40 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Maret 1981, TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) menerima kedatangan empat unit pesawat latih mula (primary trainer) AS202 Bravo.
Keempat pesawat itu datang dipak dalam peti kemas, dikirim lewat laut melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Pesawat buatan FFA (Flug-und Fahrzeugwerke Altenrhein) asal Swiss akhirnya terpilih sebagai pesawat latih mula, menyingkirkan pesaingnya seperti Saab Safari (Baca: Demo Saab Safari di Jakarta) dan Lipnur LT-200 (Baca; Swadaya Pesawat Latih yang Gagal – LT-200 Skytrainer) untuk menggantikan peran Cessna T-41 Mescalero. Keempat pesawat ini merupakan bagian kecil dari seluruh pesanan sebanyak 20 unit yang merupakan bagian dari Renstra (Rencana Strategis) II.
Perwakilan teknisi TNI-AU, Mayor Teknik Ori Saptadji saat berada di FFA, Swiss untuk belajar seluk beluk perawatan dan perakitan Bravo.
Empat pesawat pesanan pertama, datang dalam peti kemas, diturunkan dari kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, untuk selanjutnya dikirim lewat jalur darat ke Halim Perdanakusuma.
Suasana perakitan Bravo di hanggar milik Skatek 21, PAU Halim Perdanakusuma. Setelah dirakit ulang, pesawat akan diuji terbang.
Kelak pesawat bermesin piston tipe Lycoming 150 hp (horse power) ini akan ditambah lagi, sehingga total menjadi 40 unit! Secara kuantitas memang banyak, namun ini menjadi pertimbangan KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Marsekal Ashadi Tjahjadi. Selain untuk mengejar kebutuhan pilot TNI-AU yang semakin tahun semakin bertambah, pemesanan dalam jumlah banyak ini sebagai antisipasi bila terjadi embargo lagi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1970-an, para pilot masih dapat mempertahankan keterampilan terbangnya. Terlebih lagi Bravo merupakan pesawat sipil jadi relatif kebal terhadap embargo. Dengan pesanan sebanyak itu, praktis Indonesia menjadi operator terbesar Bravo (AU Uganda menjadi nomor dua dengan pesanan hanya delapan unit).
KSAU Marsekal Ashadi Tjahjadi berkesempatan menerbangkan salah satu Bravo di Halim Perdanakusuma. Bravo terpilih setelah mengalahkan Saab Safir dan LT-200.
Formasi AS202 Bravo. Total ada 40 unit dioperasikan TNI-AU dan menjadikannya sebagai operator Bravo terbesar. LM pada registrasi ekor merupakan singkatan Latih Mula (Primary Trainer).
Bravo menjadi kekuatan Skadik 101 yang berkedudukan di Adisucipto, Yogyakarta. Pengabdiannya sampai tahun 2013-2014 sebelum digantikan oleh Grob G120TP.
Keempat pesawat bersayap rendah (low wing) dengan kemampuan akrobatik penuh ini diturunkan dari peti kemas untuk dikirim lewat jalan darat menuju PAU (Pangkalan Angkatan Udara) Halim Perdanakusuma untuk dirakit ulang di hanggar Skatek (Skadron Teknik) 021. Sebelumnya TNI-AU telah mengirim beberapa kru teknisi untuk mengetahui seluk beluk perakitan dan perawatan Bravo ke Swiss. Pada tanggal 1 April, seluruhnya berhasil dirakit dan diuji terbang. Ashadi Tjahjadi sendiri berkesempatan menginspeksi dan ikut menerbangkannya. Seluruh pesawat ini nantinya menjadi kekuatan Skadik (Skadron Pendidikan) 101 yang berkedudukan di PAU Adisucipto, Yogyakarta. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)