Tahun 1996, IPB (Institut Pertanian Bogor) membuat kejutan dengan membangun pesawat terbang swayasa, sebagai bagian dari penelitian kayu damar (Agathis lorantifiola) Fakultas Kehutanan. Kreasi unik ini sempat dimuat dalam Majalah Angkasa No.9 Juni 1996.

Berawal dari skripsi seorang mahasiswa tentang pemanfaatan tipe kayu-kayu yang berasal dari pohon asli Indonesia sebagai bahan konstruksi pesawat terbang, dikembangkan lebih lanjut oleh dosen pembimbingnya, Prof. Dr. Surjono Surjokusumo. Lulusan Teknik Sipil ITB dan Universitas Purdue ini memang sudah dikenal sebagai pakar konstruksi kayu. Karyanya kebanyakan berbentuk bangunan, namun kali ini Surjono ingin mencoba hal yang berbeda, membuat pesawat terbang.

Dalam skripsi itu, menunjuk damar sebagai kayu unggulan dari kayu-kayu lainnya yang diteliti. SWR (Strength to Ratio) damar dinilai lebih baik dari pesaingnya. Lewat Dana Penelitian Hibah Bersaing dari Ditjen (Direktorat Jenderal) Pendidikan Tinggi dan bersama-sama tim dari IPB serta pakar pesawat swayasa, Djubair Omar Djaya (Djubair OD), keinginan membuat pesawat dari penelitian itu dapat terealisasi.

Djubair OD menggunakan desain pesawat swayasa tipe Mini-MAX V-Max 1550 buatan Team (Tennessee Engineering and Manufacturing), sesuai dengan usul Surjono agar pesawat ini dibangun semurah mungkin dan mudah dibangun konstruksinya. Mini-MAX yang tergolong pesawat ultralight itu dibeli tanpa mesin dan instrumen dengan harga USD 3.500 (1 USD setara Rp2.000,00 tahun 1996), menjadi basis pembangunan dengan struktur rangka utamanya diganti dengan damar.

Tim pembangun pesawat swayasa ultralight berkonstruksi damar, Mini-MAX V-Max 1550 yang dinamakan Walet. 

 Surjono (paling kiri) merupakan penggagas ide pembuatan pesawat berkonstruksi kayu damar, dan Djubair OD (kedua dari kiri) dipercaya untuk mewujudkannya.

Walet bermesin Rotax 50 hp (horse power) ini berhasil terbang perdana pada tanggal 9 Maret 1966 di Pondok Cabe, diterbangkan oleh pilot uji Sumanto Soemitro.

Djubair OD (kiri) dan Sumanto Soemitro (kanan) berfoto di samping Walet, di depan hanggar Pondok Cabe pada bulan Mei 1996. Sumanto yang sering terlibat dalam uji terbang pesawat swayasa di Indonesia ini meninggal dunia setahun kemudian saat berlomba di 1st Word Air Games, Turki setahun kemudian.

Pesawat ini dinamakan Walet dan berhasil diterbangkan oleh pilot uji Ir. Sumanto Soemitro untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Maret 1996 di lapangan terbang Pondok Cabe. Damar yang digunakan ternyata menunjukan hasil yang baik, tidak menunjukan deformasi pada kayu. Kinerjanya bahkan lebih baik dari spruce (Picea sitchensis) asal Amerika Utara yang sudah umum dipercaya sebagai bahan pembuat rangka pesawat. Menurut penelitian di Laboratorium Keteknikan Kayu, SWR damar mencapai 1.667 dibandingkan spruce 1.571. Dengan mengganti spruce dengan damar, pembangunan Walet menghemat sampai USD450. Lebih bagus lagi, populasi pohon damar cukup tinggi di Indonesia, mudah dibudidayakan dan mudah diolah.

Walet mungil dengan panjang badan 4,6 m dan wingspan 7,6 m ini mungkin hanya secuil kontribusinya bagi industri dirgantara di Indonesia yang saat itu masih eforia dengan pesawat regional turboprop nan canggih N250 buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara). Dari sisi lain penelitian ini sebenarnya memungkinkan membangun pesawat swayasa dengan harga murah dan dari bahan kayu lokal, namun sayangnya tidak berlanjut lebih jauh. Selain karena masalah klasik yaitu dana, juga kalah pamor dengan bahan lain yang lebih ringan, kuat, dan semakin terjangkau seperti komposit. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)