Indonesia lewat LAPIP sebenarnya telah berusaha memproduksi pesawat latih buatan sendiri, usaha pertama dilakukan lewat Nurtanio Nu-85/-90 Belalang.

Kemandirian dalam produksi pesawat latih telah terpikirkan sejak awal oleh Nurtanio. Potensinya besar dan fundemental karena pesawat inilah yang menjadi alat untuk mencetak pilot. Bagi AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), Nurtanio merupakan salah satu pendiri Biro Rencana dan Konstruksi, telah berkarya sejak era perjuangan fisik dengan membuat pesawat layang untuk menyeleksi calon pilot, Zögling (Baca : Pesawat Layang NWG-1, Titik Awal Lahirnya Teknologi Penerbangan).

Sebagai pimpinan DPTU (Depot Perawatan Teknik Udara) di Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara, Bandung, Nurtanio  lewat Seksi Percobaan berhasil membuat pesawat anti gerilya Nurtanio Nu-200 Si Kumbang pada tahun 1954. Prestasi ini membuat AURI memisahkan Seksi Percobaan dari DPTU menjadi DPPP (Depot Penyelidikan, Percobaan, dan Pembuatan Pesawat terbang) tiga tahun kemudian.

Nurtanio yang merupakan alumni FEATI (Far East Aero Technical Institute), Filipina ini memutuskan proyek pesawat selanjutnya adalah pesawat latih mula (primary trainer). AURI memiliki pesawat itu yaitu Piper Cub. Sayangnya pesawat bermesin Continental 65 tk warisan dari ML (Militaire Luchtvaart) ini sudah berumur dan perlu diganti. Ditambah lagi Piper Cub memiliki sayap tinggi (high wing) sehingga kemampuan terbang aerobatiknya sangat terbatas.

Nu90-2
Tiga unit Nu-90 Belalang model sebelum produksi, diserahkan ke Sekolah Penerbang AURI di Yogyakarta untuk dievaluasi.

Agar pengembangannya cepat dan berteknologi rendah (low technology) sehingga murah produksinya, Nurtanio mengambil saja desain Piper Cub tapi dimodifikasi menjadi sayap rendah (low wing) dan dipasang mesin Continental 85 tk yang lebih bertenaga. Diberi nama Nu-85 Belalang. Angka 85 merupakan tenaga mesinnya sedangkan nama serangga Belalang diadopsi untuk pesawat baling-baling bermesin tunggal rancangannya, seperti halnya Si Kumbang.

Satu prototipe jadi dan diterbangkan pertama kali oleh Nurtanio sendiri pada tanggal 26 April 1958. Walaupun dinilainya cukup baik tapi perlu disempurnakan. Setahun kemudian Nurtanio membuat Nu-90. Selain mesinnya ditingkatkan jadi 90 tk, kokpit kanopinya yang berbentuk gelembung (bubble canopy) diperbaiki lagi.

Setelah dinyatakan baik, Nurtanio membuat tiga unit Belalang sebagai model sebelum produksi (pre-production model) dan diserahkan ke Sekolah Penerbang AURI di Pangkalan Angkatan Udara Adisucipto, Yogyakarta untuk dievaluasi. Walaupun masih berstatus evaluasi, sudah ada delapan orang kadet berhasil terbang solo, dilatih dengan pesawat ini. Berikutnya Nurtanio membuat lagi lima unit Belalang untuk diserahkan ke Sekolah Penerbang AD (Angkatan Darat) di Kalibanteng, Semarang. Kedua instansi ini menunjukan rasa puasnya terhadap karya Nurtanio. Komando Pendidikan AURI bahkan ingin memesan 50 unit Belalang sebagai pengganti Piper Cub.

Nu90-4
Penandatanganan penyerahan lima unit Belalang kepada Sekolah Penerbang AD di Kalibanteng, Semarang.

Pesanan sebanyak itu justru dilematis. Walaupun tergolong murah produksinya, tetap saja Belalang harus dibuat secara massal dengan alat-alat produksi modern. Delapan unit Belalang untuk evaluasi ini masih dibuat manual dengan peralatan sederhana.

Bahkan saat tiga pesawat untuk AURI itu dikembalikan ke Bandung untuk perawatan berat, suku cadangnya adalah dari Piper Cub, diambil dari gudang karena belum bisa membuat sendiri. Tiga unit Belalang yang sudah dirawat dan dikembalikan jam terbangnya ke semula itu lantas diserahkan ke LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) di Curug, Tangerang untuk dievaluasi bagi pendidikan calon pilot sipil.