Indonesia resmi menerima hibah pesawat tempur CAC (Commonwealth Aircraft Corporation) CA-27 atau yang dikenal sebagai Avon Sabre dari Australia pada tahun 1973, tapi kondisinya dalam keadaan tumpul alias tidak bersenjata.
Bagi TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) kehadiran pesawat tempur ini bagaikan angin segar karena pasca runtuhnya Orde Lama, banyak alutsista (peralatan sistem senjata) buatan Pakta Warsawa praktis tidak dapat dioperasikan lagi karena tidak ada suku cadang.
Bagi RAAF (Royal Australian Air Force) yang telah memiliki pesawat tempur supersonik Dassault Mirage III, hibah ini bagian dari menyingkirkan pesawat tempur generasi sebelumnya sekaligus alat politik membina kembali hubungan diplomatik dengan Indonesia pasca Kampanye Dwikora.
Proyek pengadaan Avon Sabre ini berkode Garuda Bangkit, dimulai lewat pengiriman teknisi pada tanggal 30 Mei 1972. Setelah itu baru dikirim pilot untuk dilatih terbang di Williamstown RAAF Base, Sydney. Pilot-pilot ini pula yang menerbangkan Avon Sabre menuju Pangkalan Angkatan Udara Iswayudi, Madiun dari Williamstown setahun kemudian.
Bagi sebuah angkatan udara yang pernah menjadi yang terbesar di belahan bumi selatan dan mengoperasikan pesawat tempur supersonik MiG-21 “Fishbed”, keberadaan Avon Sabre eks Australia ini bagi TNI-AU adalah langkah mundur. Tapi begitulah kenyataan pahit pada masa itu.
Dengan kecepatan maksimalnya hanya 700 mph atau sekitar Mach 0.8, tidak mungkin Avon Sabre dijadikan pesawat penyergap. Kecepatan ini bahkan di bawah kecepatan maksimal pesawat jet penumpang milik GIA (Garuda Indonesian Airways), Convair CV990A Coronado yang sanggup melesat sampai Mach 0.9. Tidak heran terlontar lelucon, “pesawat Garuda lebih cepat daripada pesawat TNI-AU”.
Teknisi TNI-AU memasang peluru kaliber 30 mm meriam Aden milik Avon Sabre saat Tutuka II pada tahun 1977.
Lebih parah lagi, pesawat tempur yang populer saat Perang Korea ini dihibahkan tanpa dipasang senjata. Politik damai Australia memang demikian, tidak mau memberikan pesawat kombat–sebatas pesawat angkut atau latih–kepada negara-negara sahabat. Seandainya yang dihadiahkan pesawat tempur sekalipun seperti Avon Sabre, persenjataannya sudah dilepas atau dinonaktifkan. Walaupun “tumpul” bukan TNI-AU namanya kalau tidak berusaha untuk mengasah lagi si pedang melengkung ini demi pertahanan dan keamanan negara.
Di era kepemimpinan KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Marsekal Saleh Basarah dan lewat Puslitbang (Pusat Penelitian dan Pengembangan) TNI-AU, Avon Sabre dipersenjatai kembali. Usaha pertama adalah memasang dan mengaktifkan persenjataan internalnya.
Beda dengan Sabre produksi North American, Amerika Serikat atau Canadair, Kanada yang bersenjata internal enam senapan mesin Browning kaliber 12,7 mm, Sabre produksi CAC dipasang sepasang meriam Aden 30 mm. Relatif mudah diaktifkan kembali senjata ini, karena tipe meriam ini merupakan salah satu persenjataan udara standar NATO (North Atlantic Treaty Organization). Meriam buatan Royal Small Arms Factory asal Inggris ini selain Avon Sabre, dipasang pula di pesawat tempur terkenal seperti Hawker Hunter. Suku cadang dan peluru gampang diperoleh. Terlebih lagi karena senjata internal, pengujian aspek aerodinamik pesawat tidak terlalu diperlukan.
Laman: 12