Penerbangan Garuda Indonesia GA152 mengalami nasib nahas tak terelakan saat hendak mendarat di Bandara Polonia, jatuh di Lembah Buah Nabar dengan korban 234 jiwa.

Penerbangan pesawat Airbus A300B4-220 beregistrasi PK-GAI pada tanggal 26 September 1997 rute Jakarta-Medan tersebut merupakan penerbangan rutin. Rute ini merupakan rute domestik yang padat penumpangnya, tak heran Garuda Indonesia melayaninya dengan pesawat badan lebar (wide body), diterbangkan dua kru pilot dan 10 awak kabin untuk melayani penumpang sebanyak 222 orang.

Lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta pada hari Jumat siang hari, pesawat yang diterbangkan oleh Captain Hance Rachmo Wiyogo dan kopilot FO/Flight Officer Sutomo ini tidak beberapa lama kemudian melewati Palembang, Pekanbaru, dan lalu bersiap  memasuki Medan untuk melaksanakan approach, bersiap mendarat di Polonia.

PK-GAI-2
Airbus A300B4-200 PK-GAI dengan cat dan logo lama GIA (Garuda Indonesian Airways). Beroperasi pada tahun 1982, merupakan salah satu dari sembilan unit A300B4 yang dibeli saat kepemimpinan Direktur Utama Wiweko Soepono.

Polonia merupakan bandara tersibuk di Sumatra. Ada dua penerbangan lain yang dilayani ATC saat GA152 mulai masuk Medan Approach, yaitu Merpati Nusantara Airlines MNA241 dan Bouraq Airlines BOU683. Cuaca diselimuti kabut akibat pembakaran hutan liar menurunkan jarak pandang sampai 600-800 m membuat GA152 mengandalkan penuh paduan dari ATC (Air Traffic Controller) untuk mendarat.

Menurut transkrip percakapan tidak resmi antara ATC Medan dengan GA152 menyebutkan pada pukul 06.27.20GMT (Greenwich Mean Time) atau pukul 13:27.20 WIB (Waktu Indonesia Barat), GA 152 terbang di ketinggian 3.000 kaki sesuai instruksi ATC. Semenit kemudian GA152 dibelokan ke arah 235 untuk meng-intercept ILS (Instrument Landing System) Runway 05, dengan sempat sebelumnya ATC salah menyebut GA152 sebagai Merpati 152. Perintah itu dikonfirmasi lagi 50 detik kemudian karena pesawat diarahkan ke pegunungan Bukit Barisan sembari mengarahkan ke arah 215. Pukul 13.29.50, GA152 diperintahkan untuk menurunkan ketinggian ke 2.000 kaki.

Semenit kemudian tepatnya pukul 13.30.40 GA152 mengkonfirmasi ke ATC apakah harus belok kiri atau kanan :

GA152   :               GIA152 confirm turning left or turning right heading 046

ATC        :               Turning right, Sir

GA152   :               Roger 152

PK-GAI-5
Rute/jalur penerbangan GA152 yang mengalami kecelakaan berdasarkan transkrip percakapan tidak resmi antara ATC dan GA152 dengan keterangan waktu dalam GMT. (Sumber : Majalah Angkasa No.2 September 1997)

Miskomunikasi yang menimbulkan kebingungan kru GA152 ini terjadi pada 10 detik berikutnya atau pukul 13.30.50 :

ATC        :               152, confirm you’re making turning left now ?

GA152   :               We are turning right now.

ATC        :               152 OK, you continue turning left now.

GA152   :               A …… confirm turning left ? We are starting turning right now.

ATC        :               OK …… OK.

Sebuah keanehan karena pihak ATC sendiri yang mengkonfirmasi tapi sekaligus kemudian ragu-ragu dan mempertanyakannya. Pukul 13.31.40 ATC menginstruksikan GA152 untuk terus belok kanan ke arah 015 dan dijawab teriakan “Aaa…Allahu-akbar” 10 detik kemudian. Pada pukul 13.31.50 itulah kecelakaan terjadi, sayap kanan GA152 menyambar pucuk pohon yang mencuat dari hutan di lembah Desa Buah Nabar. Pesawat itu pun oleng dan jatuh menukik ke pohon lainnya sebelum badan pesawat lumat berantakan karena menghantam lembah.

