Di tengah kontroversi di negara asalnya, Australia, N22 Nomad justru terus dipercaya oleh Puspenerbal (Pusat Penerbangan Angkatan Laut) dengan menambah 20 unit lagi pada awal tahun 1997.
Ini merupakan pesanan kedua pesawat patroli maritim Nomad, di mana pesanan pertama sebanyak 18 unit telah diterima 21 tahun yang lalu (Baca: Si Pengembara Lautan Nusantara). Pesanan kedua ini dikirimkan secara bertahap, dengan gelombang pertama sebanyak tujuh unit N22, diterbangkan dari Darwin menuju Surabaya via Kupang pada tanggal 31 Januari 1997. Penerbangan feri ini bahkan dipimpin langsung (sekaligus menjadi flight leader) oleh KSAL (Kepala Staf Angkatan Laut) Laksamana Madya Arief Kusharyadi.
Dari 20 unit yang diterima Puspernerbal, 14 unit merupakan N22 sisanya adalah N24, versi lebih panjang dan dikhususkan untuk angkut VIP (Very Important Person). Pesawat buatan GAF (Government Aircraft Factory) ini memang bukan barang baru, melainkan bekas pakai Angkatan Darat Australia. Pemerintah dan otoritas penerbangan Australia menyatakan Nomad tidak layak terbang karena dianggap memiliki cacat di ekornya. Oleh karena itu sebanyak 24 unit milik Angkatan Darat Australia dilarang terbang, grounded sejak bulan November 1994 dan seluruhnya ditawarkan untuk diekspor.
Dipotret dari pesawat latih Socata TB-9 Bonanza milik Puspenerbal di atas Situbondo, sebanyak tujuh unit Nomad eks Angkatan Darat Australia bersiap mendarat di Surabaya.
Seluruh Nomad bergerak beriringan sesampainya di Bandara Internasional/Pangkalan Udara Angkatan Laut Juanda.
Nomad ini sudah berbendera poligon merah putih dan logo jangkar khas TNI-AL namun masih berkamuflase coklat-hijau Angkatan Darat Australia.
Seluruh kru dari tujuh unit Nomad yang melaksanakan penerbangan feri dari Darwin menuju Surabaya via Kupang pada tanggal 31 Januari 1997.
KSAL Laksamana Madya Arief Kusharyadi sekaligus flight leader dari penerbangan feri ini, mendapat ucapan selamat dari atase pertahanan militer Australia setibanya di Surabaya.
TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut) mengambil kesempatan dengan membeli 20 dari 24 unit yang ditawarkan. Tidak masalah ada kontroversi dan dianggap sebagai pesawat yang tidak aman, selama Nomad dioperasikan dan dirawat mengikuti petunjuk dari ASTA (Aerospace Technologies Australia), penerus GAF. Dengan adanya jaminan suku cadang untuk 20 tahun mendatang, Puspenerbal terus mempercayakan Nomad sebagai pengawas ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) milik Indonesia.
Saat pengiriman itu, kamuflase masih asli berwarna kombinasi coklat-hijau, tampak unik karena kontras dengan kamuflase maritim Puspernerbal yang didominasi warna biru laut. Nanti setelah masuk hanggar barulah dicat kamuflase sesuai peruntukannya. Untuk pengiriman gelombang kedua sebanyak tujuh unit dilaksanakan pada bulan April, dilanjutkan sisanya pada bulan Juni 1997.
Dengan total mencapai hampir 40 unit, praktis Puspernerbal menjadi operator Nomad terbesar di dunia. Pada periode tahun 2004-2006, Nomad secara resmi tidak dioperasikan lagi, digantikan perannya oleh dua tipe pesawat maritim terbaru buatan PT Dirgantara Indonesia, NC-212 MPA (Maritime Patrol Aircraft) dan CN235 Patmar (Patroli Maritim). (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Tanya mas. Dengan jaminan suku cadang sampai 20 tahun terhitung dari 1997, seharusnya masih bisa dipakai sampai 2017.
Tapi kenapa lantas tidak dioperasikan lagi setelah kurang dari 10 tahun? Apa memang cacat di ekor pesawat itu ternyata memang membahayakan ya?
Terimakasih
SukaSuka
Sebenarnya masih ada Nomad yang tersisa sebagai cadangan, dioperasikan Dispenerbal beberapa unit buat pesawat latih konversi. Lagipula jaminan suku cadang bukan berarti operatornya harus mengoperasikan selama periode itu, bisa saja sebelum periode itu berakhir sudah dipensiunkan dengan berbagai alasan.
Contohnya, Dispenerbal yang sudah memiliki pesawat maritim yang lebih baik yaitu NC212 dan CN235 Patmar buatan PT DI, memutuskan lebih baik pensiunkan saja sebagian besar armada Nomad yang dimilikinya.
SukaSuka