Menyambung tulisan sebelumnya, tur terbang Küller di Nusantara walaupun tergolong sukses, seperti layaknya kehidupan, ada sisi manis dan pahitnya. Bangga, mengesalkan, dan kadang lucu bercampur jadi satu. Tapi setidaknya bayarannya cukup layak.
Saat Küller memamerkan kemampuan terbangnya pertama kali itu, berputar-putar di atas Surabaya pada tanggal 18 Maret 1911, para peserta kongres gula yang sedang menikmati makan siang dan bersenang-senang di restoran mewah Hellendoorn menyaksikan aksinya dengan mata tercengang. Untuk pertama kali ada demonstrasi penerbangan wahana lebih berat dari udara. Secara spontan mereka bersorak-sorak riuh, bahkan menyanyikan lagu kebangsaan Wilhelmus. Bersuka cita, sampanye mahal dibuka dan dituangkan ke gelas-gelas. Mereka merayakan keberhasilan penerbangan perdana Küller ini sebagai bagian dari keberhasilan mereka pula!
Küller mendapatkan hasil yang manis dari demo terbang di Surabaya, semanis sponsornya yang merupakan pemilik perkebunan dan pimpinan pabrik gula. Dalam satu hari saja, panitia berhasil mengumpulkan uang sebanyak 30.000 gulden dari penjualan tiket, menyaksikan dari dekat persiapan dan aksi terbang sang aviator terkenal asal Belanda ini. Selama periode festival kongres gula yang berlangsung dari tanggal 22-26 Maret itu, panitia mengumpulkan secara fantastis pendapatan kotor 35-40.000 gulden dengan 5.000 gulden dipotong untuk sewa lapangan di Pasar Toeri.
Küller (ketiga berdiri dari kanan) berpose dan berfoto sebelum melaksanakan demo terbang di Semarang. Tampak spanduk sponsor utamanya adalah Shell yang menyediakan bahan bakar.
Aksi terbang di ketinggian rendah oleh Küller di Semarang. Tidak heran ada berita negatif, menganggapnya sebagai”…aksi udara yang gila-gilaan dan berbahaya.”
Sebagai tambahan aksi, Küller berkesempatan membawa satu penumpang untuk diajak joyflight, terbang mengelilingi Surabaya. Awalnya Rambaldo, seorang perwira KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang sudah dikenal sebagai pilot balon udara (Baca: Rambaldo, Pilot Balon Udara yang Bernasib Tragis) namun sayangnya ditolak karena berat badannya! Kehormatan itu jatuh kepada Van Kappen, seorang perwira KNIL pula, tentunya dengan berat badan yang dinilai cukup agar Antoinette VII bisa lepas landas dengan mulus ke udara. Begitu sensitifnya berat seseorang saat awal permulaan kelahiran pesawat terbang, harus dipikir secara cermat, lebih satu atau dua kilogram saja bisa ditolak. Ditambah lagi mesin pada waktu itu punya tenaga terbatas, belum lagi sensitif terhadap kondisi iklim dan cuaca.
Sebenarnya tur terbang di beberapa kota di Jawa selain di Surabaya, bukan prioritas utama Küller. Mungkin dia berpikir kapan lagi dapat melaksanakan tur di koloni terbesar Belanda ini dan juga mendapatkan tambahan gulden. Cukup repot dalam mengirim dua pesawat beserta perlengkapannya dengan menggunakan kereta api. Total mencapai 12 ton, dengan tiga ton di antaranya merupakan bobot dari kedua pesawat! Selama tur di kota-kota di Nusantara, Küller jelas menjadi terkenal layaknya selebritis. Aksinya ditonton oleh gubenur jenderal, pejabat tinggi pemerintahan, pimpinan daerah, dan tentunya masyakarat umum. Tak kurang Sultan Yogya dan Sunan Solo bertemu langsung dengannya. Sultan Yogya menganugrahkan cendera mata berupa keris bergagang emas, sedangkan Sunan Solo memberikan tongkat jalan berlapis emas dengan pesan, “…agar digunakan Küller bila capek berjalan-jalan di angkasa.”
Tapi tur di kota-kota itu selain di Surabaya, disponsori oleh pengusaha lokal yang kebanyakan tergolong pelit dan kurang modal. Maunya mendapatkan hasil yang besar dari penjualan tiket dengan mengeluarkan uang sedikit buat Küller dan timnya. Di Solo saja, Küller sempat mogok terbang sampai beberapa minggu karena sponsor enggan membayar 6.000 gulden yang dijanjikan. Dia akhirnya baru terbang pada tanggal 1 dan 2 September setelah urusan administrasi ini selesai. Hal yang mirip terjadi saat Küller terbang di Malaya, sponsor lokal menolak membayar penuh karena Küller dianggap ingkar janji, bahwa dia akan terbang bak burung, sedangkan mereka tidak melihat “sayap burungnya” mengepak di angkasa. Alamak!
