MLD (Marineluchtvaartdienst) yang dibentuk tahun 1917 di Texel sebagai sayap dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda bertanggungjawab atas keamanan laut tidak hanya di negaranya melainkan juga di koloni-koloninya. Hindia Belanda yang memilih wilayah perairan sangat luas itu menjadi tugas terberatnya.
Bagaimana tidak berat, mengingat peralatan yang dimiliki MLD waktu itu hanya sebatas pesawat sayap ganda bermesin tunggal dilengkapi pelampung (float) atau yang dikenal sebagai pesawat air. Kemampuan patroli udara sangat terbatas dan tergantung oleh kapal pendukung.
MLD yang beroperasi di Hindia Belanda mengandalkan pelabuhan di Tanjung Priok, Batavia sebagai basis operasi pertamanya lalu berikutnya membangun pangkalan laut terbesar yang ambisius di Asia Tenggara, Morokrembangan (Baca : Vliegkamp Morokrembangan – Pangkalan Udara MLD yang Tinggal Kenangan). Bersamaan dengan penyelesaian pangkalan di Surabaya ini, MLD mendapatkan solusi tepat untuk mengatasi masalahnya, membeli pesawat amfibi/flying boat Dornier Do J buatan Jerman.
Dornier Do J Wal dibeli oleh MLD pada tahun 1926, efektif dan efisien sebagai pesawat patroli laut khususnya di perairan Hindia Belanda yang sangat luas.
Dornier Do J atau diberi nama Wal (Whale) merupakan pesawat yang sangat diidam-idamkan oleh MLD. Ukurannya besar dan berawak empat orang, dua pilot di kokpit terbuka dan dua pengamat di bagian depan dan di pangkal ekor. Terbuat dari logam, beda dengan tipe pesawat air sebelumnya yang mengandalkan konstruksi kayu, mudah menyerap air dan cepat rusak akibat lembab di negara tropis seperti Hindia Belanda. Ditambah lagi Wal bermesin ganda, dipasang di atas badan pesawat dengan saling membelakangi (pusher-tractor) sehingga lebih aman dioperasikan daripada pesawat air bermesin tunggal.
“Ikan Paus” bersayap di atas (high wing) ini memiliki kecepatan jelajah 140-190 km/jam dan dapat terbang jarak jauh mencapai 2.200-2.600 km, memungkinkan dapat berpatroli secara mandiri tanpa kapal pendukung, lepas landas dari pangkalan Tanjung Priok atau Morokrembangan dan berpatroli seharian penuh sekitar 8-10 jam. Total 46 unit Wal dibeli oleh MLD untuk kebutuhan patroli laut di negeri sendiri dan negara-negara koloninya dengan 41 unit di antaranya dibangun di pabrik Aviolanda yang juga memproduksi Curtiss P-6 Hawk secara lisensi (Baca : Curtiss P-6 Hawk : Pesawat Tempur Andalan LA-KNIL).
Umumnya pesawat amfibi ini dikirim dengan menggunakan kapal namun tiga unit Wal bernomor D21, D22, dan D23 diterbangkan langsung menuju Batavia sekaligus sebagai uji coba performa terbangnya. Sayangnya hanya D21 dan D23 yang berhasil sampai, D22 mengalami kecelakaan dan menewaskan salah satu pilotnya.
Selain untuk tugas utama patroli laut, mengawasi perairan dari penyeludupan dan penangkapan ikan ilegal, Wal digunakan MLD sebagai pesawat angkut dan SAR (Search Air Rescue). Tugas lainnya seperti membantu pemerintah Hindia Belanda “menemukan” pulau-pulau kecil yang belum dipetakan juga dilakukan oleh pesawat ini.
Persenjataan yang dapat dibawa Wal meliputi senapan mesin yang dioperasikan oleh pengamat dan bom dengan kapasitas sampai 800 kg. Khusus untuk persenjataan bom ini membuat nama Wal terkenal saat Menteri Pertahanan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers memerintahkan untuk membom kapal perang De Zeven Provinciën.
Wal masih terus dioperasikan oleh MLD menjelang pecah Perang Pasifik namun sebagai kekuatan cadangan. Perannya digantikan oleh “adiknya”, Dornier Do 24.
Kapal perang yang tergolong sebagai pantserschip atau kapal pertahanan pantai ini dibajak oleh awak kapalnya sendiri demi menuntut kenaikan gaji pada tanggal 5 Februari 1933. Kapal yang dikuasai itu sedang berlayar di pantai sebelah selatan Sumatra lantas ditindak tegas dengan mengirim Wal bernomor D11 dengan diperintahkan untuk dibom dari udara. Salah satu bom 50 kg yang dijatuhkan berhasil merusak kapal, membunuh 23 awak kapal, sekaligus memadamkan pemberontakan.
Peran Wal sebagai pesawat amfibi utama MLD menurun saat didatangkan penerusnya, Dornier Do 24 pada periode 1938-1939, walaupun demikian masih ada beberapa unit dioperasikan saat pecah Perang Pasifik sebagai kekuatan cadangan. Anti klimaksnya enam unit Wal yang masih tersisa di Morokrembangan hancur saat Jepang menyerang Surabaya dan akhirnya menguasai Hindia Belanda. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)