Hari ini tepat 110 tahun yang lalu penerbangan wahana lebih berat dari udara (heavier than air) alias pesawat terbang, mengangkasa di langit Nusantara, yang saat itu menjadi koloni Belanda bernama Hindia Belanda. Memang sekedar aksi terbang (flying stunt), belum menyentuh sisi sosial-ekonomi masyarakat Hindia Belanda.

Awal kisahnya dimulai saat pemilik pabrik dan perkebunan gula ingin mengadakan kongres di Surabaya pada bulan Maret 1911. Sebagai pengusaha kaya-raya, mereka ingin menyaksikan pertunjukan yang tidak biasa, sekaligus luar biasa. Kebetulan saat yang bersamaan, Eropa sedang dilanda eforia dunia penerbangan pasca demo terbang Model A oleh Wright Bersaudara. Sepertinya semua orang berlomba-lomba membuat pesawat terbang dan menerbangkannya. Profesi baru lahir, aviator. Mereka dibayar mahal untuk mendemonstrasikan kemampuan terbangnya walaupun tidak jarang harus ditebus dengan nyawa. 

Berita tentang mereka ini pelan-pelan telah sampai juga ke Hindia Belanda, panitia kongres gula dengan dimotori klub penerbangan Hindia Belanda, NIVvl (Nederlandsch-Indische Vereeniging voor Luchtvaart) segera melayangkan undangan kepada para aviator, membawa pesawat terbang dari Eropa untuk menerbangkannya di sini, tentu dengan imbalan yang setimpal. Mulanya terpilih Jan Olieslagers, aviator asal Belgia, namun dia terlalu sibuk dengan demo terbang di Eropa, lantas mereferensikan rekannya, aviator asal Belanda, Gijsbertus Petrus Küller (Baca: Küller, Pilot Pionir Pertama yang Terbang di Hindia Belanda). Dikenal dengan nama akrab “Gijs”, Küller sudah terkenal sebagai aviator yang sanggup terbang di cuaca kurang bersahabat. Terlebih lagi dia merupakan tes pilot sekaligus insinyur di pabrik pesawat Antoinette, kesempatan bagus untuk sekaligus mempromosikan penjualan pesawat tipe ini di Hindia Belanda.

Awalnya kaget saat Küller mengajukan biaya sebesar 40.000 gulden, namun setelah tahu bahwa satu unit Antoinette VII (Baca: Antoinette VII, Pesawat Pertama yang Terbang di Langit Nusantara) harganya mencapai 15.000 gulden, dan Küller membawa dua unit beserta suku cadangnya, akhirnya panitia kongres menyetujuinya. Berangkatlah dia dari Belanda pada tanggal 23 Januari 1911 lewat laut dan tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada tanggal 13 Maret 1911. Antoinette VII bersayap tunggal (monoplane) yang dibawa Küller merupakan versi khusus, dipasang mesin bertenaga 60-70 tk (tenaga kuda), lebih kuat dari versi orisinalnya untuk mengantisipasi kondisi tropis Hindia Belanda yang beda dengan iklim sub-tropis Eropa. Segera setelah diturunkan dari kapal, pesawat mulai dirakit di tenda besar di lapangan luas di Pasar Toeri.
Mengenang-Penerbangan-Pertama-di-Langit-Nusantara-1Gijsbertus “Gijs” Petrus Küller (1881-1959), insinyur, tes pilot, dan aviator untuk pabrik pesawat Antoinette (kiri). Tampak Küller berada di kokpit Antoinette yang terbuka dengan steering wheel di setiap sisinya (kanan).

Mengenang-Penerbangan-Pertama-di-Langit-Nusantara-2Antoinette bersayap tunggal  yang biasa diterbangkan Küller untuk uji terbang, promosi, dan demo terbang. Tampak ada nomor 13 di badannya karena tidak jarang pada waktu itu pesawat-pesawat ditandingkan layaknya mobil balap.

Mengenang-Penerbangan-Pertama-di-Langit-Nusantara-3Antoinette VII sedang disiapkan untuk demo terbang saat berada di Semarang. Dengan pesawat bermotor dan bersayap tunggal ini, Küller praktis menjadi aviator pertama yang terbang di Hindia Belanda, termasuk Malaya yang saat itu merupakan koloni Inggris.

Pada tanggal 18 Maret 1911, Küller melakukan uji coba beberapa kali di darat sebelum akhirnya terbang mengangkasa di atas Surabaya. Hari itu dikenang sebagai penerbangan pertama pesawat terbang di Hindia Belanda. Tiga kali Küller membawa Antoinette VII terbang berputar-putar. Masyarakat Surabaya menyaksikan sebuah keajaiban…dan keajaiban itu membuat jalanan macet untuk satu hari itu saja! Tanggal itu ternyata hanya pemanasan buat festival resmi yang berlangsung pada tanggal 23 Maret dan total selama seminggu Küller berada di Surabaya. Keberhasilan itu membuatnya mendapat undangan di kota-kota lainnya di Pulau Jawa. Küller berangkat ke Semarang dan Yogyakarta dengan kereta api. Rencana ke Batavia dan Bandung ditunda karena wabah kolera, membuatnya berlayar ke Sumatra tepatnya melaksanakan demo terbang di Medan. Dari Medan, Küller mendapat undangan dari pengusaha Malaya, maka dia terbang di atas Penang, Ipoh, dan Kuala Lumpur. Setelah Malaya, barulah kembali ke Pulau Jawa, melaksanakan demo terbang di Batavia dan Solo (Bandung dibatalkan) pada periode bulan Agustus sampai September 1911. 

Walaupun peristiwa ini sangat heboh dan membuka era penerbangan namun seperti sebelumnya ditulis, demo terbang Küller ini hanya sekedar aksi terbang. Belum ada manfaat secara nyata untuk masyarakat Hindia Belanda, selain penjualan tiket, dapat disebut tidak lebih dari sekedar sirkus. Patut dimaklumi bahwa saat itu dunia penerbangan masih dalam tahap awal, masih tergolong bayi, pesawat Antoinette VII yang dibawa Küller hanya sanggup membawa satu penumpang dengan jangkauan terbang terbatas.

Namun kemudian dunia penerbangan berjalan sangat cepat, Perang Dunia I yang menjadikannya cepat dewasa. Baru pasca perang, pabrik-pabrik pesawat mengalihkan wahana terbang ini menuju potensi lainnya yang bermanfaat, tidak sebagai alat perang, melainkan sebagai alat komersial, mendukung kegiatan ekonomi negara, dan era keemasan perjalanan udara dimulai. Dari sinilah masyarakat Hindia Belanda baru merasakan peran penting dunia penerbangan, mendapatkan manfaat nyata sosial-ekonomi lewat berdirinya maskapai KNILM (Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij) pada tahun 1928. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)