Proyek produksi secara lisensi Fokker F27 di Indonesia pada tahun 1960-an tidak tiba-tiba muncul begitu saja. KOPELAPIP (Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat) memiliki roadmap atau perencanaan strategis yang matang sebelum bahkan terus sampai pelaksanaan ke depannya.

Pemilihan tipe pesawatnya sendiri yaitu Fokker F27 ada pertimbangan politis dan kemudahan dalam memberikan lisensi. Politis karena Fokker berasal dari Belanda yang merupakan bekas jajahan Hindia Belanda sekaligus simbolisasi menjalin kerjasama lagi pasca Kampanye Trikora. Pemberian lisensi diberikan mengikuti kesuksesan sebelumnya dengan Fairchild di Amerika Serikat sekaligus sebagai strategi pemasaran dan membagi wilayah produksi.

Ini juga ditambah performa dan kemampuannya seperti Douglas C-47/DC-3 Dakota yang menjadi tulang punggung pesawat komersial dan angkut di Indonesia waktu itu. Fokker F27 dengan mudah dikonversi sebagai angkut penumpang menjadi kargo dan sebaliknya. Sanggup pula beroperasi di lapangan terbang sepanjang kurang dari 1.000 meter dengan fasilitas minim dan mudah perawatannya.

KOPELAPIP-A-Roadmap-1KOPELAPIP-A-Roadmap-2Pembangunan situs pabrik KOPELAPIP dan pelaksanaan pembangunan jalan raya serta jalur rel kereta api sepanjang tiga kilometer menghubungkan ke Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1965-1966.

Pesaing Fokker F27 sebagai Dakota Replacement tidak terlalu banyak. Negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet cenderung memilih memproduksi pesawat jet atau pesawat turboprop bermesin empat bukan bermesin ganda. Walaupun Uni Soviet nantinya memproduksi Antonov An-24 yang sekelas dengan Fokker F27, tapi tidak akan diberi lisensi produksi, hanya diizinkan untuk negara-negara anggota Pakta Warsawa.

Inggris membuat dua pesawat pesaing Fokker F27, Hawker Siddeley HS748 dan Handley Page Dart Herald. Dengan sayap rendah (low wing) dan roda pendarat yang tinggi membuat bongkar muat kargo membutuhkan alat khusus yang belum tentu tersedia di bandara atau lapangan terbang di Indonesia, HS748 segera masuk kotak. Dart Herald lebih baik karena mirip dengan Fokker F27, sayap tinggi (high wing) dengan kemampuan setara. Tapi tetap saja masuk kotak karena tidak memberikan lisensi produksi, apalagi Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia yang didukung Inggris.

Dari sisi pemilihan tempat, KOPELAPIP sebenarnya lebih unggul dari IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) atau sekarang dikenal sebagai PT. DI/Dirgantara Indonesia. KOPELAPIP berada di wilayah Sunter-Kemayoran yang saat itu memang ditujukan sebagai pusat industri. Untuk uji coba penerbangan, KOPELAPIP melakukan pendekatan praktis, memperpanjang salah satu landasan pacu dan untuk tahap produksi awal menggunakan salah satu hanggar di Bandara Internasional Kemayoran.

KOPELAPIP-A-Roadmap-3
Tata letak proyek KOPELAPIP di wilayah Sunter-Kemayoran seluas 310 ha. Tampak akses rel kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Priok selain memiliki akses landasan pacu yang merupakan perpanjangan landasan pacu Bandara Internasional Kemayoran.KOPELAPIP-A-Roadmap-4Tata letak, bangunan-bangunan proses produksi, hanggar perakitan, dan jalur rantai produksi milik KOPELAPIP. Wilayah ini luasnya mencapai 30 ha.

Luas fasilitas KOPELAPIP yang dibangun di wilayah rawa-rawa Sunter mencapai 310 ha, dengan fasilitas produksi seluas 30 ha. Selain terhubung dengan bandara, wilayah pabrik ini juga terhubung dengan jalan Jakarta Bypass dan rel kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Bandingkan dengan IPTN yang berada di Bandung, di tengah kota, dan hanya memiliki akses jalan dan Bandara Husein Sastranegara.

Akses rel kereta api dari dan menuju pelabuhan ini memudahkan dalam akses suku cadang, pengiriman peralatan, serta material produksi. Jika pesawat sudah jadi sekalipun, pembeli dari luar negeri memiliki alternatif pengiriman, selain diterbangkan, pesawat dapat dibongkar dan dipak untuk dikirim lewat laut menuju negara yang dituju.