Usaha penyelamatan korban yang mungkin masih bisa selamat sempat terkendala oleh kondisi wilayah sekitarnya yang sulit dijangkau, tapi akhirnya tim penyelamat tiba juga di tempat kejadian. Tidak ada yang bisa diselamatkan, seluruhnya tewas. Media massa waktu itu mendeskripsikan banyak korban kecelakaan terpental ratusan meter jauhnya dari titik impak kecelakaan. Tidak ada bagian utuh dari pesawat ini kecuali ekor vertikal bercat biru gelap berlogo Garuda Indonesia. Bagian depan pesawat termasuk kokpit dan kelas bisnis terpental agak jauh dan mengkerut menjadi satu. Api kecil masih menyala dari sisa-sisa bahan bakar yang tercecer pada hari kedua evakuasi.

AAIC (Aircraft Accident Investigation Commission) atau KPPKPU (Komisi Penelitian Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara) pimpinan Oetarjo Diran akhirnya berhasil menemukan kotak hitam (black box) terdiri atas FDR (Flight Data Recorder) dan CVR (Cockpit Voice Recorder). Benda itu ditemukan 26 hari setelah kecelakaan, akibat impak yang hebat terlontar 20 meter dari ekor pesawat dan masuk ke tanah sedalam 20 cm.

Kecelakaan GA152 ini merupakan kecelakaan pesawat sipil terburuk di Indonesia yang memakan korban tertinggi, 222 penumpang dengan 24 di antaranya warga negara asing. Ikut meninggal pula dua pilot sebagai ekstra kru Garuda Indonesia, Captain Sumali dan FO Tahta Yuwaldi. Ada 186 jenazah yang berhasil diidentifikasi, diserahkan kepada pihak keluarga untuk dimakamkan secara tersendiri, sedangkan 48 jenazah yang tidak dapat diidentifikasi, dimakamkan massal di pemakaman yang sebelumnya diperuntukan korban kecelakaan pesawat Fokker 28 PK-GVE “Mamberamo”.

AAIC yang nantinya menjadi KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) pada tahun 1999 tidak membeberkan hasil penelitiannya ke publik atau mengunduh laporan penyelidikan GA152 pada situs web resminya. Kemungkinan besar untuk menghindari main tuduh atau kriminalisasi terhadap seseorang, padahal penyelidikan kecelakaan yang dilakukan AAIC memang tidak pernah menunjuk orang, bukan siapa yang salah, melainkan apa yang salah.

Publik hanya bisa mengira-ngira apa yang terjadi dengan GA152 berdasarkan transkrip percakapan tidak resmi dengan ATC tersebut. Dari sana diduga ada kesalahan pengertian kalimat turning right now yang diartikan berbeda oleh ATC dan kru pilot GA152.

Menyalahkan ATC atau pilot jelas bukan keputusan yang bijak mengingat penyebab kecelakaan tidak pernah ada faktor tunggal. Perlu dicatat pula jalur prosedur pendaratan yang dilalui GA152 ini adalah umum dilakukan apalagi menghemat waktu sebanyak dua menit. Ketinggian 2.000 kaki yang diperintahkan ATC juga memenuhi prosedur, berdasarkan MOCA (Minimum Obstacle Clearance Altitude) yang ditetapkan sejak tahun 1980.

PK-GAI-4
Impak GA152 sangat dahsyat, badan pesawat hancur berkeping-keping dan hanya sedikit menyisakan bagian yang utuh seperti sayap ekor ini.

Berarti memang ada faktor internal atau eksternal yang membuat GA152 terbang di bawah ketinggian yang diinstruksikan ATC. AAIC akhirnya hanya menyebut kecelakaan GA152 ini sebagai CFIT (Controlled Flight Into Terrain), pesawat dalam kondisi laik terbang dan di bawah kendali pilot, namun menabrak daratan.

Sejarah penerbangan Indonesia bukan hanya menampilkan sisi manisnya semata, namun sisi pahitnya seperti kecelakaan pesawat dengan korban jiwa terbanyak di Indonesia seperti GA152 harus diceritakan. Termasuk pula mendoakan korban kecelakaan pesawat. Sekaligus kembali lagi mengingatkan sebuah pepatah yang dikenal luas di dunia penerbangan, the sky is vast but there is no room for error, langit itu maha luas tapi tidak menyisakan ruang untuk kesalahan, walaupun kesalahan itu dianggap kecil dan sepele sekali. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)