Akibat kemajuan teknologi, prangko sebagai tanda pembayaran biaya pos menjadi kehilangan perannya, namun tetap menjadi koleksi karena menyimpan kisah, kenangan, dan sejarah tersendiri.

Prangko sebagai alat pembayaran pos diterbitkan dengan berbagai tema dan desain gambar, salah satunya adalah tema penerbangan atau dirgantara. Indonesia juga tidak ketinggalan mengikuti tren tersebut. Alhasil sejarah penerbangan di Indonesia terekam dalam secarik kertas mungil ini.

Bentuk prangko juga tidak hanya satu tapi dibuat berseri dalam satu acara khusus, ditambah lagi ada pula berbentuk sampul hari pertama. Ini menjadi rebutan para kolektor prangko (filatelis) apalagi yang mengkhususkan pada tema penerbangan yang tergolong langka.

Dimulai pada tahun 1950-an, desain gambar prangko tema dirgantara didominasi oleh pesawat-pesawat milik GIA (Garuda Indonesia Airways) dan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia).

Prangko-Serial-Hari-Penerbangan
Prangko tema dirgantara serial Hari Penerbangan Nasional tahun 1958, menampilkan dari kiri ke kanan, Convairliner milik GIA (dibuat prangko harga 10 dan 50 sen), Hiller 360 helikopter pertama di Indonesia, Nu-200 pesawat pertama karya Nurtanio, dan de Havilland Vampire pesawat jet pertama milik AURI.

Teknologi penerbangan yang dikembangkan era Orde Baru menyumbang tema prangko dirgantara seperti hadirnya CN235 dan N250 buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara).

Prangko-N250
Prangko dan sampul hari pertama bertema penerbangan perdana pesawat regional turboprop N250 buatan IPTN.

Prangko tema dirgantara dapat diperluas dengan menyertakan tema antariksa misalnya peluncuran satelit Palapa atau roket milik LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).

Prangko-Palapa-B2-Pengganti
Prangko dan sampul hari pertama bertema peluncuran satelit Palapa B2 Pengganti (B2-P) atau juga disebut B3 sebagai pengganti B2 yang gagal mengorbit. B2 ini berhasil diselamatkan untuk diluncurkan kembali menjadi B2-R.

Perangko yang diperkenalkan pada abad ke-19 sebagai alat pembayaran pos menjadi tersingkir dan langka akibat kemajuan teknologi dan layanan pos kilat khusus. Tapi PT. Pos Indonesia masih bertekad meneruskan tradisi ini, lewat kerjasama dengan perusahaan, instansi, komunitas, dan sebagainya, untuk menerbitkan prangko bertema. Prangko ini kemungkinan besar tidak dipakai untuk mengirim surat namun lebih sebagai kenang-kenangan dan koleksi. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)