Pesawat bermotor pertama buatan Indonesia yang dibangun dan diterbangkan pada tahun 1948 di Madiun, kembali dibuat ulang 33 tahun kemudian. Ada kisah menarik saat berusaha menerbangkan kedua replika ini.
Suharto, perancang pesawat sekaligus penggagas proyek LT-200 dan XT-400, sebelum berpulang pada tahun 2019 sempat menceritakan kepada penulis tentang penerbangan replika WEL-1 yang berlangsung pada bulan Oktober-November 1981. Seperti kepanjangannya WEL (Wiweko Experiment Lightplane), merupakan pesawat bermotor ultralight yang pembangunan dan rancangannya digagas oleh Wiweko Soepono (Baca: WEL-1, Pesawat Bermesin Pertama Buatan Indonesia). Saat menduduki jabatan sebagai direktur utama GIA (Garuda Indonesian Airways), Wiweko bertekad untuk membangun ulang karyanya ini.
Ada dua replika dibuat, satu dibuat di Jakarta dan lainnya di Bandung. Sayangnya untuk proyek ini, Suharto karena kesibukannya tidak dilibatkan, baru diundang saat uji terbang WEL-1 untuk pertama kalinya di Bandara Kemayoran. Untuk replika versi Jakarta, Suharto tidak ingat siapa yang terlibat, dia hanya menyebutnya tim dari Garuda, orang-orang pilihan Wiweko sendiri. Sebelum diterbangkan, bersama-sama mahasiswa dari Universitas Pancasila, Suharto menginspeksi pesawat tersebut sekaligus mendokumentasikan lewat kamera…dan ternyata ada ketidak beresan. Wing spar sebelah kiri sayap entah kenapa tidak lurus/melengkung, ini pasti akan berpengaruh besar saat lepas landas.
Replika WEL-1 versi Jakarta. Pesawat ini walaupun dapat lepas landas namun jatuh. Setelah diperbaiki, diputuskan tidak diterbangkan dan menjadi koleksi Museum Satria Mandala, Jakarta.
Replika WEL-1 versi Bandung. Berhasil terbang di Iswahyudi, Madiun dan kemudian diterbangkan menuju Adisumarmo lalu Adisucipto. Pesawat ini kemudian menjadi koleksi Museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta.
Benar saja, WEL-1 versi Jakarta yang diterbangkan oleh tes pilot dari Departemen Perhubungan dan Dekan Universitas Pancasila, Ir. Muso C. Soenhadji memang berhasil lepas landas, namun pesawatnya kemudian jatuh ke sisi kiri! Untung Muso tidak apa-apa, namun pesawatnya setelah diperbaiki nantinya diputuskan tidak diterbangkan lagi dan disumbangkan menjadi koleksi Museum Satria Mandala, Jakarta. Mesinnya yang merupakan modifikasi dari mesin motor Harley Davidson bertenaga 25-30 hp (horsepower) itu sempat dipinjam oleh Suharto untuk proyek film Serangan Fajar (Baca: Membangun Replika Cureng dan Guntei untuk Film Serangan Fajar). Muso sendiri masih sering dilibatkan menjadi pilot uji pesawat swayasa termasuk pesawat ultralight Rajawali tujuh tahun kemudian (Baca: Rajawali Universitas Pancasila).
Beda jauh dengan WEL-1 versi Bandung, Suharto sangat mengenal tim yang membuatnya. Dia menyebutnya tukang-tukang klasik. Dipimpin oleh teknisi berpengalaman Yum Sumarsono, mantan pilot helikopter kepresidenan Soekarno sekaligus perancang helikopter pertama di Indonesia dan bahkan masih dibantu oleh Achmad bin Talim, teknisi kawakan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang di masa mudanya terlibat dalam proyek pesawat Walraven (Baca: Walraven, Perancang Pesawat yang Bernasib Tragis) dan juga ikut membangun WEL-1 versi orisinal, dijamin pesawat replika ini tidak akan gagal. Selain itu WEL-1 versi Bandung dipasang mesin mobil VW (Volkswagen) yang lebih bertenaga (35-40 hp) dan ditempatkan di dalam cowling yang berbentuk aerodinamis.
