Satu hal lagi ilmu yang didapat dari Nurtanio untuk diterapkan pada proyek XT-400 adalah membajak teknologi. Suharto secara terang-terangan mengakui inspirasinya berasal dari pesawat komuter yang sudah sukses, Britten Norman BN-2 asal Inggris. Tidak malu-malu pula, datang ke pabriknya di Bembridge dan mengukur dimensi BN-2 dengan alat ukur seadanya berupa meteran! Hasil dari pengukuran kasar inilah yang dijadikan salah satu sumber data untuk merancang XT-400. Angka empat dipilih Suharto sebagai rancangan pesawat komuter/angkut ringan bermesin ganda.
XT-400 dari tampilan fisik mirip BN-2, tapi dengan roda pendarat utama dipasang di dudukan berbentuk sayap kecil (stubwing). Struktur kokoh dan sederhana sesuai FAR (Federal Aviation Regulations) Part 23 dan 25 berkatagori serba guna (utility) dengan desain badan dapat menanggung beban -1,5G (Gravitasi) sampai +3,6G. Uniknya pesawat ini memiliki pintu belakang (rear loading door) yang dioperasikan manual untuk memudahkan bongkar muat barang bila dijadikan pesawat angkut/kargo murni.
Tata letak kokpit XT-400 dalam mock-up (kiri) dan roda pendarat utama pesawat yang ditempatkan di sponson berbentuk sayap kecil (kanan).
Karena berkapasitas tujuh penumpang, XT-400 tidak bersaing dengan BN-2 (sembilan penumpang). XT-400 juga direncanakan dikembangkan menjadi 11 penumpang dengan mesin 325 tk, lagi-lagi tidak bersaing dengan BN-2 dan masih jauh dari kapasitas angkut CASA C-212—18 penumpang—yang mulai diproduksi secara lisensi di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), pengembangan dari LIPNUR.
XT-400 didukung penuh oleh Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan pembiayaan Rp100 juta dari BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Uang itu dipakai untuk membuat XT-400 “di atas kertas” dan dalam bentuk mock-up 1:1, pesawat tiruan terbuat dari material murah seperti kayu dan alumunium lunak untuk memberikan gambaran nyata perkiraan dimensi, berat, tampilan kokpit, tata letak kursi penumpang, aspek ergonomi, dan sebagainya.
Mock-up XT-400 dibangun dengan melibatkan pula mahasiswa dari Universitas Pancasila di halaman rumah Suharto, di Jalan Ampera, Kemang, tempat yang sama untuk membangun replika Cureng dan Guntei di film Serangan Fajar (Baca : Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Setelah mock-up, baru dibangun prototipe pesawat sesungguhnya yang diperkirakan selesai pada akhir tahun 1979 atau awal tahun 1980.
Rangka bagian depan XT-400, tampak posisi pilot di kokpit (kiri atas) dan rangka badan pesawat yang selesai dirakit (kanan atas). Mock-up XT-400 minus sayap yang sudah dicat. XT-400 dilengkapi dua pintu di sisi kiri dan satu pintu di sisi kanan, dan memiliki pintu belakang di bawah ekor untuk bongkar muat barang (kiri dan kanan bawah).
Pergantian kabinet menteri pada bulan Oktober 1978 membuyarkan harapan itu. BJ Habibie sebagai menristek yang baru memutuskan secara sepihak bahwa XT-400 tidak dibutuhkan karena seluruh kegiatan produksi pesawat terbang dipusatkan di IPTN, fokus pada produksi C-212. XT-400 bernasib sama dengan LT-200. Keputusan egoisme sektoral ini sekaligus mematikan potensi, kebanggan, dan kemandirian industri penerbangan nasional.
Proyek XT-400 yang telah mencapai hampir 50% dihentikan dan unit Saikon LAPAN dinonaktifkan. Sayangnya mock-up-nya tidak dapat diselamatkan, yang tersisa hanya foto-foto dokumentasi dan hasil riset XT-400, telah diserahkan kepada LAPAN sebagai bagian dari arsip nasional. Pesawat yang pernah dimuat dalam buku Jane’s All The Worlds Aircraft edisi Februari 1979 ini agar tidak dilupakan oleh generasi mendatang, dibangunlah replika XT-400—berukuran lebih kecil—oleh LAPAN sebagai monumen di Rumpin.
LAPAN pasca dihentikannya XT-400 hanya melakukan riset di bidang luar angkasa karena riset penerbangan diambil alih dan dipusatkan di satu tempat, IPTN! Campur aduk dan carut marut ini nantinya dibayar mahal lewat kegagalan N250 dan N2130. Kedua proyek nasional ini menelan investasi besar tanpa ada instansi atau badan di pemerintahan yang mengerem dan menilai kelaikannya.
Pohon keluarga (family tree) XT-400, meliputi penggunaan sipil dan militer. Versi berikutnya yaitu dengan badan lebih panjang dapat mengangkut 11 penumpang dan untuk patroli maritim.
Dianak tirikan sebagai lembaga riset penerbangan, LAPAN mendapat perhatian pasca runtuhnya Orde Baru digantikan Orde Reformasi. Pustekbang diaktifkan kembali pada tahun 2011 saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Unit ini kembali melaksanakan riset pesawat terbang lewat membangun pesawat tanpa awak dan tentunya terlibat dalam pembuatan N219 bersama PT. DI (Dirgantara Indonesia), nama baru IPTN pasca reformasi.
Apakah kerjasama LAPAN-PT. DI ini lewat N219 sebagai simbol dan realisasi terpisahnya lembaga riset dan produksi industri penerbangan nasional ? Masih terlalu dini menjawab dengan jawaban positif karena N219 adalah hasil riset PT. DI bukan riset dari LAPAN. N219 dan N245—pesawat regional turboprop 45 penumpang berbasis CN235 pasca reformasi—muncul sebagai jawaban dari PT. DI atas terhentinya N250 dan N2130 dengan membuat proyek yang lebih realistis.
Kalau memang LAPAN menjadi lembaga riset seharusnya XT-400 yang dibuat—atau pesawat komuter riset dari LAPAN sendiri—bukannya mengadopsi N219. XT-400 justru menjadi “kakak tiri” dari N219, karena walaupun berkategori sama yaitu pesawat komuter dan dibangun lewat kerjasama dengan LAPAN, tapi dari spesifikasi dan desain sangat jauh berbeda.