MNA (Merpati Nusantara Airlines) bertekad tidak hanya menjadi jembatan udara di negerinya, namun juga menjadi jembatan udara internasional. Salah satu ambisinya pada pertengahan tahun 1990-an adalah berekspansi rute ke Australia.

Kalau menurut sejarahnya, membuka rute ke Australia bukan hal yang baru, telah dilakukan MNA pada tahun 1970-an. Dengan menggunakan armada pesawat bermesin ganda turboprop Hawker Siddeley HS748, MNA melayani rute Denpasar-Kupang-Darwin.

Rute itu sangat potensial mengingat Bali sebagai tujuan wisata yang sudah dikenal lama oleh masyarakat Australia. MNA bahkan menjadi maskapai alternatif bagi pelancong backpacker asal negeri kangguru ini. Berikutnya MNA mengembangkan rute tambahan via Dili, baik saat Timor Leste masih menjadi negara jajahan Portugal dan nantinya menjadi provinsi Indonesia paling muda bernama Timor Timur.

Ambisi-MNA-Australia-1 Hawker Siddeley HS748, andalan MNA melayani rute Denpasar-Kupang-Darwin pada tahun 1970-an, sekaligus juga andalan para turis backpacker asal Australia pergi berwisata ke Bali.

Rencana pemerintah agar MNA melepaskan diri dari maskapai flag carrier Garuda Indonesia membuat manajemen pimpinan direktur utama Budiarto Subroto harus berputar otak, mencari sumber pemasukan secara mandiri. Australia kembali lagi menjadi tujuan utama rute internasionalnya sekaligus menjadi sumber pemasukan devisa asing. Tidak bisa hanya menggantungkan pemasukan berupa rupiah yang bagi MNA sendiri mayoritas rute domestiknya merupakan misi pengabdian bagi masyarakat Indonesia di daerah-daerah terpencil.

Australia terpilih karena sangat besar potensi wisatawannya yang hendak berkunjung ke Bali. Australia juga telah menjadi tujuan wisata baru bagi turis asal Indonesia–menduduki peringkat keempat setelah turis asal Jepang, Korea Selatan, dan Singapura–dan ditambah lagi menjadi tujuan pendidikan ke luar negeri.

Usaha go international ini direalisasikan dengan mendatangkan Airbus A310-300 yang waktu tibanya di Indonesia bersamaan dengan HUT (Hari Ulang Tahun) ke-34 MNA. Awalnya ada tiga unit yang diandalkan untuk berekspansi rute ke Australia yaitu dua unit Airbus A310-300 (PK-MAW dan PK-MAX) dan satu unit Airbus A300-600 (PK-MAY). Kehadiran pesawat badan lebar ini menunjukan MNA tidak main-main dan optimis dapat mendapatkan penumpang dalam jumlah besar.

Lewat dua hub utamanya Jakarta dan Denpasar, MNA resmi membuka rute ke Melbourne pada bulan September 1996. Semula memang merugi karena harus menginvestasikan dalam bentuk promosi spanduk dan papan iklan di Bandara Melbourne, pasang iklan di media cetak, dan termasuk mengiklankan diri di stasiun-stasiun radio terkenal di Melbourne. Promosi ini juga dilakukan lewat undian “Win a Trip to Bali”.

Hasilnya terasa pada tahun berikutnya, bulan Mei 1997, MNA meraih load factor sampai 90,8 %, bahkan pada low season sekalipun menunjukan angka 80%. Ini perlu ditambah prestasi OTP (On Time Performance) dari Bandara Melbourne yang menduduki peringkat kedua setelah Singapore Airlines.

MNA percaya diri dengan membuka rute berikutnya ke Perth dan Sydney sekaligus merintis ke Broemme dengan Fokker F28. Rute tersebut akan dikembangkan lagi, melayani rute ke Kuala Lumpur via Denpasar. Begitu optimisnya bahkan saat acara perayaan setahun beroperasi di Melbourne, kepada media, Budiarto Subroto mengungkapkan MNA akan mendatangkan armada tambahan berupa enam unit A310, tiga unit A300-600, dan tiga unit A330 sekaligus ambisi menjadi flag carrier kedua Indonesia setelah Garuda Indonesia !

Ambisi-MNA-Australia-3Ambisi-MNA-Australia-2 Jadwal penerbangan di Bandara Melbourne tercantum ucapan selamat atas setahun masa operasionalnya di bandara negara bagian Victoria ini (atas). Di Hotel Crown, Direktur Utama Budiarto Subroto memotong kue saat acara perayaan setahun MNA beroperasi di Bandara Melbourne (bawah). Tidak ada yang menduga setahun kemudian rute ini justru ditutup.

 

Tapi segala bentuk optimisme itu hilang begitu saja saat Indonesia diterpa badai krisis moneter. MNA berusaha mempertahankan rute ke Australia setidaknya sampai tahun 2001 atau berakhirnya masa sewa pesawat, namun tidak berhasil, seluruh pesawat dipulangkan ke pemiliknya pada bulan Juli 1998. Praktis rute ke Australia itu ditutup.

Di atas kertas, ekspansi ke negeri kangguru ini tampak bagus namun sayangnya pesaingnya sangat kuat. Dari Asia, ada Singapore Airlines dan Cathay Pasific, dari Australia sendiri sudah ada nama Qantas dan Ansett, sedangkan dari Indonesia adalah Garuda Indonesia dan Sempati Airlines. Walaupun yang terakhir ini sebenarnya bukan pesaing murni, karena saat high season beberapa kali A310 milik MNA disewa oleh Sempati untuk melayani rute Perth.

Sebenarnya bila ditelusuri lebih lanjut, saat berencana ekspansi internasional itu, MNA sudah memiliki banyak masalah khususnya utang yang menumpuk, mismanajemen, kerugian setiap tahunnya, dan pelayanan yang menurun. Ini masih belum ditambah beraneka-ragamnya jenis pesawat yang dioperasikan MNA sehingga tidak efisien.

Seharusnya MNA fokus lebih dulu menyelesaikan masalah internal ini. Ibaratnya, masalah lama belum tuntas, justru membuat lagi masalah baru. Krisis moneter menjadi pukulan telak mengakhiri ekspansi internasional MNA. Kegagalan ini membuat semakin parah kondisi keuangan dan memperburuk (lagi) citra MNA. Sang jembatan udara ini memang berhasil melewati krisis moneter, tapi perkembangannya masih tidak menggembirakan dengan utang besar di mana-mana, dan terpaksa berhenti beroperasi pada bulan Februari 2014. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)