Diharapkan sebagai andalan sebagai alat pertahanan Hindia Belanda dari invasi tentara Jepang, ternyata di mana-mana rontok dan mudah dikalahkan. Sebagai konsekuensi mahal akibat terlalu bulat-bulat mempercayai konsep kekuatan udara cukup mengandalkan pesawat pembom, tanpa pesawat tempur.
Menjelang pertengahan tahun 1930-an, perkembangan teknologi pesawat pembom berada di puncaknya. Sebelumnya tipe ini begitu lamban dan canggung saat terbang, justru meningkat kecepatan, jarak terbang, dan ketinggian terbangnya secara drastis. Pesawat tempur sayap ganda (biplane) dengan kokpit terbuka dan struktur rangka dari kayu ditutup fabrik tertatih-tatih teknologinya, tidak akan sanggup mengejar dan menembak jatuh pembom yang kini bersayap tunggal (monoplane), kokpit tertutup, berstruktur serba logam monokok yang ringan dan aerodinamis, roda pendarat yang bisa ditarik masuk, bom yang dimuat dalam perut pesawat, serta sepasang bermesin piston radial yang jauh lebih bertenaga. Hal ini diperkuat pula oleh teori dari Giulio Douhet dan William Mitchell bahwa pemboman dari udara saja sanggup membuat musuh bertekuk lutut. Singkatnya, pesawat tempur sudah usang, pesawat pembom adalah masa depan angkatan udara!
Seluruh kemajuan di bidang aeronautika militer ini diikuti oleh petinggi LA (Luchtvaartafdeling) sebagai kesenjataan udara KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dalam memodernisasi armadanya. Memilih pesawat pembom adalah suatu keniscayaan mengingat wilayah koloni Hindia Belanda teramat luas, mengandalkan pesawat tempur bermesin tunggal selain terbatas dalam melaksanakan patroli udara, juga tidak menjamin keselamatan terbang. Saat pabrik Glenn Martin menghasilkan pembom terbarunya, Martin B-10 pada tahun 1932 dan diadopsi oleh USAAC (United States Army Air Corps) dua tahun kemudian, LA tertarik dan memutuskan untuk membelinya.
Model 139 WH-1 merupakan versi awal dari Martin B-10 yang ditujukan untuk ekspor ke Hindia Belanda. M501 dan M502 menjadi dua pesawat yang tiba lebih dulu, dirakit selama seminggu di Andir, dan diuji terbang pada bulan Januari 1937.
Martin B-10/Model 139WH membutuhkan tiga kru untuk mengawakinya, pilot, navigator/juru bom, dan operator radio. Untuk patroli jarak jauh membutuhkan pula satu pilot cadangan. Cukup membuat pusing dalam pengadaan personilnya sehingga harus membuka lowongan besar-besaran.
Glenn Martin sendiri bukan nama asing bagi LA, pesawat hydroplane Martin TA (Baca: Martin TA, Pesawat Militer Pertama yang Terbang di Langit Nusantara) menjadi pesawat pertama LA saat masih sebagai unit percobaan PVA (Proefvliegafdeling), dan ini masih ditambah tipe dari pabrik yang sama, Martin TT dan R. Sama seperti saat pembelian pesawat tempur Curtiss P-6 Hawk (Baca: Curtiss P-6 Hawk : Pesawat Tempur Andalan LA-KNIL), keputusan LA membeli Martin B-10 dari Amerika Serikat ditentang oleh pemerintah Belanda. Hindia Belanda harus membeli pesawat dari Belanda. Titik. Namun tentangan tinggal tentangan mengingat pesawat pembom terbaru buatan Belanda, Fokker T.V masih di atas kertas, lebih parah lagi menggunakan konstruksi dari kayu yang tentunya tidak cocok untuk iklim tropis. Akhirnya izin impor diberikan.
Martin B-10 untuk Hindia Belanda dinamakan Model 139WH. Angka 139 menunjukan versi ekspor dan WH merupakan kepanjangan dari Wright-Holland, karena menggunakan mesin tipe Wright R-1820 Cyclone, walaupun lebih berat daripada mesin asli Pratt & Whitney, namun secara logistik lebih menguntungkan karena populer, banyak dipakai di pesawat tipe lainnya seperti pesawat angkut Lockheed Lodestar dan Douglas DC-2 (Baca: Douglas DC-2, Kalah Tenar Namun Tetap Berprestasi). Sebanyak 13 unit versi awal WH-1 dikirim lewat laut dari Pelabuhan Baltimore menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia dan pesanan pertama tiba pada bulan Desember 1936, diikuti versi berikutnya WH-2 sebanyak 26 unit yang seluruhnya selesai dikirim bulan Oktober setahun kemudian.
