Pada tahun 1980, Indonesia kembali ke era pesawat tempur jet supersonik dengan membeli Northrop F-5E/F Tiger II. Tapi sebelum datang, sang macan asal Amerika Serikat ini harus “dijinakan” terlebih dahulu.
TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) membeli 16 unit Tiger untuk Skadron 14 Wing Udara 300, melanjutkan tradisi supersonik yang sebelumnya pada era Orde Lama mengoperasikan Mikoyan Gurevich MiG-21 “Fishbed” buatan Uni Soviet, sekaligus siap memensiunkan Avro Sabre hibah dari Australia.
Sebelum pesawat itu tiba, selain mengirim teknisi, TNI-AU juga mengutus tiga pilot ke Amerika Serikat, untuk belajar dan berlatih menerbangkan Tiger. Tiga pilot itu adalah Komandan Skadron 14 Mayor Penerbang (Pnb) Holki Basah Kartadibrata, Perwira Operasi Skadron Udara 14 Mayor Pnb Budihardjo Surono, dan pilot senior Kapten Pnb Lambert Silooy.
Pelatihan dimulai pada tanggal 5 Desember 1979, ketiga perwira tiba di Lackland AFB (Air Force Base), Texas untuk mengikuti kursus bahasa Inggris dengan spesialisasi Aviation Terminology sebagai syarat pertama walaupun ketiganya sudah menguasai hal ini. Setelah lulus mereka melaksanakan latihan psikologi dan tes kesehatan selama satu minggu dimulai pada tanggal 22 Januari 1980.
Trio penjinak macan yang berlatih di Skuadron 425, Williams AFB, dari kiri ke kanan, Mayor Pnb Budihardjo Surono, Mayor Pnb Holki Basah Kartadibrata, dan Kapten Pnb Zeky Ambadar. Mereka bertiga ini menjadi pionir tradisi penyebutan Eagle di Skadron 14, masing-masing mendapat panggilan Eagle 02, Eagle 01, dan Eagle 03.
Sayangnya, Lambert jatuh sakit dan agar program terus berjalan, TNI-AU lantas menggantikannya dengan Kapten Pnb Zeky Ambadar. Tanpa perlu ikut kursus bahasa Inggris tapi tetap mengikuti pelajarannya lewat bantuan Kapten Pnb Suprihadi yang baru saja kembali dari Australia, Zeky berangkat tanggal 19 Januari, menyusul kedua perwira itu ke Brooks AFB, Texas yang dikenal juga sebagai pusat kesehatan dan kedokteran penerbangan milik USAF (United States Air Force).
Selama empat hari, ketiga pilot melaksanakan latihan psikologis, yaitu praktek di Chamber Flight, tubuh dilatih saat mengalami perbedaan tekanan dan kekurangan oksigen sekaligus untuk cek kesehatan agar fit sebagai pilot pesawat tempur.
Setelah dinyatakan lulus, mereka lantas berangkat pada tanggal 27 Januari ke Williams AFB, Arizona. Di Skuadron 425 (425th Fighter Squadron) yang berkekuatan 36 unit Tiger (25 unit F-5E dan sembilan unit F-5B kursi ganda) ini, ketiga pilot bersama satu pilot asal Malaysia belajar teori dan praktek latihan terbang dengan mengikuti kurikulum yang diberikan.
Sebagai catatan Tiger tidak pernah menjadi pesawat tempur resmi USAF. Tiger digunakan untuk mensimulasikan pesawat tempur milik Pakta Warsawa. Williams AFB secara fungsional adalah pangkalan untuk pendidikan pilot tempur USAF, memiliki satu skuadron pesawat jet latih menengah Cessna T-37 Tweety dan satu skuadron pesawat jet latih lanjut yang dikembangkan dari Tiger, Northrop T-38 Talon.
Skuadron 425 aslinya berkedudukan di Luke AFB, Texas, ditempatkan di Williams karena kesamaan perawatan Tiger dengan Talon. Tugas utamanya adalah menyediakan pilot dan pesawat agresor sekaligus melatih pilot dari negara-negara di luar Amerika Serikat yang membeli Tiger.
Selama empat hari mereka belajar teori tentang sistem pesawat, lalu ditempatkan di B Flight untuk memulai latihan penerbangan. Ada empat macam kurikulum dan masing-masing ada tiga tahap, yaitu transisi, penguasaan pertempuran udara, dan penyerangan sasaran darat.
Keempat kurikulum disebut jalur A, B, C, dan D. Jalur A dan B untuk pilot yang baru lulus sedangkan C dan D untuk pilot yang sudah berpengalaman namun mengoperasikan pesawat tempur jenis lain. Bedanya B dan D ditekankan pada pertempuran udara sedangkan A dan C untuk serang darat. Keempat pilot ditetapkan mengikuti jalur D dan mulai terbang transisi dengan F-5B pada tanggal 11 Februari. Mereka selain dengan F-5B juga terbang dengan F-5E, bergantian sesuai dengan kurikulum.
Ternyata Zeky mengalami masalah, baru saja mengikuti penerbangan pertama ternyata ada penolakan karena diketahui kemudian bahwa jam terbang yang dimiliki hanya 790 jam di pesawat tempur subsonik Lockheed T-33 Bird dan Avon Sabre. Padahal menurut ketentuan jalur D, pilot harus membukukan 1.000 jam terbang di pesawat tempur jet subsonik atau 750 jam di pesawat tempur supersonik.
Sempat mengalami masalah dengan alasan kurang jam terbang, justru dijawab dengan prestasi. Kapten Pnb Zeky Ambadar meraih dua penghargaan terbaik sekaligus, Top Gun dan Academic Award dari US DLG (United States Defense Liaison Group).
Persoalan ini tidak dapat diselesaikan di tingkat skuadron namun harus ke Markas Besar USAF di Pentagon. Ada tiga kemungkinan buat Zeky, dipindah ke jalur B yang berarti melanggar kontrak dan harus dirundingkan kembali, tetap di jalur D dengan mengabaikan syarat jam terbang, dan kemungkinan paling buruk, dipulangkan.
Sembari menunggu keputusan tersebut, Zeky terus mengikuti pelajaran tapi tanpa latihan terbang. Tanggal 27 Februari ditetapkan bahwa dia dapat terus belajar di jalur D karena dianggap telah memenuhi angka 1.000 jam terbang itu ! Tentunya ini hasil lobi dari atase pertahanan Indonesia dan komandan skuadron USAF. Kesempatan ini tidak disia-siakan, Zeky kembali mengejar pelajaran terbang setelah tertinggal selama 17 hari.
Laman: 12