Koloni Hindia Belanda berbentuk kepulauan, dikelilingi laut dan garis pantai panjang, untuk menjaganya membutuhkan pangkalan maritim yang besar dan modern, terintegrasi dengan kekuatan laut dan udara.

MLD (Marineluchtvaartdienst) sebagai “sayap” milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda resmi berdiri pada tahun 1914 dengan mengandalkan pangkalan pesawat amfibi di De Mok, Texel. Memang tidak berlangsung cepat dan mulus, namun militer Belanda telah paham benar fungsi kekuatan udara sebagai bagian dari angkatan laut, dipelajari dari Perang Dunia I, sebagai “mata” dan “perpanjangan tangan” dari armada kapal perang.

Kekuatan udara MLD ini tidak hanya bertugas untuk menjaga tanah air namun juga negara-negara koloninya, terlebih lagi Hindia Belanda yang merupakan jajahan terbesar dengan wilayah laut sangat luas.

Vliegkamp-Morokrembangan-MLD-2
Vliegkamp Morokrembangan dengan ciri khas hanggar-hanggar yang memiliki landasan menurun untuk pesawat amfibi dan pesawat air meluncur ke laut dan juga sebaliknya.

MLD pada awalnya cukup direpotkan dengan tanggung jawab besar ini, apalagi belum memiliki pangkalan pesawat terbang berkemampuan amfibi di Hindia Belanda. Untuk itulah MLD membangun pangkalan udara di Morokrembangan, bersebelahan dengan pangkalan/pelabuhan laut Tanjung Perak, Surabaya. Oleh karena itu sering disebut Perak-Morokrembangan atau dikenal juga sebagai vliegkamp Morokrembangan.

Vliegkamp Morokrembangan selesai pada tahun 1926 dengan lama pembangunan kurang lebih lima tahun. Memiliki beberapa hanggar untuk merawat dan menyimpan pesawat amfibi dan pesawat air/berpelampung (floatplane). Disediakan pula landasan menurun agar memudahkan pesawat-pesawat tersebut meluncur masuk laut dan juga sebaliknya. Selain fasilitas untuk pesawat amfibi, pesawat darat dapat beroperasi pula di sini, dibangun dua landasan pacu membentuk huruf X, RWY12/30 sepanjang 1.400 m dan RWY 01/19 sepanjang 1.500 m.

Selain MLD, Vliegkamp Morokrembangan dimanfaatkan pula untuk pesawat sipil milik KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) untuk melayani rute Batavia- Surabaya dan pesawat-pesawat amfibi milik perusahaan minyak dan misionaris. Karena terhubung dengan Pelabuhan Perak, memudahkan pengiriman pesawat dengan menggunakan kapal. Pesawat yang dikirim, tiba dan diturunkan dari kapal, dirakit di salah satu hanggar milik MLD, dan langsung terbang dari landasan pacu vliegkamp Morokrembangan.

Perak-Morokrembangan merupakan realisasi dari visi MLD, membangun pangkalan laut yang modern setara dengan pangkalan laut di Belanda, lengkap (sanggup melayani kapal selam), dan terintegrasi antara kekuatan laut dan udara. Namun karena terlalu memusatkan kekuatan di Surabaya, Perak-Morokrembangan menjadi sasaran utama bagi armada pembom Jepang saat Perang Pasifik.

Vliegkamp-Morokrembangan-MLD-3
Ada delapan hanggar di vliegkamp Morokrembangan, tampak salah satunya digunakan untuk menyimpan dan merawat pesawat amfibi PBY Catalina milik MLD.

Saat Hindia Belanda menyerah, giliran Angkatan Laut Jepang (Dai-Nippon Teikoku Kaigun) beroperasi di Perak-Morokrembangan. Pangkalan laut dan udara ini sangat penting bagi militer Jepang, tidak heran saat menyerah kepada Sekutu, banyak pesawat yang dikuasai oleh arek-arek Suroboyo yang datang menyerbu. Namun modal yang lumayan itu jadi sia-sia karena tidak ada pilot yang menerbangkannya. Pesawat-pesawat eks Jepang tersebut akhirnya menjadi mangsa empuk meriam dari kapal perang Inggris saat Pertempuran 10 November 1945.

Setelah dikuasai Sekutu, vliegkamp Morokrembangan dijadikan pangkalan pusat selain Kemayoran, Batavia untuk mengurus tawanan perang (Baca : RAPWI : Evakuasi Tawanan Perang). Setelah Sekutu angkat kaki dan menyerahkan urusan kepada Belanda, kembali MLD yang menguasai Morokrembangan.

Dari sini, kekuatan udara MLD bertugas menerapkan blokade udara dan laut sekaligus membantu aksi polisionil atau agresi militer Belanda terhadap kekuatan militer Republik Indonesia. Pasca pengakuan kedaulatan, giliran ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) yang bertanggungjawab terhadap Morokrembangan dan disebut sebagai PUALAM (Pangkalan Udara Angkatan Laut Morokrembangan).

PUALAM sempat sepi dari penerbangan militer karena ALRI sedang membangun sayapnya dari nol. Baru pada tahun 1960, aktivitas pesawat-pesawat militer di PUALAM kembali aktif karena ALRI telah membeli satu skuadron pesawat anti kapal selam Fairey Gannet dari Inggris dan memiliki beberapa pesawat amfibi Grumman UF-1 Albatross hibah dari Amerika Serikat.

Vliegkamp-Morokrembangan-MLD-4
Denah vliegkamp Morokrembangan pada tahun 1940-an, tampak landasan pacu berbentuk X (ukuran dalam feet). Di sebelah kanan dari gambar landasan pacu merupakan fasilitas untuk melayani pesawat darat, sedangkan di kiri adalah fasilitas untuk pesawat amfibi dan kapal laut.

Mengantisipasi Kampanye Trikora dan kemungkinan modernisasi membeli pesawat jet, ALRI memutuskan bahwa ke depannya PUALAM tidak mencukupi lagi, butuh sebuah pangkalan udara baru dengan landasan pacu yang memadai dan lebih panjang. Maka dibangunlah pangkalan udara ALRI yang baru di desa Sedati, Sidorajo, dengan landasan pacu sepanjang 3.000 m disebut sebagai Pangkalan Udara Angkatan Laut Juanda (Bandara Internasional Juanda).

Dengan aktifnya Juanda membuat PUALAM terlupakan, kejayaan vliegkamp Morokrembangan tinggal kenangan, dan saat ini wilayah yang sebelumnya menjadi landasan pacu dan hanggar pesawat darat digunakan sebagai area bongkar muat peti kemas milik PT. Terminal Petikemas Surabaya. Sedangkan hanggar pesawat amfibi sudah tidak ada lagi, area tersebut telah menjadi bagian dari fasilitas Armatim (Armada Timur). (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)