Setelah jadi, WEL-1 versi Bandung sebagai wujud nostalgia sengaja tidak diterbangkan di Bandara Husein Sastranegara melainkan di Madiun, tempat yang sama di mana WEL-1 versi orisinal diterbangkan. Tim inti dari WEL-1 termasuk di dalamnya Yum Sumarsono, Wiweko, Suharto, Marsma/Marsekal Muda (Purn.) Ramli Sumardi sebagai tes pilot, ditambah wartawan Kompas-Gramedia Dudi Sudibyo. Jumlah keseluruhan yang berangkat tidak sampai 10 orang dan bersama WEL-1 yang ditempatkan di ruang kargo pesawat jet Fokker F28 milik GIA, mereka terbang ke Pangkalan Angkatan Udara Iswahyudi yang dulunya bernama Maospati.
Di sana WEL-1 dirakit kembali dan siap terbang. Ramli mulai mengambil ancang-ancang di ujung landasan. Pesawatnya tampak mungil dibandingkan landasan pacu yang biasa digunakan pesawat tempur Northrop F-5E/F Tiger II dan Douglas A-4E Skyhawk yang berpangkalan di Iswahyudi. Namun setelah beberapa kali mencoba, pesawat tidak bisa mengangkasa, hanya meloncat-loncat saja. Jelas Wiweko yang menyaksikan kejadian ini sangat marah. Apalagi ini adalah pesawat terakhir.
Suharto lantas memeriksa kembali posisi sayap dan ekor stabiliser dan mengungkapkan kepada Wiweko keinginannya agar sudut pemasangan (angle of incidence) sayap agar dinaikan sedikit saja sebesar dua sampai lima derajat karena masih dalam posisi lurus. Ini adalah pelajaran aerodinamika dasar yang diperolehnya sejak jadi pandu udara dan aeromodelling. Gagasan Suharto itu malah ditolak mentah-mentah oleh Wiweko karena menurutnya, saat membangun WEL-1 dulu, hal tersebut tidak dilakukan.
Diterbangkan oleh Ramli Sumardi, replika WEL-1 beregistrasi RI-X ini berhasil terbang dengan baik walaupun harus disetel terlebih dahulu sudut pemasangan sayap.
Direktur GIA, Wiweko Soepono berpose di samping replika WEL-1 di Iswahyudi, Madiun. Tampak secara mendetail engine cowling mesin VW yang berbentuk aerodinamis, beda dengan versi aslinya bermesin motor Harley Davidson.
Apa daya? Untungnya Wiweko kemudian mendapat telpon dari Jakarta, harus segera kembali untuk pergi ke Perancis dalam rangka pembelian dan menjemput pesawat badan lebar (wide body) Airbus A300B2 yang baru saja dibeli GIA. Kesempatan yang tidak disia-siakan oleh Suharto. Setelah Wiweko pergi, Suharto mengubah posisi sudut serang sayap, lalu pesawat kembali diuji terbang. Ternyata berhasil lepas landas! Posisi sudut serang diubah dan diuji beberapa kali sampai WEL-1 dapat terbang dengan baik dan enak.
Kabar keberhasilan penerbangan WEL-1 segera disampaikan saat Wiweko kembali ke Jakarta dan ternyata tanggapannya biasa-biasa saja. Sepertinya Wiweko tidak mau mengakui bahwa dirinya salah. Suharto juga tidak ambil pusing, sudah terbiasa menghadapi ciri khas tidak mau mengalah dan sisi nyentrik dari seniornya itu. Ramli sebagai tokoh pelestari pesawat-pesawat tua di Indonesia lewat FASI (Federasi Aerosport Indonesia) dan juga mantan direktur utama MNA (Merpati Nusantara Airlines) periode 1975-1979 terus menerbangkan WEL-1, tidak hanya di Iswahyudi, melainkan juga terbang ke Adisumarmo, Solo dan Adisucipto, Yogyakarta. Di kota terakhir inilah replika diabadikan dan menjadi bagian dari koleksi Museum Dirgantara Mandala. Sayangnya Ramli kemudian gugur saat menerbangan pesawat angkut ringan Dornier Do-28 di Jatiluhur pada tahun 1986. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)