Kematian Michielsen tidak mematikan semangat PVA-KNIL untuk kembali mengirim komite buat membeli pesawat tambahan. Seharusnya Ter Poorten bertugas dalam komisi ini tapi karena belum pulih dari kecelakaan, dia digantikan oleh Kapten Infanteri Engelbert Van Bevervoorde, seorang pilot lulusan Soesterberg dengan tetap dipimpin oleh Kapten Visscher.
Bersamaan dengan keberangkatan mereka, PVA-KNIL mengangkat pilot/aviator Jan Hilger. Dengan satu-satunya pesawat, Hilger melatih calon pilot melakukan latihan terbatas yang disebut latihan mengemudi di atas permukaan air. Ketika pesanan datang—empat unit pesawat latih Martin TT dan delapan unit pesawat intai Martin R—baru latihan kembali dilanjutkan di Kalijati sedangkan pangkalan laut di Tanjung Priok ditinggalkan.
Ada enam orang calon pilot pada awal tahun 1917 yaitu Komandan PVA-KNIL, Kapten Visscher, Letnan Van Wijk, Letnan Leendertz, Letnan Mosselman, Kapten Dalang, dan Kapten Ockerse. Dua yang terakhir sebenarnya telah mendapat brevet tapi belum terbiasa menerbangkan dengan pesawat Martin TT sehingga perlu dilatih. Instrukturnya ada tiga yaitu Hilgers, Kapten Engelbert Van Bevervoorde dan Ter Poorten yang baru saja pulih.
Pada tanggal 28 Juli 1917 tercatat Kalijati telah berhasil meluluskan pilot pertamanya yaitu Letnan Leendertz diikuti oleh Letnan Mosselman pada tanggal 1 September. Keberhasilan ini memang sangat membanggakan tapi ada rasa sedih saat tugas Ter Poorten berakhir pada akhir bulan September 1917. Ia dibebastugaskan dari posisinya yang telah diemban selama enam tahun untuk ditarik ke markas besar sebagai Generale Staf.
Sepeninggal Ter Poorten, PVA-KNIL terus melakukan reorganisasi. Kata “percobaan”/Proef ditanggalkan dan menjadi Bagian Terbang/Vliegafdeling pada tahun 1918, lalu menjadi Bagian Penerbangan/Luchtvaartafdeling (LA-KNIL) pada tahun 1921, dan terakhir menjadi Penerbangan Militer/Militaire Luchtvaart (ML-KNIL) pada tahun 1939. Pada tahun itu juga, nama Ter Poorten muncul kembali saat menjabat sebagai Kepala Staf merangkap wakil Panglima KNIL Letjen (Letnan Jenderal) Gerardus Johannes Berenschot.
Ter Poorten sebagai Letjen dan Panglima KNIL, sedang sedang berbincang dengan Panglima ABDA Jenderal/Field Marshal Sir Archibald Wavell.
Panglima KNIL Letjen Hein Ter Poorten saat menandatangani perjanjian penyerahan tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati. Praktis karir militernya berakhir di sini.
Ter Poorten sebagai POW (Prisoner of War) dan baru dibebaskan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Manchuria.
Pasca pendudukan Jerman terhadap Belanda, Berenschot mendapatkan tugas berat mempertahankan Hindia Belanda dari ancaman Jepang yang sudah di depan mata. Dia berangkat ke Singapura dalam konferensi Komando ABDA (America British Dutch Australia). Malangnya, Berenschot gugur pada tanggal 13 Oktober 1941 sekembalinya dari konferensi karena pesawat pembom Glenn Martin B-10 yang ditumpanginya jatuh di Kemayoran. Letjen Ter Poorten langsung diangkat sebagai penggantinya.
Berbeda dengan Berenschot, banyak pihak yang tidak menyukai Ter Poorten karena dianggap sebagai “jenderal salon”, sifatnya pesimis, dan tidak pernah sekalipun ikut perang. Di tengah pertentangan itulah Jepang menyerang kedudukan ABDA. Hindia Belanda menjadi pertahanan terakhir tapi terus dipukul mundur sampai ke Jawa. Walaupun demikian, kapal selam Hindia Belanda diam-diam berhasil menenggelamkan banyak kapal Jepang dan atas prestasi ini Ter Poorten dan Helfrich sebagai komandan Angkatan Laut disanjung bahkan sampai dimuat di sampul majalah Times.
Tapi pendaratan tentara Jepang di Jawa tidak bisa dihentikan. ABDA bubar dengan sendirinya dan membiarkan KNIL bertempur sendirian. Batavia jatuh dan segera pemerintahan pindah ke Bandung tapi tak lama kemudian terkena serangan udara. Karena banyak penduduk sipil yang mengungsi, pemerintah dan militer Hindia Belanda terpaksa mengajukan perundingan dengan Letjen Imamura. Gubenur Jenderal Tjarda dan Ter Poorten bersama staf militernya berangkat, mula-mula ke Subang tapi dialihkan ke Kalijati.
Perundingan berjalan alot karena Tjarda diinstruksikan oleh pemerintahan Belanda di London untuk tidak menyerah sedangkan Imamura menginginkan penyerahan tanpa syarat. Imamura lalu meminta Ter Poorten sebagai Panglima KNIL untuk menandatangani dengan ancaman akan menghancurkan seluruh pasukan KNIL. Ter Poorten yang sadar telah kalah, menyetujui menandatangai penyerahan tanpa syarat pada tanggal 8 Maret 1942 pukul 18.20.
Keputusan ini kontroversial karena Ter Poorten dianggap membangkang instruksi dari atasan dan menunjukkan sikap mudah menyerah. Ironis, lapangan terbang Kalijati menjadi saksi bisu kesuksesannya saat menjadi perwira penerbang dan justru menjadi keterpurukannya saat menjadi jenderal. Bersama dengan tentara KNIL yang ditawan, Ter Poorten masuk kamp internir di Jawa lalu dipindahkan ke Formosa dan terakhir di Manchuria sebelum dibebaskan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ter Poorten memang tidak diajukan ke mahkamah militer karena keputusan kontroversial itu dilakukan untuk menghindari korban yang lebih banyak. Pasca perang dia diberhentikan dengan hormat dan wafat pada umur 81 tahun di Den Haag, Belanda. Meskipun sejarah tidak pernah mencatatnya sebagai jenderal yang cemerlang tapi sejarah tidak melupakan dirinya sebagai pilot militer pertama Hindia Belanda dan sebagai tokoh perintis pembentukan penerbangan militer Hindia Belanda. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Laman: 12