Awalnya dibangun secara sederhana, namun kemudian menjadi pintu gerbang penerbangan dari dan menuju Eropa.

Pada tahun 1924, LA (Luchtvaartafdeling) sebagai dinas penerbangan militer yang merupakan bagian dari Angkatan Darat Hindia Belanda, KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membangun lapangan terbang (vliegveld) di sebelah timur Batavia.

Pada waktu itu, menentukan daerah untuk dijadikan lapangan terbang tidak rumit, cukup mencari lapangan cukup luas dan datar dan lebih bagus lagi memiliki akses jalan darat. LA memutuskan wilayah di dekat desa Tjililitan (Cililitan) dijadikan lapangan terbang. Tujuannya hanya satu, bukan menjadi pangkalan udara LA melainkan untuk mendukung uji penerbangan jarak jauh dari maskapai penerbangan KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij).

Tjililitan-KLM-Amsterdam-Batavia
Dari lapangan terbang sederhana inilah sejarah penerbangan terukir, KLM berhasil melakukan uji penerbangan jarak jauh dari Amsterdam menuju Batavia dengan Fokker F.VII.

Uji penerbangan jarak jauh tersebut dilakukan oleh pesawat Fokker F.VII beregistrasi H-NACC,  berangkat dari Amsterdam dan tiba di Tijilitan pada tanggal 24 Oktober 1924. Penerbangan yang melalui banyak kota persinggahan di Eropa dan di Asia serta dua kota di Hindia Belanda, Medan dan Muntok itu membutuhkan total 55 hari karena sempat mengalami kerusakan mesin.

Berikutnya KLM mencoba beberapa uji penerbangan lagi lalu secara resmi membuka rute Amsterdam (Schiphol)-Batavia (Tjililitan) pada tahun 1930 dengan menggunakan Fokker F.VIIb atau Fokker Trimotor. Rute ini menjadi rute terjauh yang dimiliki KLM dengan perhentian terakhir di Andir untuk perawatan pesawat sebelum kembali lagi ke Tjililitan dan terbang ke Amsterdam.

Di Hindia Belanda, maskapai penerbangan KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) yang lahir pada tahun 1928, menggunakan Tjililitan sebagai pusat operasi utama. Dari Batavia, KNILM melaksanakan penerbangan perdana ke Bandung dan Semarang dengan tipe pesawat yang sama Fokker Trimotor.

Tjililitan-KNILM
Dua pesawat Fokker Trimotor milik KNILM melaksanakan penerbangan perdana pada tanggal 1 November 1928, satu ke Andir, Bandung dan lainnya ke Darmo, Semarang dari Tjililitan, Batavia.

Tjililitan menjadi pusat perkembangan dunia penerbangan sipil, lalu lintas penerbangan semakin ramai membuat dibangunnya terminal dan landasan pacu. Pesawat pun semakin canggih, muncullah pesawat serba logam Douglas DC-2, C-47/DC-3 Dakota yang legendaris, dan Lockheed 14 Super Electra.

LA tidak menjadikan Tjililitan sebagai salah satu pangkalan udara militer tetap, memilih memusatkan kekuatan di Andir sebagai pangkalan pesawat pembom (Baca : Andir, De Fabriek dan Lapangan Terbang LA) dan Kalijati sebagai pangkalan pelatihan pilot. Tapi untuk antisipasi ke depannya, penerbangan sipil dan militer ini harus dipisah.

Untuk itu pemerintah Hindia Belanda mulai membangun Bandara Kemayoran pada tahun 1934 dan aktivitas KLM dan KNILM secara bertahap dipindah ke sana periode tahun 1939-1940 sekaligus membuat Tjililitan menjadi sepi dan mengakhiri perannya sebagai pintu gerbang ke Eropa.

Tjililitan-1930s
Tjililitan awal tahun 1930-an, tampak begitu sederhana dan belum dibangun landasan pacu, tapi sudah dilengkapi hanggar dan terminal penumpang.

LA yang melakukan reorganisasi, mengembangkan kekuatannya, dan berubah nama menjadi ML (Militaire Luchtvaart) pada tahun 1939 menjadikan Tjililitan sebagai pangkalan udara pesawat pembom grup ketiga VLG-III (IIIe Vliegtuiggroep). Grup ini berkekuatan Glenn Martin Model 139 sebanyak tiga skadron (1e Afdeling, 2e Afdeling, dan 3e Afdeling) untuk menghadapi Perang Pasifik.

Saat Belanda ingin kembali berkuasa di Hindia Belanda pasca Jepang menyerah kepada Sekutu tahun 1945, Tjililitan kembali menjadi pangkalan udara ML (Militaire Luchtvaart)-KNIL. Sebenarnya Belanda lebih memilih Andir karena memiliki bengkel perawatan pesawat yang lengkap namun daerah Bandung dan Jawa Barat pada umumnya dinilai belum aman, masih ada kemungkinan diserbu tiba-tiba oleh pejuang dan gerilyawan TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Maka berdatanganlah pembom North American B-25 Mitchell, pesawat angkut Dakota, dan pesawat tempur North American P-51 Mustang di Tjililitan. Selain untuk  melindungi Batavia sebagai ibukota pemerintahan NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie), Tjililitan dapat mendukung pangkalan udara di sekitarnya seperti di Semplak, Kalijati, Andir, dan Subang.

Tjililitan-Mitchell-Mustang
Mitchell dari Skuadron 18 dan Mustang dari Skuadron 121 ML yang berpangkalan di Tjililitan siap bertempur melawan TNI. Ironisnya kedua tipe pesawat itu justru menjadi aset TNI pasca pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949.

Setelah pengakuan kedaulatan giliran AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang menggunakan pesawat militer eks Belanda itu di Tjililitan. Nama Tjililitan resmi diganti menjadi Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma pada tanggal 17 Agustus 1952 lewat SK (Surat Keputusan) KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) No.72 tahun 1952.

Setidaknya ada empat skadron yang bernaung di sana waktu itu, Skadron 1 Pembom (berkekuatan Mitchell), Skadron 2 Angkut (Dakota), Skadron 3 Tempur (Mustang), dan Skadron 4 Intai (Taylorcraft Auster). Dua skadron terakhir ini akhirnya dipindahkan masing-masing ke Bugis, Malang dan Semplak, Bogor.(Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)