Film Perwira Ksatria yang tayang pada pertengahan tahun 1991 atau 30 tahun yang lalu masih menyimpan beberapa kisah menarik dibalik layar, khususnya betapa repot dan beresikonya mengambil gambar (shooting) di udara.
Dengan mengambil banyak adegan-adegan di udara dan mengambil tema pendidikan karir kadet TNI-AU menjadi pilot pesawat tempur, Perwira Ksatria menjadikan film nasional pertama yang melakukannya. TNI-AU lewat PT. Angkasa Puri sebagai penanggung biaya film ini sebesar kurang lebih setengah miliar rupiah, menggaet Studio 41 untuk urusan sinematografinya. Skadron-skadron TNI-AU juga diberdayakan khususnya Skadron Pendidikan di Pangkalan Udara Adisucipto, Yogyakarta dan Skadron Tempur di Iswahyudi, Madiun.
Norman Benny yang dipercaya sebagai sutradara film, mengambil gambar di darat dan di udara. Di darat merupakan hal yang paling mudah dengan mengambil gambar di pinggir landasan atau di atas bukit. Sedangkan di udara lebih rumit, ada tiga cara yang dilakukan yaitu pengambilan gambar dengan bantuan pod yang dipasang di bawah sayap pesawat T-34C Mentor, dari pintu belakang (ramp door) pesawat angkut C-130 Hercules, dan dari kokpit belakang pesawat Hawk.
Sutradara Norman Benny memberikan pengarahan kepada cameraman saat pengambilan gambar film Perwira Ksatria di ramp door Hercules. Tampak kamera diikat dengan belt agar tidak jatuh/tergelincir.
Formasi Joint Box, diambil gambarnya dari belakang pintu (ramp door) Hercules. Pengambilan gambar di udara menjadi tantangan tersendiri bagi cameraman Studio 41.
Untuk pod, sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Skadron 15 untuk pembuatan film IMAX Indonesia Indah II yang mendatangkan ahli dan peralatan dari luar negeri. Tentunya setelah ahlinya pergi, demikian pula peralatannya. Namun TNI-AU lewat Dislitbang (Dinas Penelitian dan Pengembangan), Kohormatau (Komando Pemeliharaan Material TNI-AU), dan Skadron Teknik berhasil memodifikasi gun pod, yang biasanya dipakai untuk senapan mesin/kanon diganti dengan kamera. Pengambilan gambar dari kabin pesawat Hercules kurang lebih seperti mengambil gambar dari kendaraan yang berjalan. Namun bedanya ini dalam kondisi terbang, banyak pergerakan yang terjadi di pesawat sehingga cameraman harus berupaya lebih agar dapat menstabilkan kamera. Pergerakan sudut kamera juga dibatasi oleh lebar ramp door, selain itu kamera wajib dipasang pengikat/belt khusus agar tidak jatuh atau terguling.
Sedangkan untuk pengambilan gambar dari kokpit, mau tidak mau melibatkan pilot, besar resikonya bila diserahkan oleh cameraman karena tidak terbiasa dengan gaya G, apalagi untuk adegan latihan pertempuran di udara. Pilot duduk di kursi belakang dengan sebelumnya diberi latihan singkat mengoperasikan kamera, menjaga bidikan tetap stabil sambil pesawat melaksanakan manuver. Bukan pekerjaan mudah, apalagi kamera tipe Arriflex 35 mm (BL dan 2C) yang digunakan cukup besar dan berat.
Dede Yusuf (kanan) dengan mengenakan G-Suit, bersiap terbang di kursi belakang Hawk yang diterbangkan oleh instruktur pilot Mayor Pnb. Harsono (kiri). Pengambilan gambar di kokpit pesawat ini dilakukan pada awal Januari 1991.
Dede Yusuf sebagai Ronaldi, turun dari pesawat Hawk setelah melaksanakan terbang formasi. Perwira Ksatria diharapkan menjadi film yang dapat mengugah remaja untuk masuk TNI-AU.
Seperti yang pernah ditulis sebelumnya, Perwira Ksatria dibintangi oleh pemeran utama Dede Yusuf dan Doni Damara. Dede Yusuf memerankan sebagai Ronaldi, anak orang kaya yang penuh masalah sedangkan Doni Damara memerankan Prasojo, anak buruh cuci yang miskin. Namun keduanya punya cita-cita yang sama, menjadi pilot pesawat tempur TNI-AU. Dengan fokus penonton pada remaja, diselipkan skenario percintaan dari dua dunia yang berbeda, tidak jauh beda dengan roman Romeo dan Juliet. Ronaldi dipasangkan dengan Larasati (diperankan oleh Dian Nitami), anak penjual gudeg, dan Prasojo jatuh cinta dengan anak bangsawan Jawa, Ayu Ajeng Rini (Diah Permatasari). Skenario cerita ini sengaja disisipkan agar tidak jatuh menjadi film dokumenter yang cenderung membosankan. Agar tetap otentik khususnya tentang pendidikan di AAU (Akademi Angkatan Udara) dan pelatihan pilot di skadron, skenario cerita film juga melibatkan beberapa pilot pesawat tempur TNI-AU.
Saat itu PT. Angkasa Puri optimis terhadap Perwira Ksatria, terlebih ini adalah hal yang baru, apalagi ditambah efek khusus yang juga pertama kali diterapkan di film Indonesia. Meskipun dengan publikasi gencar lewat majalah remaja Hai dan Angkasa, namun kenyataannya saat beredar, film ini tidak terlalu banyak penontonnya. Kalah pamor dengan film-film lainnya yang ditayangkan pada tahun 1991 seperti komedi slapstick-sensualitas Warkop DKI Sudah Pasti Tahan, horor-mistis Bernafas Dalam Lumpur, film remaja borjuis Catatan Si Boy V, dan film bertema silat, Tutur Tinular II. Sepertinya film ini terlalu sempit pangsa pasarnya, niat dibuatkan sekuelnya akhirnya dibatalkan. Tapi tidak masalah, PT. Angkasa Puri telah berhasil menuntaskan proyek idealis ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan terus dikenang sebagai produsen film Perwira Ksatria, Top Gun-nya Indonesia. (Aviahistoria, Sejarah Penerbangan Indonesia)