KOPELAPIP (Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat) merupakan proyek ambisius Orde Lama yang ingin menyinergikan industri penerbangan dengan agroindustri. Sayangnya gejolak politik membuat impian ini lenyap begitu saja dan nyaris dilupakan generasi saat ini.
Kira-kira 11 tahun sebelum IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) terbentuk dan memproduksi secara lisensi CASA 212 dari Spanyol, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno membentuk KOPELAPIP yang tujuan utamanya memproduksi secara lisensi pesawat angkut Fokker F27 buatan Belanda. Tampak ambisius sekali mengingat Indonesia waktu itu sedang mengalami krisis ekonomi pasca Kampanye Trikora dan sedang melaksanakan Kampanye Dwikora.
Memproduksi pesawat yang sanggup mengangkut 32 penumpang ini pastinya membutuhkan modal tidak sedikit. Walaupun tampak mengawang-awang, tapi proyek ini memiliki pondasi yang sangat realistis. Bagaimana caranya ? Yaitu dengan menjual hasil produksi dari industri agrobisnis (pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan).
Terbang perdana tahun 1955, Fokker gencar mempromosikan F27 Friendship ke seluruh dunia. Pada iklan ini tampak promosinya sebagai pesawat yang “easy handling”. Tersirat pula pada pojok gambar sebelah kanan atas rumah pondok yang artinya pesawat ini sanggup beroperasi di lapangan sederhana/perintis.
Mayor Udara Abdullah Duyeh Kusrini (kanan) sebagai penggagas awal proyek KOPELAPIP sedang berbincang akrab dengan pengusaha Belanda pendukung produksi Fokker F27 di Indonesia, Reinder Zwolsman (kiri).
Ide awal ini datang dari Mayor Udara Abdullah Duyeh Kusrini yang merupakan anggota Pukadara (Pusat Koperasi Angkatan Udara). Di matanya Indonesia memiliki potensi agroindustri yang bagus di Eropa. Komoditi yang dianggap remeh seperti minyak sereh atau minyak jarak justru diminati di sana. Ini terbukti dengan beberapa kali Pukadara ikut dalam pameran dagang di Eropa dan produk-produk yang dibawa oleh Kusrini selalu habis terjual !
Masalahnya satu, agroindustri di Indonesia menghadapi kendala transportasi. Banyak di antaranya berada di daerah kabupaten/kotamadya bahkan di pedesaan. Membangun jalan atau rel kereta menuju kota besar butuh waktu dan investasi lebih banyak. Kusrini yang sebelumnya pernah menjabat sebagai komandan PAU (Pangkalan Angkatan Udara) di Menggala, Lampung, Sumatera Selatan melihat Fokker F27 sebagai pesawat angkut yang ideal.
Dapat beroperasi di lapangan terbang sederhana sepanjang kurang dari 1.000 meter yang cukup banyak tersebar di wilayah Indonesia, pesawat yang sanggup membawa muatan kargo sekitar enam ton ini dapat membawa hasil pertanian/perkebunan dari kota kecil ke kota besar, dan dari kota besar diberangkatkan ke luar negeri. Uang dari hasil ekspor itu digunakan untuk memproduksi Fokker F27 di dalam negeri. Saling berkesinambungan satu sama lain.
Secara bersamaan pula AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan GIA (Garuda Indonesian Airways) harus memodernisasi armadanya, Dakota Replacement begitu istilahnya merujuk pesawat angkut Douglas C-47/DC-3 Dakota yang meskipun populer, sudah ketinggalan zaman pada tahun 1960-an. Ini juga termasuk regenerasi pesawat bermesin piston lainnya seperti Convair 240/340/440 dan Ilyushin Il-14 Avia. Fokker F27 menjadi kandidat terbaik, apalagi telah memiliki sertifikasi kelas dunia FAA (Federal Aviation Administration) sehingga bisa diproduksi dan dipasarkan di Amerika Serikat oleh Fairchild akhir 1950-an. Secara politis pula proyek ini menjadi simbolisasi perbaikan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda pasca Trikora.