Seluruh armada pembom ini ditempatkan di Bandung mengingat hanya Lapangan Terbang Andir (Baca: Andir, De Fabriek dan Lapangan Terbang LA) yang memiliki kemampuan untuk merawat dan memelihara pesawat pembom sekompleks dan secanggih Martin B-10/Model 139. Andir menjadi semakin sesak oleh aktivitas penerbangan sipil dan militer, untuk itulah sebagian armada pembom ditempatkan di Kalijati yang sebelumnya sempat ditutup saat pengurangan anggaran militer pasca krisis ekonomi dunia. Kedatangan Martin B-10/Model 139 ini praktis menyingkirkan pesawat tempur dan intai sayap ganda yang sebelumnya dimiliki LA, fokus hanya satu tipe yaitu pesawat pembom, tawaran pesawat tempur bersayap tunggal Fokker XXI di mana prototipenya sempat melakukan demo terbang di Andir pada tahun 1937 ditolak begitu saja.
Latihan perang bersama pasukan infanteri pada bulan April 1941. Kedua pesawat pembom Martin B-10/Model 139 ini terbang rendah sampai 50 m sebagai simulasi serangan darat dari udara!
Martin B-10 Model 166 (disebut juga Model 139WH-3 dan WH-3A), tampak ciri khas kanopi memanjang (glass house) dari kokpit pilot ke penembak ekor. Performanya lebih baik dari WH-1 dan WH-2 termasuk dapat menggantung tambahan bom di pangkal sayap.
Teknisi sedang memuat bom ke dalam perut pesawat Martin B-10/Model 139 yang ditempatkan di Sembawang. ML menempatkan beberapa detasemen dan flight pesawat pembom di Malaya dan Singapura untuk membantu RAF melawan Jepang saat Perang Pasifik.
Pengadaan pesawat yang sanggup membawa satu ton bom ini sempat membuat LA pusing dalam urusan SDM (Sumber Daya Manusia), karena membutuhkan tiga awak untuk menerbangkannya: pilot, juru bom (bombardier) merangkap navigator dan penembak depan (nose gunner), dan operator radio merangkap penembak ekor (tail gunner). Ini belum berinvestasi untuk melatih tim teknisi karena rumitnya sistem Martin B-10/Model 139. LA segera membuka lowongan besar-besaran bahkan termasuk merekrut dari kalangan pribumi yang sebelumnya begitu didiskriminasi. Pilot Martin B-10/Model 139 menjadi pilot elit LA karena harus berkualifikasi multi-engine atau Brevet Militer Besar, GMB (Groot Militaire Brevet), sebagai lanjutan dari pilot berkualifikasi single-engine, Brevet Militer Kecil, KMB (Kliene Militaire Brevet). Sambudjo Hurip dan Agustinus Adisucipto menjadi dua pilot pribumi yang memiliki GMB sekaligus menerbangkan pesawat pembom yang dapat terbang maksimal 340 km/jam ini.
Model 139 segera disusul oleh pemesanan Model 166 (Model 139WH-3 dan WH-3A), berdatangan pada bulan September 1938. Model baru ini memiliki mesin yang lebih bertenaga dan sanggup dipasang bom tambahan di pangkal sayap serta memiliki kokpit kanopi memanjang (glass house) sampai penembak ekor, sehingga lebih aerodinamis daripada sebelumnya yang terpisah satu sama lain. Bulan Mei 1940 seluruh versi WH-1, WH-2, WH-3, dan WH-3A siap tempur dan beroperasi. Total mencapai 121 unit, atau 2/3 dari total produksi Martin B-10 dari seluruh model, jumlah yang menjadi jawaban atas pertanyaan Parlemen Hindia Belanda empat tahun sebelumnya menyangsikan bahwa tidak mungkin koloni seluas ini dipertahankan hanya mengandalkan 30 pesawat saja. Walaupun sempat terjadi beberapa kecelakaan saat latihan terbang dan operasional, secara umum LA yang melaksanakan re-organisasi menjadi ML (Militaire Luchtvaart) sejak bulan Maret 1939 puas akan performanya. Martin B-10/Model 139 disebar ke tiga pangkalan udara, Andir/Bandung (Grup Terbang 1, terdiri atas dua skadron), Singosari/Malang (Grup Terbang 2, terdiri atas dua skadron), dan Cililitan/Batavia (Grup Terbang 3, terdiri atas tiga skadron).
