Kisah kedua pilot asing yang terlibat pada tanggal 29 Juli 1947 atau yang dikenal sebagai Hari Bakti TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) sangat menarik diteliti lebih lanjut. Tidak sekedar kepahlawan semata, sejarah memang selalu memiliki sisi ironi.
Ironi pertama yaitu pagi hari setelah merayakan keberhasilan penyerangan udara terhadap tiga kota yang dikuasai militer Hindia Belanda (Baca: 70 Tahun Hari Bakti TNI-AU-Penyerangan di Tiga Kota), sore harinya merupakan hari berkabung karena Douglas C-47/DC-3 Dakota VT-CLA yang mengangkut bantuan kemanusiaan dan obat-obatan serta petinggi dan perwira TNI-AU mengalami kecelakaan (Baca: 70 Tahun Hari Bakti TNI-AU-Jatuhnya VT-CLA)…atau tepatnya ditembak jatuh di wilayah Ngoto, Bantul karena diserang mendadak oleh sepasang Curtiss P-40 Kittyhawk milik ML-KNIL (Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger).
Alexander Noel Constantine sebagai PIC (Pilot In Command) pesawat angkut yang nahas itu adalah mantan pilot tempur. Pria yang lahir pada tanggal 13 Desember 1914 di Moamoa, New South Wales ini berkiprah di beberapa skadron RAF (Royal Air Force) sampai akhirnya bergabung ke dalam Skadron 136 di India. Di sini prestasinya meningkat luar biasa dan bahkan tergolong pilot jagoan (ace) karena berhasil menembak jatuh lebih dari lima pesawat tempur Jepang di wilayah Asia Tenggara. Pensiun pada tahun 1946 dengan pangkat terakhir Wing Commander, Noel memutuskan untuk bekerja sebagai pilot sipil, menerbangkan pesawat angkut di beberapa maskapai carter, tak terkecuali Kalinga Air, maskapai pemilik VT-CLA asal India.
Squadron Leader Noel Constantine, duduk di sayap pesawat tempur Spitfire Mk V milik Skadron 136 RAF di lapangan terbang Arakan, Birma pada bulan Januari 1944.
Letnan Satu Ben Ruesink, berdiri kedua dari kiri saat Skadron 120 ML-KNIL ditempatkan di Kalibanteng, Semarang, sebagai persiapan Operasi Pelikan.
Sama seperti Constantine, Bernhard Jan “Ben” Ruesink merupakan pilot pesawat tempur. Lulusan Akademi Militer Breda ini berhasil melarikan diri ke Inggris saat Belanda dikuasai Jerman, sampai akhirnya tiba di Australia untuk bergabung menjadi letnan dua di Skadron 120 (Dutch) RAAF (Royal Australian Air Force). Skadron ini murni menjadi skadron milik ML-KNIL pasca menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Skadron 120 tiba di Hindia Belanda dan ditempatkan di Bandung dengan tugas utama menyerang pasukan gerilya TNI, termasuk ikut aktif dalam operasi militer Pelikan (Baca : 70 Tahun Agresi Militer Belanda I – Operatie Pelikaan) yang akhirnya menembak jatuh VT-CLA itu.
Menjadi ironi kedua, seorang mantan pilot RAF ditembak jatuh oleh pilot tempur ML-KNIL karena perbedaan politik. Walaupun Constantine berstatus sebagai pilot sewaan, tapi berani menanggung resiko terbang di wilayah konfilik karena besar kemungkinan setuju terhadap pandangan politik pemerintah Australia yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Takdir lagi-lagi memiliki ironi berikutnya untuk pria Indo-Belanda kelahiran Jember, Jawa Timur ini. Setahun kemudian saat melancarkan operasi militer Gagak (Baca : 70 Tahun Agresi Militer Belanda II – Operatie Kraai), Kittyhawk yang diterbangkan Ruesink jatuh pada tanggal 22 Desember karena bom yang dijatuhkannya meledak lebih cepat sehingga pecahannya menghantam pesawatnya. Dia gugur hanya berselang tiga hari sebelum merayakan hari ulang tahunnya ke-29! Peraih penghargaan Kruis van Verdienste dari Ratu Wilhelmina ini dimakamkan lewat upacara militer dan disemayamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Menteng Pulo, Jakarta.
Jauh berbeda dengan Constantine, dia disemayamkan bersama-sama istrinya, Beryl dan kopilot Roy Hazlehurst. Ironinya adalah selain dilakukan terburu-buru apalagi karena situasi perang, sebagai orang asing, makamnya dibuat hanya sederhana saja tanpa nisan di salah satu sudut kompleks TPU Sasanalaya/Makam Kerkoof. Bahkan karena bertahun-tahun tidak diurus dengan baik malah “menghilang”, nyaris menjadi makam tak dikenal!
Lahir pada Hari Natal 1919, Ben Ruesink gugur tiga hari sebelum hari ulang tahunnya ke-29. Jenazahnya disemayamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta.
Noel Constantine dimakamkan di TPU Sasanalaya bersama-sama istrinya dan Roy Hazlehurst. Makamnya sempat “menghilang”, namun sudah ditemukan, bahkan nisannya dibentuk seperti monumen kecil.
Baru pada awal tahun 2016, makam itu kembali ditemukan oleh Dr. Elisabeth Kramer dari Universitas Sydney. Makam itu tertutup tanah setelah sebelumnya dilapisi beton yang sempat diinvestigasi keberadaannya pada tahun 1966 oleh ahli waris Geoffrey Constantine, keponakan dari Noel Constantine dengan bantuan Abdul Gani, satu-satunya korban yang selamat dari penembakan VT-CLA. Beberapa bulan kemudian dengan inisiatif sendiri dipasang nisan oleh Michael Kramer, ayah dari Elisabeth selaku orang yang diberi kewenangan oleh Geoffrey, dan dibantu pula oleh Dito, seorang wartawan Tribun Jogja yang akhirnya lewat media online mempublikasikan secara luas peristiwa ini.
Akhirnya makam tak terurus itu berhasil dibangun rapi dengan ongkos pembangunannya diganti oleh pihak Kedubes (Kedutaan Besar) Australia. Pada saat peringatan Hari Bakti TNI-AU ke-70, keluarga dari Noel-Beryl Constantine dan Kedubes Australia ikut diundang, sebagai simbolisasi penghargaan kepada ketiganya dan persahabatan erat pemerintah Indonesia-Australia sejak awal kemerdekaan.(Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)