GAF (Government Aircraft Factories) N22/N24 Nomad menjadi bagian yang tak terpisahkan dan identik dengan Puspenerbal (Pusat Penerbangan Angkatan Laut). Kiprah pesawat ini telah melegenda sekaligus sebagai perpanjangan tangan dan mata armada kapal perang milik TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut).
Pengadaan pesawat bermesin ganda yang dapat beroperasi di landasan sederhana ini tergolong unik. Indonesia dan Australia melaksanakan kerjasama pertahanan lewat Defco (Defence Cooperation) pada tahun 1972 dengan realisasi dalam bentuk hibah beberapa kapal patroli maritim. Kapal dari kelas Attack ini bukan kapal besar sehingga tidak bisa melaut sampai ke tengah samudra, sebatas wilayah pantai dan pelabuhan. Untuk itulah Asisten Operasi KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut) Kolonel Eddy Tumengkol meminta agar dihibahkan pula beberapa unit pesawat untuk memaksimalkan tugas patroli laut.
Usul itu disetujui, selain kapal, Australia menyerahkan pada tahap pertama empat unit Nomad N22 Search Master B (diberi registrasi P-801 s/d 804) sekaligus TNI-AL membentuk Skuadron 800 pada bulan Juli 1976. Tahun berikutnya TNI-AL menerima delapan pesawat yang sama ditambah enam unit Nomad tipe Search Master L.
GAF N22 Search Master B beregistrasi P-811 yang diterima Skuadron 800 pada tahun 1977.
Perbedaan antara Search Master B dan L adalah lingkup radarnya, B hanya 180o sedangkan L dapat mencakup 360o, selain itu versi L kemampuan deteksinya dua kali lebih baik dari B. Periode tahun 1993-1995, armada Nomad milik TNI-AL bertambah lagi dengan kehadiran N24 yang berkapasitas angkut lebih besar dan badan lebih panjang, bekas pakai angkatan darat Australia dan N22B yang semuanya merupakan versi angkut. Khusus untuk versi angkut, TNI-AL memasukannya ke Skuadron 600 (Angkut Taktis).
TNI-AL total memiliki 42 unit Nomad N22/N24 sekaligus menjadi operator Nomad terbesar di dunia. Disayangi di Indonesia tapi justru dibenci di Australia, negara pembuatnya. Ini karena Nomad dianggap sebagai pesawat yang tidak aman setelah rentetan kecelakaan yang diakibatkan oleh adanya keretakan pada ekor. Meskipun adanya cacat, Nomad tetap mendapat sertifikasi kelaikan terbang, tidak hanya dari Australia melainkan FAA (Federal Aviation Administration) yang prestisius itu.
Kalau mau jujur, setiap pesawat pasti ada kelemahannya atau cacat bawaan. Untuk mengatasi masalah ini GAF mengeluarkan ketentuan ketat kepada setiap operator agar memeriksa bagian ekor setiap 100 jam terbang. Di Indonesia, selama pengabdiannya lima unit N22 mengalami kecelakaan, empat unit milik Puspenerbal lainnya milik MAF (Mission Aviation Fellowship). Sepertinya kecelakaan-kecelakaan tersebut terjadi lebih karena faktor operasional bukan cacat pada ekor.
Aksi Nomad milik Pusnerbal saat mengusir kapal feri Lusitania Expresso pada tahun 1992 yang dianggap kedatangannya ilegal sekaligus provokasi terhadap urusan dalam negeri Indonesia di Timor Timur.
Selama operasionalnya, Nomad melaksanakan tugas utamanya sebagai pengawas dan patroli laut dari pangkalan utamanya, di Lanud (Pangkalan Udara) Juanda, Surabaya. Nomad dilibatkan dalam Operasi Seroja di Timor Timur pada tahun 1977 dan tentunya yang paling terkenal, pencarian sekaligus pengusiran kapal Lusitania Expresso pada bulan Maret 1992. Untuk misi sipil, Nomad juga dilibatkan dalam operasi kemanusiaan saat bencana tsunami melanda Aceh pada bulan Desember 2004.
Periode tahun 2004-2006, Pusnerbal mulai memensiunkan armada Nomad miliknya, umurnya tidak diperpanjang lagi karena berniat untuk meningkatkan kemampuan patroli martim lewat teknologi lebih maju, sekaligus dapat melaksanakan tugas sekunder sebagai pesawat SAR (Search & Air Rescue) dengan pembelian NC-212 MPA (Maritime Patrol Aircraft) dan CN235 Patmar (Patroli Maritim), keduanya buatan PT. Dirgantara Indonesia. Walaupun resmi pensiun, setidaknya beberapa Nomad masih diaktifkan sebagai pesawat latih lanjut. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)