Sejak tahun 1980-an, TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) memiliki kemampuan mengisi bahan bakar di udara. Dengan kemampuan ini, pesawat tempur dapat terbang lebih lama dan lebih jauh, atau membawa persenjataan lebih banyak.
Menurut sejarahnya, pionir pengisian bahan bakar di udara atau inflight refueling/air to air refueling dilaksanakan pada tahun 1923 dengan menggunakan sepasang pesawat sayap ganda Airco DH-4B, satu jadi pesawat tanker dengan terbang lebih tinggi mengalirkan bahan bakar dengan selang ke pesawat penerima. Namun teknologi pengisian bahan bakar di udara baru intensif diterapkan pasca Perang Dunia II, saat USAF (United States Air Force) mengembangkan armada pembom strategis.
Ada dua tipe sistem pengisian bahan bakar di udara yang paling populer, probe-and-drogue dan boom-and-receptacle. Yang pertama sistemnya pesawat tanker mengulurkan selang fleksibel dengan ujung terpasang drogue untuk membantu mengarahkan dan memasukan ke dalam probe pesawat penerima. Yang kedua sistemnya pesawat tanker menurunkan boom kaku ke lubang nosel pesawat penerima yang biasanya terletak di punggung pesawat, di belakang kokpit. Sistem probe-and-drogue lebih sederhana dan lebih murah namun transfer bahan bakarnya tidak secepat boom-and-receptacle, selain itu sistem yang pertama ini sangat mengandalkan keterampilan pilot pesawat penerima, sedangkan sistem kedua justru ke operator boom.
Douglas A-4E Skyhawk menjadi pesawat tempur pertama TNI-AU yang dapat mengisi bahan bakar di udara. Dengan kemampuan ini, Skyhawk dapat beroperasi sampai ke titik terluar kepulauan Indonesia.
BAe Hawk 200 yang dioperasikan TNI-AU pada tahun 1996 memiliki kemampuan mengisi bahan bakar di udara sehingga membuat radius tempurnya bertambah.
TNI-AU memiliki Lockheed C-130B Hercules versi tanker yang dilengkapi sistem probe-and-drogue pada tahun 1980-an. Uniknya pesawat ini sudah dimiliki sejak tahun 1960-an (Baca: Kedatangan Hercules dan Lahirnya Kesatuan Pengangkut Jarak Jauh) jadi kemampuan sebagai pesawat tanker terpendam selama kurang lebih 20 tahun karena tidak memiliki pesawat tempur yang dilengkapi probe pengisian bahan bakar di udara! TNI-AU baru memiliki pesawat tempur dengan probe saat membeli Douglas A-4E Skyhawk pada tahun 1980 (Baca; Kedatangan Skyhawk, Kelahiran Kembali Skadron 11 dan Skadron 12).
Ada dua unit Hercules yang dijadikan pesawat tanker (sehingga disebut juga KC-130 atau C-130BT) yaitu A-1309 dan A-1310. Peralatan drogue dipasang di tiap ujung sayap, mengalirkan bahan bakar dari tanki stainless steel yang dimuat di dalam ruang kargo. Sistem dapat dilepas-pasang jadi jika tidak digunakan sebagai pesawat tanker, Hercules dapat melaksanakan peran utamanya sebagai pesawat angkut. Sistem ini sanggup mentransfer 350 kg bahan bakar/menit dan membawa sampai 15.000-20.000 kg bahan bakar, walaupun lebih sering prakteknya hanya setengah kapasitas untuk alasan keamanan dan keselamatan terbang. Berdasarkan kalkulasi, satu unit Skyhawk dapat bertambah jarak terbangnya 900 km pada setiap pengisian 500 kg bahan bakar di udara. Atau dapat ditukar dengan muatan persenjataan seberat 500 kg, setara dengan dua bom Mk 82 yang masing-masing berbobot 250 kg.
Saat melaksanakan operasi militer, kerahasiaan pengisian bahan bakar di udara dipegang sangat ketat karena saat pengisian, baik pesawat tanker dan pesawat penerima dalam kondisi rentan, radio silence diterapkan dan kedua pihak saling berkomunikasi dengan isyarat jari. Proses ini memang rumit, kedua pihak harus bertemu di satu titik dengan mengandalkan instrumen TACAN (Tactical Air Navigation), jika salah satu pihak tidak bertemu atau posisinya tidak searah maka dianggap gagal.
