Garuda Indonesia sebagai satu-satunya operator pesawat badan lebar Douglas DC-10 Series 30 di Indonesia, memiliki livery yang beragam selama pengabdiannya hampir 30 tahun.
Pesawat trijet yang legendaris ini memulai karirnya di Indonesia pada tahun 1973 dengan cara disewa oleh GIA (Garuda Indonesian Airways) dari KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij) sebanyak dua unit sebagai tahap awal regenerasi pengganti DC-8 untuk rute internasional ke Asia Pasifik dan Eropa.
Tiga tahun kemudian, masih dengan asistensi KLM, dengan dukungan harga minyak yang tinggi memungkinkan GIA membeli enam armada DC-10 pada periode 1976-1979. Akhir 1980-an dan awal 1990-an, era trijet berakhir akibat hadirnya pesawat badan lebar bermesin ganda twinjet yang lebih ekonomis, memaksa GIA yang sudah melakukan re-branding menjadi Garuda Indonesia menjual armada DC-10.
Namun sayangnya tidak ada peminat. Maskapai dalam negeri Sempati Airlines yang sempat punya rencana membeli DC-10 eks Garuda Indonesia ini justru mengurungkan niatnya dan membeli twinjet Airbus A300B4 eks PANAM. Pengganti DC-10 yaitu McDonnell Douglas MD-11 mengecewakan performanya, memaksa Garuda Indonesia memperpanjang operasional DC-10 bahkan sampai menghadapi krisis moneter 1997-1998 dan akhirnya resmi di-nonaktikan pada tahun 2005. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
***

Ada dua unit DC-10 yang disewa GIA dari KLM untuk regenerasi armada DC-8 yaitu PH-DTC pada bulan Oktober 1973 dan PH-DTL pada bulan Maret 1975. Kedua pesawat ini digunakan GIA untuk melayani rute ke Eropa sekaligus melatih pilot dan awak kabinnya sebelum memiliki sendiri DC-10 pada tahun 1976.

Bulan Maret 1976 secara resmi GIA memiliki dan mengoperasikan DC-10 miliknya sendiri, dibeli lewat kredit sindikasi bank internasional. DC-10 pertama ini diberi registrasi kehormatan PK-GIA mengikuti singkatan maskapai ini.. Kedatangan pesawat yang diberi nama hidung (nose name) “Irian Jaya” ini sekaligus secara resmi dan bertahap mengembalikan DC-10 yang disewa kepada KLM dan memensiunkan DC-8. DC-10 milik GIA ini berkonfigurasi dua kelas, kelas bisnis 54 kursi dan kelas ekonomi 178 kursi.

Untuk berekspansi rute ke Amerika Serikat, GIA yang telah melakukan re-branding menjadi Garuda Indonesia melakukan kerjasama dengan maskapai Continental Airlines pada tahun 1985 dan menghasilkan livery hybrid unik, Garuda-Continental yang diterapkan pada dua unit DC-10 yaitu PK-GIA dan PK-GIB. Kerjasama ini tidak terlalu lama, hanya dua tahun dan setelah itu kedua pesawat kembali menggunakan livery Garuda Indonesia. Saat melayani rute ke Amerika Serikat dengan rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angels itu, Garuda Indonesia memperkenalkan kelas eksekutif/First Class pada DC-10 miliknya yang sebelumnya hanya ada dua kelas, bisnis dan ekonomi.

Ketika Lumenta menjadi Direktur Utama menggantikan Wiweko Soepono pada tahun 1984, GIA melakukan re-branding menjadi Garuda Indonesia, meliputi pergantian logo dan livery pesawat. Desain merah-oranye karya Vas Diaz diganti dengan desain minimalis dominasi biru gelap karya Landor. Dengan desain baru ini, era nose name di armada Garuda Indonesia berakhir.
Laman: 12