Operasi Alpha I dan II merupakan operasi rahasia melibatkan intelijen kedua negara Israel dan Indonesia untuk pengadaaan Douglas A-4E/TA-4H Skyhawk eks Israel untuk TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) pada awal tahun 1980-an. Kerjasama dengan Israel ini tetap terus dilanjutkan lewat operasi rahasia lainnya sampai tahun 1990-an.
Sebenarnya pengadaan produk alutsista (alat utama sistem senjata) alurnya sama, pertama-tama pengiriman SDM (Sumber Daya Manusia) untuk mengawaki produk itu ke negara penjual, pengiriman produk, dan pengoperasiannya di bawah pengawasan negara penjual atau pabrik pembuat produk. Bedanya karena dianggap kontroversial secara politik maka dibangun operasi intelijen untuk menyelubungi pengadaannya.
Operasi Alpha, abjad pertama Yunani dan huruf itu diambil dari A pada A-4, merupakan kerja intelijen yang cukup rumit pelaksanaannya dan terbagi dalam dua gelombang, gelombang pertama adalah teknisi dan kedua adalah pilot. Personel dikirim sebelumnya dipastikan sudah lolos seleksi dari BIN (Badan Intelijen Negara) dan lulus tes kesehatan, psikotes, dan Bahasa Inggris. Gelombang pertama dikirim SDM teknisi yang terdiri atas 32 orang (12 perwira dan sisanya bintara) pada bulan November 1979 dengan sebelumnya melakukan persiapan selama tiga bulan.
Skenario intelijen dan pemberitaan resminya adalah Indonesia membeli Skyhawk langsung dari Amerika Serikat. Maka seluruh teknisi itu diterbangkan ke Washington DC dan tidak ada satupun yang curiga karena informasi pada waktu itu sulit, ditambah lagi hanya segelintir yang tahu bahwa produksi Skyhawk sudah dihentikan pada bulan Februari di tahun yang sama. Jadi membeli langsung Skyhawk dari Amerika Serikat adalah hal yang tidak mungkin. Mereka yang berangkat juga tidak mengetahui tujuan asli pemberangkatannya ke mana, hanya tahu bahwa berangkat dari Jakarta via Singapura menuju Washington DC untuk pelatihan di Amerika Serikat.
Dari ibukota Amerika Serikat itu, para teknisi yang sudah mendapat tugas pembelajaran masing-masing di bidang APG (Airframe & Powerplant General), avionik, persenjataan, GSE (Ground Support Equipment), dan mesin, barulah diberi tahu tujuan akhir asli mereka yang ternyata ke Israel. Tidak ada kata mundur, seluruh paspor dan identitas yang berbau Indonesia dimusnahkan dan mereka diberangkatkan lagi ke Israel dengan identitas baru. Pengelabuan dilakukan lagi, mengirim sampai delapan kali penerbangan, masing-masing dengan dua sampai tiga orang dengan maskapai yang berbeda-beda.
Setelah tiba di Tel Aviv, para teknisi ditempatkan di Haifa sebelum diarahkan ke Eilat, pangkalan udara di sebelah selatan untuk diberikan pelajaran dan praktek langsung. Setelah selesai, mereka pulang dengan cara yang sama via Amerika Serikat, dan tiba di Indonesia pada bulan Februari 1980. Setelah mereka kembali dari Israel dengan aman, selamat dan tentunya terjamin kerahasiannya, barulah gelombang kedua dilaksanakan.
Surat perintah Dephankam (Departemen Pertahanan dan Keamanan) untuk pengiriman calon pilot Skyhawk ke Israel dan boarding pass maskapai El Al menuju Ben Gurion, Tel Aviv.
Djoko “Beaver” Poerwoko, Thunder-36, salah satu dari 10 pilot yang dikirim ke Israel, menyempatkan berfoto di kokpit Skyhawk saat latihan terbang di atas Laut Merah.
Sebanyak 10 pilot yang berpengalaman ratusan jam menerbangan Lockheed T-33 Bird dan Avon Sabre itu diterbangkan dari Jakarta menuju Singapura. Di sana para pilot diberikan instruksi oleh intel Indonesia yang bertugas di Singapura agar selalu irit bicara dan kalau ingin berbicara harus dalam Bahasa Inggris, dibuat kesan dan narasi bahwa mereka ini adalah warga negara Singapura ras Melayu. Berbeda dengan gelombang pertama, identitas seluruh pilot dimusnahkan di Singapura, lalu diterbangkan ke Jerman secara bersama-sama, tidak terpisah seperti sebelumnya. Frankfrut dijadikan sebagai tempat transit menuju Tel Aviv.
