Setelah dua kali kecelakaan yang menelan banyak korban di Indonesia (Lion Air dan Ethiopia dalam waktu berdekatan kurang dari enam bulan, akhirnya Boeing 737 MAX dilarang terbang (grounded) sementara di banyak negara. Kasus yang mirip pernah terjadi pada akhir 1970-an, yaitu pesawat badan lebar bermesin tiga Douglas DC-10.

Larangan terbang bagi Boeing 737 MAX sebenarnya tidak mudah, tapi harus dilaksanakan demi menghindari korban lebih banyak dan keselamatan penerbangan. Buntut permasalahan pada sistem MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) membuat RRC (Republik Rakyat Cina) sebagai pembeli pertama dalam jumlah besar menjadi negara pertama yang melarang terbang pesawat tipe ini.

Langkah RRC ini disusul Indonesia, Ethiopia, Singapura, Australia, Oman, Inggris, dll. dan juga banyak maskapai lainnya di dunia yang mengoperasikan Boeing 737 MAX. Hanya badan penerbangan sipil Amerika Serikat, FAA (Federal Aviation Administration), saat tulisan ini diturunkan, masih mempertahankan pendapatnya, tidak melarang terbang. Padahal badan penerbangan sipil Eropa EASA (European Aviation Safety Agency) sudah ikut pula melarangnya, semoga saja pendapat FAA berubah.

Situasi yang hampir serupa pernah terjadi 40 tahun lalu, yaitu pada DC-10 buatan McDonnell Douglas (hasil penyatuan dua perusahaan McDonnell dan Douglas pada 1967) ketika American Airlines Flight 191 mengalami kecelakaan fatal pada tanggal 25 Mei 1979, menewaskan seluruh penumpang dan krunya termasuk dua orang di darat.

Dengan total korban sebanyak 273 orang, membuat FAA melarang terbang pesawat tipe ini yang kemudian diikuti oleh maskapai-maskapai lainnya di dunia. Walaupun dinyatakan hanya versi awal (series 10) yang bermasalah, tapi untuk lebih amannya, seluruh versi ikut diperiksa termasuk series 30 yang dimiliki GIA (Garuda Indonesian Airways) sebagai satu-satunya operator di Indonesia.

Lewat Ditjen (Direktorat Jenderal) Perhubungan Udara, seluruh armada DC-10 GIA dilarang terbang pada awal Juni 1979 untuk diadakan inspeksi secara menyeluruh apalagi bukti penyelidikan mengarah kepada keretakan pada penyangga mesin pesawat. GIA memiliki empat unit dari enam unit yang dipesannya, PK-GIA s/d GID, tiga unit berada di Jakarta, sisanya di Amsterdam. Krisis berakhir 16 hari kemudian atau tanggal 23 Juni 1979, dan GIA sampai merugi seperempat milyar rupiah setiap harinya (Baca : Douglas DC-10, Trijet Legendaris).

Kecelakaan American Airlines memang bukan kali pertama, sebelumnya bermasalah pada pintu kargo yang copot saat terbang, American Airlines Flight 96 lolos dari malapetaka, sedangkan Turki Airlines Flight 981 tidak, menewaskan sampai 381 korban jiwa. Setelah American Airlines Flight 191 masih ada kecelakaan fatal akibat kegagalan hidrolik yaitu United Airlines Flight 232, menewaskan 111 orang saat berusaha mendarat.

Reputasi DC-10 tercoreng pada series awalnya, bahkan dijuluki Peti Mati Terbang (Flying Coffin). Padahal kalau mau adil, reputasinya semakin membaik pada versi berikutnya setelah melaksanakan banyak perbaikan, membukukan jam terbang dan rekor keselamatan yang bagus selain tentunya didongkrak pula lewat kecanggihan avioniknya. Walaupun masih ada kecelakaan yang menimpa DC-10, tapi lebih ke arah kesalahan manusia (human error), bukan dari aspek desainnya itu sendiri.

Apakah Boeing 737 MAX akan mengikuti jejak DC-10 ? Semoga saja tidak ! Walaupun tidak mudah karena pelarangan terbang ini bisa merugikan dari sisi bisnis karena ongkos sewa terus dibayarkan walaupun dilarang terbang, dan reputasi Boeing menjadi tercoreng.

Tapi semua ini mau tak mau harus dilakukan, wajib mengikuti aturan yang ditetapkan regulator, demi menyelamatkan banyak nyawa kelak di kemudian hari. Lagipula aturan ini hanya sementara, tidak untuk selamanya, sama seperti kasus DC-10, dilarang terbang sampai menemukan penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)