Kalau Antoinette VII sebagai pesawat sipil, maka Martin TA Hydroplane mewakili pesawat militer yang mengukir langit Nusantara saat masih menjadi kolonial Belanda bernama Hindia Belanda.

Sebenarnya Martin TA bukan pesawat militer pertama yang menjadi pilihan Proefvliegafdeling (Bagian Percobaan Penerbangan) yang menjadi bagian dari KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger). Organisasi penerbangan militer yang dibentuk pada tanggal 30 Mei 1914 ini memutuskan untuk membeli satu unit Deperdussin Monoplane bermesin Gnome 80 tk sebagai pesawat pionir dan modal pertamanya.  Pesawat bersayap tunggal ini memiliki dua kursi tandem agar sekaligus bisa dipakai sebagai pesawat latih.

Letnan Satu Artileri Hein Ter Poorten yang telah mendapatkan brevet terbang di Eropa sekaligus menjadi pilot militer pertama dari Proefvliegafdeling membawanya dengan kapal saat kembali ke Hindia Belanda. Tapi karena konstruksinya rangkanya masih menggunakan kayu dan tidak cocok untuk iklim tropis Hindia Belanda, diputuskan pesawat yang masih dalam peti itu dipulangkan kembali ke Eropa untuk diganti dengan rangka logam. Akibat pecah Perang Dunia I pesanan Proefvliegafdeling ini menjadi tertunda-tunda bahkan tidak ada kabar beritanya sama sekali.

MartinTA-1
Letnan Satu Artileri Hein Ter Poorten bersiap terbang untuk pertama kalinya dari Tanjung Priok pada tanggal 6 November 1915. Surat kabar Java Bode melaporkan bahwa mesin pesawat Martin TA ini….”begitu kuat seperti binatang purbakala, mammoth….”

Tim dari KNIL mencari jalan lain. Aviator terkenal Hilgers sebagai perwakilan dari pabrik Fokker sengaja datang dari Belanda menawarkan Spin. Lainnya salah satu pesawat Antoinette VII yang pernah digunakan Gijs Küller untuk beraksi di Sumatra, Jawa, dan Malaya juga menjadi pertimbangan. Namun semuanya ditolak karena dianggap sudah terlalu kuno, teknologi penerbangan apalagi penerbangan militer memang pesat sekali berkembang terlebih dipacu oleh kebutuhan Perang Dunia I.

Membeli pesawat langsung dari negara-negara Eropa sangat tidak memungkinkan karena sibuk dengan kebutuhan perang, akhirnya militer Hindia Belanda sepakat untuk membeli pesawat dari Amerika Serikat. Maka berangkatlah tim kecil beranggotakan Kapten Visscher dan Ter Poorten ke San Fransisco pada akhir Januari 1915 dan pilihan jatuh pada dua unit Martin TA Hydroplane (disebut juga Martin S/Seaplane) buatan pabrik milik Glenn L. Martin bermesin Hall Scott 125 tk. Di Amerika Serikat Ter Poorten sibuk berlatih terbang sementara di Tanjung Priok, sebuah pangkalan air disiapkan untuk operasional pesawat air ini.

Tanggal 18 Oktober 1915, kedua pesawat pesanan tiba, dirakit, dan siap terbang pada tanggal 6 November. Akhirnya pada siang hari, Ter Poorten sebagai pilot dan mekanik Steven dari pabrik Glenn L. Martin berhasil lepas landas dari perairan Tanjung Priok dan terbang berputar-putar di atas Batavia.

Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan, “Kita mendengar suatu gemuruh dari ketinggian di udara. Dan benar kita melihat sebuah pesawat bersayap melalui udara di atas kita. Seperti burung yang besar, perlahan, dan majunya teratur mendekati kita. Di atas istana Panglima Tentara di Taman Hertog pesawat terbang itu membuat putaran besar dua kali untuk kemudian kembali ke Tanjung Priok.”

Martin-TTTer Poorten yang setelah pulih dari kecelakaan tragis kembali lagi aktif sebagai pilot dan tampak berpose di depan Martin TT Hydroplane. Nantinya pelampung dilepas sehingga pesawat latih ini murni menjadi pesawat darat berpangkalan di Kalijati.

Sementara itu koran Java-Bode di antara kutipan laporannya menyebutkan,“Kita memandang burung yang besar itu, yang di tempat luas badannya menopang pada kaki dari kayu. Sayapnya lebar dan kokoh, mesin Hall Scott dengan 6 silindernya kokoh bagai batu granit dan begitu kuat seperti binatang purbakala, mammoth….”

Walaupun pangkalan air praktis dan murah namun ada konsekuensinya, badan dan pelampung pesawat yang terbuat dari kayu mudah menyerap air dan bobotnya menjadi berat sehingga pesawat sulit lepas landas. Proefvliegafdeling lantas mencari daratan luas yang relatif tidak tergenang air saat musim hujan, yaitu di Kalijati. Maka salah satu pesawat air Martin TA itu dijadikan pesawat darat, dibongkar, dan dikirim lewat jalan darat. Kembali pesawat dirakit dan berhasil diterbangkan oleh Ter Poorten pada tanggal 8 Februari 1916.

Nahas terjadi saat demo terbang Ter Poorten dengan membawa penumpang, tidak tanggung-tanggung, Panglima KNIL Letnan Jenderal Michielsen pada tanggal 14 Februari. Pesawat yang diterbangkannya jatuh sesaat setelah lepas landas akibat kerusakan mesin. Ter Poorten luka parah namun Michielsen tewas.

Meskipun dirundung duka, Proefvliegafdeling tetap kokoh dalam pendiriannya sebagai sebuah cikal bakal angkatan udara Hindia Belanda. Berikutnya datang dua unit Martin TT (Tractor Trainer) bermesin Hall Scott 90 tk pada bulan September 1916 untuk menggantikan TA. Sama seperti versi sebelumnya, TT ini dapat diubah menjadi pesawat air dan darat.

Berikutnya Proefvliegafdeling bertambah lagi kekuatannya dengan mendatangkan empat unit Martin TT dan delapan unit Martin R (Reconnaissance) pada bulan Maret 1917. Karena telah mendapatkan pilot dan pesawat militer yang mencukupi maka Proefvliegafdeling unjuk gigi kepada masyarakat Hindia Belanda dengan mengadakan terbang formasi dengan dua unit tipe R dan dua unit tipe TT di atas Bandung pada tanggal 13 Mei 1918.

Martin-R
Martin R dibeli Proefvliegafdeling untuk tugas intai pada bulan Maret 1917. Tanda bulat di badan pesawat berwarna oranye sebagai warna Kerajaan Belanda.

Peran pesawat Martin sayap ganda ini menurun saat Proefvliegafdeling berubah struktur organisasinya menjadi LA (Luchtvaartafdeling) dan mendatangkan pesawat yang lebih modern, masing-masing selusin pesawat latih Avro 504 dan pesawat intai/pembom de Havilland DH-9 pada tahun 1919.

Walaupun kemudian dipensiunkan dan tidak terbang lagi, pesawat buatan Martin kembali lagi ke Nusantara, bukan dengan bentuk pesawat sayap ganda yang terbuat dari kayu dan fabrik, melainkan pesawat pembom serba logam bersayap tunggal dan bermesin ganda, Martin B-10 yang kelak digunakan ML (Militaire Luchtvaart)—sebagai pengembangan organisasi dari LA—menghadapi agresi Jepang saat pecah Perang Pasifik.(Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)