Ide ini semakin dimatangkan setelah bertemu dan bekerjasama dengan mantan wartawan Pewarta Jakarta dan pimpinan pabrik otomotif Immermotors (Indonesia Merdeka Motors), Kurwet Kartaadiredja. Immermotors yang pabriknya berada di Sidoarjo, Jawa Timur dan berpengalaman merakit dan memproduksi kendaraan secara lisensi mobil Borgward, truk Werdau Praga, dan Skoda, serta bus Robur dipastikan bisa membangun secara lisensi pula Fokker F27. Industri otomotif yang memiliki pula industri kedirgantaraan sebagai inti bisnisnya sudah menjadi hal yang lazim. SAAB asal Swedia dan Roll Royce asal Inggris menjadi dua contohnya yang terkenal.
Kusrini dan Kurwet menjadi dua tokoh utama di balik proyek produksi Fokker F27 di Indonesia. Rencana ini dibicarakan kepada ouwe heer, panggilan kesayangan keduanya untuk Presiden Soekarno segera setelah keduanya pulang dari Belanda untuk perundingan pertama dan berhasil mendapatkan izin lisensi produksi dari Fokker pada tahun 1964. Sang proklamator setuju apalagi ini adalah cara untuk memajukan ekonomi dan berdikari (istilah akronim dari berdiri di atas kaki sendiri yang sering diucapkan dalam pidato kenegaraan) dalam industri kedirgantaraan.
Setelah perundingan pertama dengan Fokker, Kurwet Kartaadiredja (kiri) bertemu dengan Presiden Soekarno (kanan) di teras Istana Negara untuk membicarakan produksi Fokker F27 di Indonesia. Setelah pembicaraan ini Soekarno berdiskusi dengan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh dan resmi menamakan proyeknya sebagai KOPELAPIP.
Tim perunding kedua yang menjadi manajer inti KOPELAPIP, dipotret di Den Haag, Belanda. Dari kiri : Direktur PT. Arev, Teddy Juwono; Kepala Proyek Pembangunan Pabrik, Ir. George Sugita; Panglima KOPELAPIP Omar Dhani (duduk); Kepala Proyek KOPELAPIP, Kurwet Kartaadiredja; Kepala Perwakilan KOPELAPIP di Belanda, Suhendra Reksodikromo (kakak kedua Kurwet); Staf Menteri KOPELAPIP/Anggota Pukadara, Mayor Udara Abdullah Duyeh Kusrini (belakang); Sekretaris Kepala Proyek KOPELAPIP, Hudiyonoto Haryoto; dan Staf Kepala Proyek KOPELAPIP Mayor Udara Ir. Juwono (belakangan menjadi direktur PT. Nurtanio sebelum BJ. Habibie)
Setelah Soekarno berdiskusi dengan Waperdam/Wakil Perdana Menteri III Bidang Ekuindag (Ekonomi, Industri, dan Perdagangan) Chairul Saleh, proyek resmi ini dinamakan KOPELAPIP, disahkan lewat Kepres (Keputusan Presiden) No.161 tahun 1965. PT. Arev (Api Revolusi) yang dipimpin oleh Teddy Juwono Seboputro dan Kolonel Udara Soeratman sebagai representatif AURI, dibentuk di Belanda sebagai penghubung ke pihak Fokker.
KOPELAPIP walaupun ditujukan sebagai penerus LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) tapi tetap ada pemisah jelas, tidak ingin mencampuri dan mengambil alih lembaga yang didirikan Komodor Muda Udara Nurtanio (Baca :The Aviation Historian : “Serangga-Serangga Muda Buatan Indonesia” dan Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – Nu-85/90 Belalang) itu yang tetap fokus sebagai institusi penelitian penerbangan dan perawatan pesawat terbang milik AURI. Walaupun nantinya Nurtanio diangkat menjadi Deputi Kepala Proyek dan Manager Umum Teknik KOPELAPIP, jabatannya di sini lebih mirip sebagai konsultan, berbagi pengalaman dan ilmu yang pernah didapat dalam memproduksi secara lisensi PZL 104 Wilga asal Polandia untuk diterapkan ke KOPELAPIP.
Perundingan kedua di Belanda dilakukan pada bulan Juli 1965 dilakukan dengan tim yang lebih lengkap termasuk melibatkan Panglima/KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Laksamana Madya Omar Dhani dan pejabat dari Bank Indonesia. Akhirnya pada bulan Agustus 1965, Direktur Fokker (Commercial) Frits Diepen dan Omar Dhani menandatangani perjanjian produksi Fokker F27 di Indonesia. Penandatanganan ini disaksikan oleh Presiden Soekarno di Istana Negara.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah, berikutnya Omar Dhani diangkat sebagai Menteri/Panglima KOPELAPIP dan Kurwet sebagai Menteri Negara Kepala Proyek KOPELAPIP, termasuk pemberian pangkat kehormatan Laksamana Muda Udara (Hor.) dalam jajaran Kabinet Dwikora II enam bulan kemudian.
