Buku biografi ini mengisahkan Marsekal/Laksamana Udara Suryadi Suryadarma, KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) pertama di Indonesia, tapi sayangnya diterbitkan terlambat.
Nama Suryadarma bagi instansi TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) adalah nama besar. Sebagai bapak angkatan udara jasa-jasanya bagi pembangunan awal sebuah angkatan udara tidak terhitung dan tidak ternilai.
Suryadarma sendiri merupakan navigator bukan pilot ML (Militaire Luchtvaart). Bersama rekan-rekan satu skuadronnya, dengan menggunakan pembom Glenn Martin, ikut dalam misi pemboman menghadapi armada kapal-kapal Jepang. Nyaris tidak selamat dari sergapan pesawat tempur Jepang, tapi Suryadarma dan rekan satu pesawatnya berhasil kembali ke pangkalannya. Atas keberaniannya ini KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) menganugrahi penghargaan The Bronze Cross kepada Suryadarma.
Kisah menarik dan seru inilah yang menjadi awal buku biografi ini. Berikutnya tentu kisah Suryadarma sendiri, termasuk karirnya setelah Hindia Belanda diduduki Jepang dan bergabung ke Kempetai. Setelah Indonesia merdeka, Suryadarma dipanggil untuk membangun TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Udara yang dikenal sebagai AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).
Presiden Soekarno sendiri menganggap AURI sebagai instansi militer kebanggannya, sebagai salah satu simbolisasi kekuasaannya. Tak heran muncul istilah AURI “anak lanang” Bung Karno. Suryadarma sebagai Soekarnois sejati memastikan AURI menjadi selalu yang terbaik dihadapan beliau.
Tidak mengherankan posisi Suryadarma sering digoyang. Awalnya konflik dengan A.H. Nasution, berikutnya dari tubuh AURI sendiri yang dikenal sebagai Suryadarma-Suyono Affair, penembakan Istana Merdeka oleh Daniel Maukar dengan pesawat tempur MiG-17, dan klimaksnya peristiwa Pertempuran Laut Aru yang berakibat gugurnya Yos Sudarso. Yang terakhir inilah membuat Suryadarma mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan KSAU kepada Omar Dhani.
Buku terbitan KOMPAS Penerbit Buku ini sebagian besar mengisahkan sejarah AURI (nama TNI-AU era Orde Lama), sejak awal perkembangannya sampai masa akhir jabatan Suryadarma. Sayangnya bagi pemerhati dunia militer khususnya sejarah TNI-AU, tidak ada yang baru tercantum di sini.
Diterbitkan terlambat, banyak kepingan cerita di dalam buku sudah dimuat di media cetak seperti di majalah Angkasa, media online, atau buku-buku tokoh AURI lainnya seperti biografi Nurtanio (Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia) dan Wiweko Soepono (Dari Blitar ke Kelas Dunia). Bahkan cuplikan ceritanya juga ditulis nyaris sama.
Penulis buku ini adalah Adityawarman Suryadarma, yang tidak lain adalah putra bungsu Suryadarma–Suryadarma memiliki tiga anak, satu perempuan, dua laki-laki. Sebagai buku biografi yang ditulis oleh keluarganya sendiri seharusnya lebih banyak mengali lagi kisah Suryadarma dari sisi keluarga yang belum diketahui masyarakat. Dapat pula menggali lebih dalam kisah Suryadarma dari koleganya. Walaupun mungkin banyak yang sudah tiada, tapi masih dapat diceritakan lagi informasi dari tangan kedua misalnya dari keluarga koleganya.
Buku setebal 352 halaman ini dapat dinilai biasa saja bahkan mengecewakan bagi anda yang sudah mengetahui kisah Suryadarma dan intrik politik di belakangnya, terlebih lagi jika sudah pernah membaca kisah-kisahnya di media lainnya. Tapi bagi anda yang memang baru mengenal sosok sang bapak angkatan udara, buku ini layak dikoleksi. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Beliau terkenal sebagai sosok yang sederhana.
Bila sedang bertugas, kerap menggunakan B-25 Mitchell dan duduk di bomb-bay dengan memasang parasut., sesuai s.o.p safety.
Jarang diikuti ajudan dan tidak pernah memakai tongkat komando. Pernah lapor langsung sendiri ke piket salah-satu pangkalan untuk pengesahan surat-jalan, sehingga membuat kalang kabut para petugas.
Jeep adalah mobil kegemaran dan sering dikendarai sendiri. Dalam posisi demikian beliau ditangkap pasukan Belanda dalam Clash Kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
SukaSuka