Dari sana, sama seperti teknisi, mereka ditempatkan di Eliat yang berbatasan dengan Yordania, Gurun Sinai milik Mesir, dan Laut Merah, untuk belajar terbang dan pengoperasian pesawat, sementara pendidikan teori dan simulator dilakukan di Beersheba (Be’er Sheva), salah satu pusat pendidikan Angkatan Udara Israel (Heyl Ha’Avir). Lagi-lagi sesuai tingkat operasional, kesepuluh pilot ini lulus menempuh 20 jam terbang dengan dua di antaranya berkualifikasi pilot uji (test pilot). Di sana mereka menyaksikan sendiri filosofi pilot tempur yang berbeda dari sebelumnya dan selalu siap menghadapi agresi. Bahkan sejak kadet pilot sekalipun sudah melaksanakan dan memprioritaskan simulasi dan latihan dogfight. Menyaksikan pula kesiapan scramble yang di luar pakem resmi dan bahkan berkesan mengabaikan keselamatan terbang, tapi sebenarnya sudah diperhitungkan dan terlatih dengan baik. Bahkan kesepuluh pilot ini juga diajak para instruktur untuk terbang melintasi perbatasan Mesir dan Yordania sebagai bagian dari sesi pelatihannya!
Awal bulan Mei 1980 mereka siap pulang ke Indonesia, namun nanti dulu, kesepuluh pilot ini wajib membakar seluruh identitas yang bisa membuktikan dididik di Israel, mulai dari ijazah terbang sampai kartu pas ke pangkalan udara Eliat di depan anggota BIN yang ada di sana. Yang tidak diketahui bahwa yang dibakar adalah fotokopinya! Instruktur Israel sendiri yang mengusulkan kepada kesepuluh pilot seraya menawarkan penggunaan fasilitas fotokopi berwarna yang masih sangat langka dan mahal itu untuk membuat ijazah dan identitas palsu. Secara bijaksana, instruktur Israel berkata bahwa bukti-bukti legal ini adalah bagian dari sejarah karir mereka sekaligus sejarah Indonesia, kelak bila memungkinkan akan membuka dan menceritakan semuanya kepada publik. Hal yang akhirnya terjadi pasca reformasi dan pergantian milenium lewat kesaksian salah satu pilotnya yaitu Marsda (Marsekal Muda) Purn. (Purnawirawan) Djoko Poerwoko.
Dari Tel Aviv, mereka terbang ke Frankfrut, namun tidak ke Singapura lalu Jakarta, melainkan dibelokan ke Washington DC. Selama dua minggu, mereka melakukan tur ke tempat-tempat wisata di Washington DC dan New York lalu Disneyland, agar terkesan mereka memang ditugaskan di Amerika Serikat. Terakhir kesepuluh pilot itu dikirim ke Arizona di mana di Pangkalan Udara Yuma (Yuma Air Station) milik USMC (United States Marine Corps), seluruhnya diberikan ijazah. Secara resmi mereka adalah penerbang Skyhawk lulusan USMC bukan Heyl Ha’Avir! Dari Amerika Serikat, barulah kesepuluh pilot diterbangkan ke Singapura dan sampai di tanah air pada tanggal 20 Mei 1980.
Melihat tanggal tiba kesepuluh pilot Skyhawk itu, dipastikan keempat Skyhawk yang pertama tiba di Indonesia, diterbangkan oleh pilot uji dari Israel sebagai negara penjual, tentunya hal ini dirahasiakan dengan selubung bahwa pilot itu adalah dari USMC. Dengan dua di antaranya berkursi ganda, dipastikan pula di kursi belakang ditempatkan oleh pilot TNI-AU, untuk membantu mengarahkan terbang menuju Iswahyudi. Baru pada pengiriman berikutnya, kesepuluh pilot Skyhawk yang baru lulus ini mengambil alih dan menerbangkan seluruh pesanan tersisa ke Madiun dan 16 unit Skyhawk itu menjadi kekuatan dari Skadron 11.
Laman: 12