Pada hari ini tepat 70 tahun maskapai Indonesian Airways melakukan penerbangan perdana sekaligus memulai kiprahnya di Birma (sekarang Myanmar). Baik status, operasional, dan sejarahnya begitu unik akibat situasi perang waktu itu.

Berdirinya Indonesian Airways tidak sengaja dan tidak terencana. Kisahnya dimulai sejak Yogyakarta jatuh dan pejabat tinggi Republik Indonesia termasuk Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda lewat Agresi Militer Belanda II (Baca : 70 Tahun Agresi Militer Belanda II – Operatie Kraai). Pada waktu bersamaan Douglas C-47/DC-3 Dakota beregistrasi RI-001 bernama “Seulawah” yang merupakan sumbangan dari saudagar-saudagar Aceh itu sedang berada di Calcutta, India untuk melaksanakan perbaikan mesin dan modifikasi lainnya.

RI-001 sudah ada di India sejak tanggal 17 Desember 1949, diterbangkan dari Kotaraja di bawah dipimpin oleh Opsir Udara III Soetardjo Sigit, perwira pilot AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Soetardjo Sigit yang merupakan salah satu pilot penyerang kedudukan Belanda di tiga kota itu (Baca : 70 Tahun Hari Bakti TNI-AU-Penyerangan di Tiga Kota) lantas berkoordinasi dengan Opsir Udara II Wiweko Soepono di New Delhi untuk mengupayakan agar pesawat ini menjadi modal perjuangan, menjadi perusahaan penerbangan sipil dan uangnya itu digunakan untuk membeli senjata dan kebutuhan lain untuk pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang terus melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda, walaupun pemerintah pusat sudah tidak ada.

penerbangan-perdana-indonesian-airways-1penerbangan-perdana-indonesian-airways-2RI-001 Indonesian Airways yang masih menggunakan tulisan sambung di badan pesawat saat awal operasionalnya di Birma (atas) selanjutnya diganti dengan huruf besar dan tebal sampai berakhir operasionalnya pada tahun 1950 (bawah).

Wiweko telah dikenal selain ikut membidani teknologi penerbangan bersama Nurtanio di AURI (Baca : Pesawat Layang NWG-1, Titik Awal Lahirnya Teknologi Penerbangan) sekaligus menjadi panitia pengumpulan dana “Seulawah”. Ide Wiweko dan Soetardjo ini didukung oleh perwakilan Indonesia di India, Dr. Sudarsono, namun sayangnya tidak bisa mendapatkan izin di India karena negara ini sudah memiliki beberapa maskapai yang beroperasi. Alternatif lainnya adalah Birma yang sangat membutuhkan angkutan udara untuk memerangi pemberontakan di dalam negeri.

Setelah izin terbang di Birma diperoleh, maka terbanglah RI-001 ke Rangoon dari Calcutta pada 26 Januari 1949. Tanggal inilah yang ditetapkan sebagai hari lahir Indonesian Airways walaupun sebenarnya nama dan badan hukum sebagai sebuah maskapai “Indonesian Airways” baru sah dua hari kemudian. Kru pilotnya pada saat kelahirannya itu terdiri atas, J. H. Maupin (pilot), Alan Ladmore (pilot), Caesselberry (flight engineer), dan Opsir Muda Udara III Sumarno (radio operator). Sedangkan Opsir Udara III Sudarjono, Opsir Udara III Soetardjo Sigit, dan Opsir Udara II Wiweko Soepono selain bertugas sebagai kopilot, juga menjabat sebagai manajer/administrator, dengan Wiweko sebagai pimpinan perusahaan.

Di Bandara Mingaladon inilah Indonesian Airways berkiprah. Pemerintah Birma lewat maskapai miliknya, Union of Burma Airways, mencarter RI-001 untuk melaksanakan berbagai macam tugas yang tidak bisa atau tidak mau dilakukan maskapai-maskapai asing lainnya yang beroperasi di Mingaladon karena terlalu beresiko seperti pengangkutan dan penerjunan pasukan serta logisitik di tengah medan pertempuran.

Tidak heran RI-001 sering kembali dari tugasnya dengan badan dan sayap terkena peluru. Dengan tugas menempuh bahaya seperti ini Jenderal Ne Win sebagai Panglima Angkatan Darat Birma sangat hormat terhadap Indonesian Airways, memberikan bayaran yang lancar, bahkan dipasok pula bantuan persenjataan untuk  TNI lewat penerbangan malam RI-001 menembus blokade Belanda ke Blang Bintang dan Lho Nga, Aceh.

penerbangan-perdana-indonesian-airways-3
penerbangan-perdana-indonesian-airways-4Birma pada awal kemerdekaannya menghadapi banyak pemberontakan dan Indonesian Airways siap mengantarkan pasukan Birma ke medan perang dengan RI-001 (atas) dan RI-007 (bawah).

Selain tugas-tugas berbahaya ini, Indonesian Airways juga melakukan penerbangan biasa seperti mengangkut penumpang dan barang. Kiprah Indonesian Airways cukup sukses di Birma bahkan dengan modal sendiri dapat menambah dua Dakota lagi, satu dibeli dan satu lagi diperoleh dengan cara menyewa.

Indonesian Airways memang menjadi maskapai yang unik. Secara status merupakan penerbangan sipil/komersial, tapi yang bertugas adalah dari AURI atau militer. Tugasnya juga meliputi operasional militer selain melayani kepentingan sipil. Maskapai ini walaupun memiliki nama “Indonesian”, tapi bertugas dan dikenal justru di Birma, bukan di negeri sendiri. Lainnya lagi, maskapai ini diurus dan dipimpin oleh orang-orang  Indonesia dengan mempekerjakan orang-orang asal Amerika Serikat sebagai kru pesawat !