Sebelum pecah Perang Eropa dan Perang Pasifik, Belanda dan koloninya Hindia Belanda masih memilih netral namun setelah Belanda diduduki oleh Jerman dan Jepang beraliansi dengan Jerman, Hindia Belanda segera mengubah arah politiknya, berkiblat ke Sekutu. Detasemen dan flight Martin B-10/Model 139 segera dikerahkan untuk membantu RAF (Royal Air Force) di Semenanjung Malaya serta mengadakan latihan perang dengan RAAF (Royal Australian Air Force) di Darwin dan USAAC di Jolo, Filipina. Dari pendudukan Jerman atas negara-negara Eropa dan Jepang terhadap Cina itulah terbukti bahwa teknologi pesawat tempur berhasil mengungguli pesawat pembom. Tanpa pengawalan pesawat tempur, pesawat pembom akan menjadi mangsa empuk pesawat tempur musuh. Buru-buru ML memesan beberapa tipe pesawat tempur ke Amerika Serikat: Curtiss-Wright CW-21B, Brewster Buffalo, dan Hawk 75.
Warna kamuflase dan bendera roundels Martin B-10/Model 139 dicat berbeda-beda sebelum dan saat Perang Pasifik. (Dari atas ke bawah), M520 memakai warna biru-kuning yang diadopsi dari USAAC sebagai warna kamuflase awal (1936-1938), M544 dicat dengan warna kamuflase hijau dan roundels segitiga oranye (1939-1942), M524 dengan kombinasi hijau olive-coklat dengan roundels segiempat merah-putih-biru (Februari-Maret 1942), dan terakhir saat direbut, dibalur seluruh badannya dengan warna hijau tua, kamuflase ciri khas dari IJAAF (Imperial Japanese Army Air Force).
Bahkan dengan pengawalan pesawat tempur sekalipun, Martin B-10/Model 139 tetap menjadi korban dari Mitsubishi A6M2 Zero dan Nakajima Ki-43 Hayabusha saat pecah Perang Pasifik pada bulan Desember 1941. Kedua tipe pesawat tempur bersayap tunggal andalan Jepang ini mampu terbang dengan kecepatan dan ketinggian menyamai bahkan melebihi Martin B-10/Model 139. Dengan proteksi minim hanya penembak depan dan ekor bersenjata senapan mesin Browning kaliber 7.62 mm, pesawat pembom ini mudah ditembak jatuh saat mencoba menyerang iring-iringan kapal pendarat pasukan Jepang yang hendak menguasai Malaya, Singapura, Kalimantan, Sumatra, dan pertahanan terakhir Komando ABDA (America British Dutch Australia) di Jawa.
Martin B-10/Model 139 gagal memenuhi harapan ML sebagai pelindung Hindia Belanda, canggih di tahun 1930-an namun ternyata cepat menjadi kuno pada awal tahun 1940-an. Memang tidak semata-mata kelemahan pesawat itu sendiri, tapi sebagian besar masalahnya dari kesalahan konsep pertahanan udara. Penyerahan tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menjadi akhir dari pengoperasian dan pengabdian Martin B-10/Model 139. Selain ditembak jatuh dan dihancurkan saat di darat, setidaknya 17 unit berhasil direbut oleh Jepang untuk dievaluasi. Nantinya sembilan pesawat pembom eks ML yang masih laik terbang diserahkan ke Siam (Thailand), sekutu Jepang dan dioperasikan sampai tahun 1949. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)
Redaksi terhormat, kami sedang mencari Eyang Napan Karto Sumarto CoPilot waktu Tugas menyerang Jepang Di Kalimantan Pesawat jatuh Singkawang tahun 1939 – 1942
SukaSuka