Yang mengkhawatirkan adalah PT. DI menggandeng LAPAN bukan sebagai mitra riset melainkan penyandang dana untuk membangun prototipe N219. Sebagai catatan, pasca reformasi PT. DI nyaris bangkrut, aset yang dimiliki hanya sanggup untuk memproduksi pesanan pesawat lisensi, tidak ada uang untuk membuat pesawat produksi sendiri.

Kalau itu benar yang terjadi maka masa depan N219 akan suram karena ada kemungkinan gagal. PT. DI sebagai lembaga produksi harus mencari pembiayaan secara mandiri baik dari hasil keuntungan perusahaan maupun investasi dari luar untuk memproduksi N219. Dari sisi investasi saja pembangunan prototipe N219 tergolong lebih mahal daripada XT-400 karena berdimensi lebih besar, kapasitas penumpang lebih banyak, bermesin ganda turboprop, dan penerapan teknologi canggih glass cockpit.

N219 yang terbang perdana pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu menjadi bukti apakah tumpang tindih lembaga riset dan produksi industri penerbangan ini telah berhasil diselesaikan dengan baik atau justru sebaliknya menjadi lebih rumit dan bernasib sama seperti XT-400, mati sebelum berkembang.

N219 juga harus membuktikan kemampuannya sebagai pesawat perintis yang andal, bukan sekedar mempromosikan kecanggihan teknologinya dan terpenting lagi harus diuji coba di lapangan terbang pedalaman seperti di Papua yang bahkan pilot-pilot perintis berpengalaman sekalipun mengakui cukup berat tantangannya.

LAPAN-XT-400-2Suharto berfoto di depan monumen replika pesawat rancangannya XT-400 di Pustekbang, Rumpin, Bogor pada tahun 2015, saat hadir dalam HUT (Hari Ulang Tahun) LAPAN ke-52.

Seandainya proyek XT-400 tidak digagalkan, Indonesia kemungkinan besar lebih maju industri penerbangannya, sudah memiliki pesawat kelas komuter yang dibuat sendiri dengan harga terjangkau. Tidak tertutup kemungkinan pula lahir versi pengembangan XT-400 bermesin turboprop dan berkapasitas 19 penumpang pada era 1990-an. Bukan seperti sekarang ini yang terkesan reinvent the wheel, membuang-buang waktu, tenaga, dan uang untuk menciptakan sesuatu yang faktanya sudah pernah dibuat!

Untuk XT-400 sendiri, Suharto masih terus mengembangkannya menjadi XT-800, terinspirasi dari semakin andalnya mesin dan munculnya pesawat komuter bermesin satu pada tahun 1990-an seperti Gavilán 358, GippsAero GA8, dan Cessna Caravan. XT-800 adalah XT-400 tapi bermesin tunggal. Desain pesawat komuter berkapasitas 11 penumpang ini dirancang Suharto bersama tim dari Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma pada tahun 2008.

Walaupun sudah berumur lanjut (84 tahun), Suharto yang telah diangkat sebagai salah satu dari sesepuh LAPAN tetap bersemangat dalam berkiprah di dunia penerbangan. Lewat proposalnya ke LAPAN, dia menyertakan seluruh karyanya termasuk rancangan XT-800 ini sebagai bahan pertimbangan bagi proyek Pustekbang selanjutnya. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)