sayangnya dari sebegitu banyak Heron yang pernah dimiliki, tidak terbesit menyisakan satu pesawat utuh untuk monumen atau koleksi museum, sebagai bukti nyata bahwa GIA pernah mengoperasikannya. Di luar negeri justru sebaliknya, Heron beregistasi G-AXOL (eks PK-GHB) menjadi monumen di Bandara Croydon, sebelah selatan London, Inggris. Sedangkan di Jepang, JA6159 (eks PK-GHK) diabadikan di Kaizuka Transport Park, Fukuoka. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
De Havilland DH-114 Heron , apakah pernah dioperasikan juga oleh Kepolisian Negara Indonesia (sekarang POLRI)?
SukaSuka
Kepolisian Negara RI (sekarang POLRI) kabarnya pernah mengoperasikan pesawat jenis ini pula, setelah GIA.
SukaSuka
Menarik, saya tidak tahu itu. Ada informasi tambahan?
SukaSuka