Kampus atau universitas adalah lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam pengembangan riset iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan salah satu yang terunik adalah ikut serta dalam proyek antariksa dan astronautika, berlomba-lomba membangun roket pada tahun 1960-an.
Inspirasinya tentu dari keberhasilan Uni Soviet meluncurkan satelit pertama buatan manusia ke orbit, Sputnik pada tahun 1957. Dunia jadi demam roket dan teknologi luar angkasa, tak terkecuali Indonesia lewat golongan terpelajarnya di kampus. UGM (Universitas Gajah Mada) menjadi yang pertama dalam mengembangkan dan membangun roket. Serba eksperimental dan coba-coba, bahkan dilakukan oleh para mahasiswanya khususnya dari fakultas teknik kimia.
Berdasarkan referensi terbatas, mereka mencoba membuat bahan bakar roket sendiri dari bahan-bahan yang ada, mulai dari perklorat (KClO4 dan NH4ClO4) bahkan campuran sulfur seng yang biasanya dipakai untuk membatik. Meskipun menemui hambatan namun akhirnya mereka menciptakan roket berbahan bakar padat racikan sendiri dengan ukuran tinggi 1,5 m dan garis tengah 70 cm. Dari sisi bentuk dan teknologi memang bukan apa-apa, malah lebih mirip mercon berukuran besar, namun toh roket ini bisa diluncurkan dengan sukses di Congot, pesisir pantai yang masih sepi di sebelah selatan Yogyakarta pada tahun 1960.
Keberhasilan kecil ini menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan mahasiswa UGM sehingga membentuk PRMI (Perkumpulan Roket Mahasiwa Indonesia), lagi-lagi minim dana, risetnya masih belum profesional, dan ditambah lagi harus membagi waktu antara kegiatan kuliah, tapi tetap saja dari organisasi setara ekstrakurikuler kampus ini melahirkan dan meluncurkan roket berikutnya, GAMA (Gajah Mada) I, GAMA IIA, dan GAMA IIB pada akhir bulan Agustus 1963.
Cuplikan dari Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 28 Agustus 1963 memberitakan kesuksesan mahasiswa UGM dalam meluncurkan Roket Gama.
Replika Roket Gama buatan PRIM skala 1:1 di Museum UGM. Dengan roket sederhana inilah UGM ikut serta dalam perlombaan roket pada tahun 1960-an.
Di lain pihak, berita keberhasilan UGM ini menggugah ITB (Institut Teknologi Bandung) ikut dalam “lomba roket antar kampus”. Berbeda jauh dengan UGM, ITB lebih profesional, kegiatan membangun roket didukung secara tidak langsung oleh AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) lewat para dosennya yang juga menjabat sebagai perwira AURI. Ini ditambah lagi dukungan dari Depo Logistik 10 dan LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) pimpinan Nurtanio di Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara.
Dari pesisir pantai di Cilaut Eureun, Jawa Barat, pada akhir tahun 1963, diluncurkan roket buatan ITB bernama Ganesha X-I, dengan tinggi 1,5 m dan garis tengah 10 cm. Dibuat dua tipe A dan B, serta lebih baik lagi dipasang pemancar telemetri mini untuk mengirim data ketinggian, percepatan, dan suhu ke operator di darat untuk dianalisa. Roket Ganesha dibuat pengembangannya menjadi Ganesha X-IIA dan X-IIB.
Kegiatan kedua kampus ini diperhatikan benar oleh pemerintah karena dianggap sebuah riset yang bernilai strategis baik dari sisi iptek dan militer. Presiden Soekarno lantas memanggil seluruh tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembangunan roket di kampus ini, bersatu dan saling bekerjasama dalam satu wadah bernama PRIMA (Proyek Roket Ilmiah dan Militer Awal) pada tanggal 22 September 1963. Dari UGM ada nama-nama, Kisman Soebandhi dan Achmad Baucuri, sementara dari ITB ada Iskandar Alisyahbana, Semaun Samadikun, Wiranto Arismunandar, dan Oetarjo Diran. Dari sisi skala, PRIMA lebih besar, bahkan lebih strategis dengan melibatkan peranan militer dan dari PRIMA inilah dibangun roket Kartika 1 dan merintis berdirinya LAPAN. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)