Antoniette VII mengangkasa di langit Medan. Medan menjadi kota keempat setelah Surabaya, Semarang, Yogyakarta. Seharusnya Batavia dan Bandung dari tur terbang Küller namun ditunda karena wabah kolera.
Melayang di atas perkebunan kelapa di Ipoh. Tur terbang Küller di Malaya yang merupakan koloni Inggris meliputi juga Penang dan Kuala Lumpur, berlangsung pada bulan Juli 1911. Akhir Juli, Küller berlayar ke Batavia.
Selama beraksi itu, ada saja sabotase yang dilakukan di pesawatnya, sehingga membuatnya celaka sewaktu mendarat atau mati mesin saat terbang. Untungnya Küller mahir sehingga tidak berakibat fatal walaupun pesawat sempat mengalami kerusakan. Ternyata sabotase itu dilakukan sponsor karena bisa menjadi tontonan seru dan menarik lebih banyak penonton. Semakin banyak penonton, semakin banyak tiket terjual! Ada-ada saja….
Di Solo itu pula tur terbang Küller berakhir, pesawatnya benar-benar jatuh bebas. Penonton bersorak-sorak senang, namun Küller yang selamat dari kecelakaan ini jelas tidak senang. Mati mesin diduga sabotase. Sebelumnya dia mendapat surat ancaman, sepertinya ada saja yang iri terhadap keberhasilannya. Satu pesawat itu sebagai satu-satunya pesawat yang masih utuh, ternyata tidak diperbaiki lagi. Tim teknisi Küller menolak memperbaiki karena ada masalah pada pembayaran. Urusan ini akhirnya tercium oleh wartawan, “sepertinya Tropenkoller (demam tropis, julukan bagi Küller) menahan gaji mereka,” begitulah berita negatif yang tersebar. Ini mungkin ada dua masalah yang terjadi, sponsor yang sering telat melakukan pembayaran honor ke Küller atau tim teknisi yang meminta kenaikan gaji di luar kontrak. Berita negatif lainnya tentang tur terbang Küller adalah, “…aksi udara yang gila-gilaan dan berbahaya, penerbangan tidak memiliki masa depan yang memberikan manfaat sosial signifikan.” Publikasi negatif ini berbanding terbalik dengan sikap rata-rata masyarakat yang puas menyaksikan aksi terbangnya. Terlebih lagi Küller mendapat uang yang lumayan.
Tidak ada referensi yang tepat menyebut berapa total uang yang masuk kantong Küller. Saat diundang di Surabaya, dia meminta 40.000 gulden ditambah ongkos-ongkos lainnya. Dipotong dengan harga dua pesawat sebesar 30.000 gulden, diperkirakan Küller mendapat penghasilan bersih kurang lebih 10.000 gulden. Tidak ada pula referensi pasti berapa setiap kota selain di Surabaya yang dia dapat. Dipastikan lebih kecil, hanya di Solo saja ada angka tepatnya sebesar 6.000 gulden, dengan dipotong untuk sewa lapangan, transportasi, dan administrasi lainnya, secara konservatif mendapat 3.000 gulden bersih. Total ada delapan kota yang disinggahi tur terbang Küller selain Surabaya meliputi: Semarang, Yogyakarta, Medan, Penang, Ipoh, Kuala Lumpur, Batavia, dan terakhir Solo (Bandung dibatalkan). Dijumlahkan dengan Surabaya, kemungkinan Küller mendapat total bersih sekitar 35.000 gulden, maksimal mungkin 40.000 gulden.
Antoinette VII di Malaya (Malaka). Tampak pesawat disimpan di dalam bangunan beratap rumbia, ciri khas negara-negara tropis yang banyak terdapat pohon kelapa.
Crash di Batavia! Disaksikan sendiri oleh gubenur jenderal Hindia Belanda, Küller melakukan pendaratan tidak mulus dan menghantam pagar pembatas penonton. Sayap kiri patah dan baling-baling patah. Kemungkinan ada sabotase. Hanya tersisa satu pesawat saat Küller terbang berikutnya di Solo.
Setelah di Solo karena sudah tidak ada pesawat yang diterbangkan, Küller memutuskan pulang ke Belanda pada awal November 1911. Antoinette VII satu-satunya atau lebih tepat sisa-sisanya dikirim kembali dengan kereta api dari Solo ke Surabaya, ditinggal begitu saja di sebuah gudang milik pabrik gula untuk dijual. Harganya? 40.000 gulden! Panitia KNIL yang sempat mengevaluasinya untuk membentuk unit penerbangan percobaan, memutuskan untuk menolak. Selain terlalu mahal, pesawat itu dianggap tidak laik terbang, ditambah lagi sudah kuno. Tidak ada yang tahu nasib pesawat ini selanjutnya. Mungkin akhirnya dijual sebagai besi tua.
Küller sendiri masih menjadi aviator sampai memutuskan pensiun terbang pada tahun 1915. Sempat pergi ke Amerika Serikat dan menikah di New York, sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1920. Saat Perang Dunia II, dia hidup berpindah-pindah sampai menetap di Helvoirt pada tahun 1950 dan wafat empat tahun kemudian. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)