Belum lagi kecepatan pesawat tanker jauh beda dengan pesawat penerima, Hercules terbang dengan kecepatan 390-425 km/jam atau kecepatan yang mendekati stalling speed Skyhawk. Pilot di pesawat penerima harus ekstra hati-hati, mengarahkan dan memasukan probe ke drogue sekaligus mengawasi indikator kecepatan. Awalnya pilot Skyhawk TNI-AU berlatih pengisian bahan bakar baik secara “kering” (tanpa ada bahan bakar yang ditransfer) dan “basah” (bahan bakar ditransfer) dengan mengandalkan buku manual dan coba-coba. Baru saat mendatangkan instruktur dari USMC (US Marine Corps) pada tahun 1983, mereka menjadi lebih terampil serta memiliki prosedur dan metode yang baku.
Teknologi Timur bertemu dengan Barat, Sukhoi Su-30MK2 “Flanker” mengisi bahan bakar dari Lockheed C-130B Hercules. Hal ini dimungkinkan karena ukuran diameter probe milik “Flanker” sama dengan ukuran probe pesawat tempur buatan Barat pada umumnya.
Dipotret dari jendela operator boom pesawat tanker McDonnell Douglas KC-10 Extender saat pengiriman Lockheed Martin F-16C/D Fighting Falcon (Block 52ID) pada pertengahan tahun 2015. Pilot-pilot TNI-AU yang duduk di kursi belakang merasakan pengalaman mengisi bahan bakar di udara dengan sistem boom-and-receptacle.
Selain Skyhawk, pesawat tempur lainnya milik TNI-AU yang dapat mengisi bahan bakar di udara adalah British Aerospace (BAe) Hawk 200 yang dioperasikan sejak tahun 1996. Lainnya lagi adalah…Sukhoi Su-30MK2 “Flanker” buatan Rusia! Sepintas tampak tidak mungkin, karena Hercules adalah pesawat berteknologi buatan Barat sementara “Flanker” buatan Timur, namun ternyata ukuran diameter probe-nya sama dengan pesawat tempur buatan Barat. Sebagai catatan tambahan, pilot TNI-AU ikut merasakan pengisian bahan bakar dengan sistem boom-and-receptacle namun sebagai backseater alias duduk di kursi belakang, yaitu saat pengiriman General Dynamics (sekarang Lockheed Martin) F-16A/B (Block 10/15) Fighting Falcon pada tahun 1990. Penerbangan trans Pasifik itu dilaksanakan pengisian bahan bakar di udara sampai 21 kali dengan pesawat tanker McDonnell Douglas KC-10 Extender, total 24 jam dengan singgah di Hawaii dan Guam. Hal ini diulang kembali saat pengiriman Fighting Falcon versi C/D (Block 52ID) pada pertengahan tahun 2015.
Saat ini TNI-AU hanya memiliki satu pesawat tanker, karena A-1309 jatuh di Medan pada akhir Juni 2015. Ke depannya ada rencana untuk pengadaan dua unit pesawat tanker dengan dua pilihan, Airbus A330MRTT (Multi Role Tanker Transport) atau Boeing KC-46A Pegasus. Keduanya memiliki dua sistem pengisian bahan bakar baik probe-and-drogue dan boom-and-receptacle serta tentunya memiliki kemampuan sekunder sebagai pesawat angkut. Rencana yang telah digulirkan sejak bulan Januari 2018 telah mendapat lampu hijau anggaran dari Kementerian Keuangan pada bulan Juni tahun ini walaupun masih belum ada kepastian tipe mana yang terpilih dan kapan mulai datang memperkuat TNI-AU. Yang pasti karena dibangun berbasis pesawat penumpang badan lebar yang populer yaitu Airbus A330 dan Boeing 767, TNI-AU akan menggandeng GMF (Garuda Maintenance Facility) dan PT. Dirgantara Indonesia dalam sisi perawatan dan alih teknologi. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)