Dalam rencananya, tim KOPELAPIP membangun fasilitas pabrik di Sunter, terhubung dengan landasan pacu (runway) RWY 26/06 yang akan diperpanjang 2.000 meter untuk kebutuhan lepas landas dan mendarat Fokker F27 “Berdikari”, nama yang diberikan Soekarno. Maka dimulailah proses pengeringan daerah rawa-rawa Sunter yang dimulai pada tahun 1966. Diperkirakan seluruh pembangunan selesai membutuhkan waktu tiga tahun dan pada tahun 1969 dijadwalkan Fokker F27 “Berdikari” siap terbang perdana.
Penandatanganan bersejarah produksi Fokker F27 di Indonesia, pada bulan Agustus 1965 oleh Direktur Fokker (Commercial Director), Frits Diepen dan Panglima/KSAU Laksamana Madya Udara, Omar Dhani dengan disaksikan oleh Presiden Soekarno.
Pengangkatan Laksamana Muda Udara (Hor.), Kurwet Kartaadiredja sebagai Menteri Negara Kepala Proyek KOPELAPIP dalam Kabinet 100 Menteri/Dwikora II, oleh Presiden Soekarno pada 24 Februari 1966 di Istana Negara.
Hebatnya lagi pembangunan awal KOPELAPIP ini masih menggunakan modal PT. Immermotors, pemerintah tidak keluar uang sepeser pun. Baru nanti produksi pesawat sudah berjalan, pemerintah berinvestasi dalam bentuk penyertaan modal pemerintah. Selain itu berkat pendekatan dari Chairul Saleh, pemerintah Tiongkok menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) pembelian 100 unit Fokker F27 “Berdikari” sebagai bentuk kepercayaan negara adidaya di Asia ini terhadap proyek KOPELAPIP.
Sayang setelah Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tanggal 11 Maret 1966 ditambah wafatnya Nurtanio akibat kecelakaan pesawat terbang di Bandung tidak lama kemudian, nasib KOPELAPIP menjadi tidak jelas. Orde Lama runtuh digantikan Orde Baru. Berikutnya kekuasaan Soekarno dibatasi dengan tahanan rumah, termasuk penahanan seluruh menteri yang dianggap pro Soekarno, termasuk Omar Dhani, Kusrini, dan Kurwet. Sebagai anti klimaksnya, pemerintahan Orde Baru membatalkan kerjasama dengan Fokker pada tanggal 11 Februari 1967 lewat Keputusan Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan Kep/08/II/1967.
Laman: 12
Luar biasa tulisan mas Sudiro, tidak terasa 2 butir air mata saya menetes, tidak saja karena saya membaca tentang cita cita bapak saya Abdullah Duyeh Kusrini yang saya alami ketika saya berumur 10 tahun pada waktu itu, tetapi juga mengingatkan masa remaja saya di Indonesia sampai tahun 1975 yang mana saya betul betul madesu (masa depan suram) pada waktu itu.
Mudah mudahan sepotong “kue” sejarah Indonesia yang sengaja di hilangkan oleh Orba untuk tidak diketahui halayak umum, dengan adanya tulisan mas Sudiro bisa kembali kepermukaan dan diketahui oleh generasi penerus Indonesia.
Salam dari Vienna, Austria
Subagio Rasidi Kusrini (etoy)
SukaSuka
Beliau orang hebat, melebihi zamannya…setidaknya ini yang bisa saya lakukan buat mengenang prestasi Bapak Kusrini.
SukaSuka
Saya baru tahu…
Izin share Pak.
Mungkin suatu waktu bisa diadakan diskusi tentang sejarah ini,
salam.
saleh purwanto
SukaSuka
Silahkan…jangan hanya habibie dan IPTN saja. Sekaligus ini adalah contoh betapa Orde Baru telah menghapus secara sistematis sejarah Orde Lama.
SukaSuka
Setuju diskusi untuk sejarah penerbangan.
SukaSuka