Untuk menentukan kemungkinan penyebab utama (the most probable cause) kecelakaan pesawat militer seperti kasus Lockheed C-130HS Hercules A-1324 yang jatuh pada tanggal 5 Oktober 1991 cenderung lebih sulit.
Secara prosedural baik sipil ataupun militer, tidak terlalu berbeda penanganan penyelidikannya. Demikian juga dengan ilmu investigasinya yang dikenal sebagai faktor 4M (Man, Medium, Machine, Mission)—kadang ditambah satu M lagi, Management. Dilihat dari pesawatnya merupakan Hercules tipe HS (H-30), lebih panjang 11 kaki (3,35 m) dari pendahulunya versi B serta H, dan tentunya sanggup membawa muatan lebih banyak. Spekulasi di masyarakat beranggapan pesawat kelebihan beban, namun dengan kru 12 orang dan 119 prajurit serta bahan bakar 30.000 lbs (13.6 ton), total 138.000 lbs (62.6 ton) masih jauh dari kemampuan maksimal berat saat lepas landasnya yang mencapai 156.000 lbs (70,76 ton).
Karena pesawat ini milik TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) maka tidak ada black box yaitu kotak oranye yang terpasang di dalam ekor pesawat berisi perekam yang mencatat penerbangan, FDR (Flight Data Recorder) dan percakapan di kokpit, CPR (Cockpit Data Recorder). Inilah yang menjadi kesulitan utama. Mau tidak mau penyelidikan mengandalkan saksi mata, rekaman petugas ATC (Air Traffic Controller), laporan pemeliharaan dan perawatan pesawat, serta tentunya dari puing-puing pesawat. Ditemukan posisi baling-baling mesin nomor 1 dalam kondisi feather dan nomor 4 dalam kondisi un-feather dengan mesin dalam keadaan mati. Artinya pesawat itu mulai oleng dan arahnya asimetris ke arah kiri saat mesin nomor 1 meledak saat take off roll diikuti matinya mesin nomor 4 saat pesawat dalam proses climbing.
Hercules A-1324 sebelum mengalami kecelakaan fatal, sempat melaksanakan misi kemanusiaan di Bangladesh yang menghadapi bencana banjir besar pada tahun 1988. Tampak masih berkamuflase putih abu-abu sebelum dicat loreng hijau militer.
Depohar 15, Bandung merupakan bengkel perawatan Hercules. Sanggup melaksanakan perawatan ringan dan berat baik rangka pesawat (airframe) dan mesin, termasuk pengecatan ulang.
Dua mesin mengalami kerusakan merupakan kejadian langka, tapi itulah yang terjadi. Padahal mesin turboprop yang dipakai merupakan tipe Allison T56, sudah teruji ketangguhannya dan populer digunakan di pesawat angkut militer. Lepas landas dengan dua mesin yang masih hidup di ketinggian 1.500 kaki (457 m) apalagi di manual tertulis batasan beratnya hanya 110.000 lbs (50 ton) atau kelebihan berat 28.000 lbs (12,6 ton) menyebabkan pesawat sulit dikendalikan. Peluang satu-satunya adalah mengurangi berat dengan membuang bahan bakar, namun hal itu baru bisa dilakukan di ketinggian minimal 5.000 kaki (1.524 m). Sebagai catatan kerusakan mesin tiba-tiba pernah terjadi di pesawat lainnya dari tipe B, namun berhasil selamat karena ketinggian mencukupi saat fase terbang jelajah (Baca: [Kisah Nyata] Mesin No.4 Meledak!).
Hercules A-1324 sendiri dioperasikan pada tahun 1982, jauh lebih muda usianya dari versi B yang datang pada tahun 1960 (Baca: Kedatangan Hercules dan Lahirnya Kesatuan Pengangkut Jarak Jauh). Saat kecelakaan itu, pesawat sudah berumur sembilan tahun dan baru saja menjalani perawatan sedang di Depohar (Depo Pemeliharaan) 15, Bandung. Diakui sebelum kecelakaan bahwa kedua mesin terluar sering mengalami gangguan tanpa sebab dan setelah diperbaiki telah dilaksanakan uji terbang sesuai prosedur. Pesawat ini laik terbang dan laik operasi terbukti saat mengantar 129 prajurit sebelumnya dari Bandung ke Jakarta tidak mengalami masalah apa-apa.
Diagram/ilustrasi terjadinya kecelakaan Hercules A-1324, dua menit setelah lepas landas dari runway 24, Halim Perdanakusuma.
Penghormatan terakhir kepada prajurit dan perwira TNI-AU yang gugur. Tragedi Hercules A-1324 menjadi kecelakaan pesawat militer dengan korban terbanyak.
Fase kritis dalam penerbangan adalah saat lepas landas dan mendarat karena ketinggian dan kecepatan pesawat relatif rendah. Jika ada gangguan tiba-tiba baik internal (contoh: kerusakan mesin) dan eksternal (contoh: perubahan arah angin) kemungkinan mengalami kecelakaan sangat besar. Pilot harus cepat berpikir dan bertindak. Tidak heran 49-50% kecelakaan fatal terjadi saat pendaratan, sedangkan lepas landas menyumbang angka 14-15%.
Tidak seperti di sipil, penyelidikan kecelakaan militer ditutup rapat dan rahasia. Meskipun tidak dipublikasikan ke masyarakat, the most probable cause kecelakaan Hercules A-1324 cenderung ke arah faktor internal yaitu kerusakan mesin. Pelatihan pilot Hercules TNI-AU menghadapi fase kritis seperti kecelakaan ini memang wajib dan terus dilakukan, tapi tetap saja pilot berpengalaman sekalipun membutuhkan faktor X, keberuntungan, atau keajaiban dari Yang Maha Kuasa agar terhindar dari kecelakaan. Terbukti dua tragedi Hercules berikutnya yang memakan korban cukup banyak pada tahun 2009 dan 2015, masing-masing terjadi pada fase mendarat dan lepas landas serta keduanya juga mengalami kerusakan mesin. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)