Grup RLS (Rijksluchtvaart) adalah grup calon pilot sipil pertama kali yang disekolahkan ke luar negeri oleh GIA (Garuda Indonesian Airways).

GIA berdiri secara de jure pada tanggal 31 Maret 1950 (Baca: 70 Tahun De Jure Kelahiran GIA) sebagai maskapai pertama dan satu-satunya milik Indonesia. Maskapai ini merupakan hasil kerjasama 50:50 dengan flag carrier Belanda, KLM (Koninklijke Luchtvaartmaatschappij). Tidak heran SDM (Sumber Daya Manusia) KLM yang berasal dari Belanda dan Eropa begitu mendominasi GIA. Walaupun sudah memiliki beberapa awak kabin berkebangsaan Indonesia (Baca: Pelatihan Awak Kabin Garuda “Tempo Doeloe”) namun untuk pilot masih nol sama sekali.

Karena sekolah penerbang dalam negeri belum berdiri, satu-satunya cara adalah mengirim calon-calon pilot ke luar negeri, tepatnya ke sekolah penerbang milik KLM, RLS (Rijksluchtvaart) di Ypenburg, Belanda. Pilihan yang logis mengingat setengah sahamnya merupakan milik pemerintah Belanda lewat KLM. Selain itu lewat RLS ini akan menghasilkan pilot profesional yang dididik sesuai dengan standar ICAO (International Civil Aviation Organization).

Berpamitan dengan Presiden Soekarno sebelum berangkat ke Belanda. Dari kiri ke kanan: Garnita Dendadipura, F. Tumbelaka, Achmad Suroko, Dick Sadikin Sapi’ie, Presiden Soekarno, Ghazali Sindhi, Sunarya Permadipura, Muljono Prawiromihardjo, dan Jopie Dion.

Senat RLS Ypenburg, sekolah penerbang setara akademi periode tahun 1951-1952 terpilih dengan Ghazali Sindhi (kedua dari kiri) sebagai ketua senat. 

Lewat media cetak, poster, dan iklan di radio, GIA dan KLM mengundang ratusan pemuda umur 18-25 tahun untuk melamar, dari angka itu setelah melewati tes tertulis dan wawancara serta tes medis (medical test) hanya terpilih belasan orang. Dari sini dilaksanakan tes bakat terbang (pilot aptitude test) dengan pesawat Douglas C-47/DC-3 Dakota dan simulator Link Trainer, dan akhirnya terpilih delapan orang: F. Tumbelaka, Sunarya Permadipura, Garnita Dendadipura, Achmad Suroko, Ghazali Sindhi, Muljono Prawiromihardjo, Jopie Dion, dan Dick Sadikin Sapi’ie.

Sebelum berangkat, mereka menghadap Presiden Soekarno di Istana Negara untuk berpamitan pada tanggal 30 Oktober 1951 dan terbang menuju Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam dengan menggunakan Lockheed Constellation milik KLM pada tanggal 8 November 1951 dari Bandara Internasional Kemayoran. Perjalanan memakan waktu satu hari lebih dan tiba pada tanggal 10 November 1951. Dari Amsterdam, dengan jalur darat mereka menuju Ypenburg, yang merupakan distrik sebelah tenggara kota Den Haag.

Sebagai catatan Grup RLS bukan satu-satunya pendidikan calon pilot sipil GIA di luar negeri, masih ada Grup Hamble (Air Service Training-Britain’s Air University) yang berangkat ke Inggris hanya selisih sebulan. Nanti setelah API (Akademi Penerbangan Indonesia) yang sekarang disebut STPI (Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia), Curug berdiri pada tahun 1952, GIA cukup mengandalkan lulusan calon pilot dari dalam negeri saja. Terlebih lagi API dari awal sudah mengadopsi kurikulum standar ICAO, jadi lulusannya setara dengan alumni dari Grup RLS dan Grup Hamble.

Grup RLS diperkenalkan dengan pesawat latih bersayap ganda de Havilland DH-82A Tiger Moth pada tanggal 12 November 1951 sebelum resmi belajar pada bulan Januari 1952. Mereka ditemani oleh Komandan Sekolah V. Midde dan Chief Inspector Lambermont.

Lapangan terbang Ypenburg sendiri berdiri tahun 1936, saat pecah Perang Dunia II digunakan Jerman sebagai tempat pendaratan pasukan lintas udara. Setelah perang digunakan murni untuk kepentingan sipil termasuk sekolah penerbang calon pilot KLM. Di sekolah penerbang ini uniknya, atau lebih tepat repotnya, calon pilot harus menyelesaikan pendidikan di darat (ground school) terlebih dahulu sebelum mengikuti pendidikan di udara (flying school).

Maka dimulailah pendidikan ground school selama setahun dimulai tanggal 1 Januari 1952 meliputi pelajaran Undang-Undang Penerbangan dan Kode Morse; Meterologi; Navigasi; Radio Komunikasi dan Instrumen; Mesin Pesawat; dan terakhir Aerodinamika dan Pesawat. Dari pendidikan ini empat orang tidak lulus yaitu Dick Sadikin Sapi’ie, Muljono Prawiromihardjo, Achmad Suroko, dan Ghazali Sindhi. Mereka tidak lantas dipulangkan melainkan dialihkan untuk mengikuti pendidikan teknik dan manajemen operasional penerbangan. Sebagai catatan Lumanauw eks radio operator GIA dan telah mengikuti ground school di AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) menyusul ke Ypenburg pada bulan Agustus 1952 dan bergabung dengan Grup RLS, jadi total ada lima orang yang menjadi calon pilot.

Pendidikan flying school pada tanggal 1 Januari 1953 dengan menggunakan pesawat bersayap ganda de Havilland DH-82A Tiger Moth, dilaksanakan di Ypenburg lalu di Hilversum. Total mereka mendapatkan sekitar 80 jam terbang (25 jam dual, 55 jam solo). Dari Tiger Moth lanjut ke Saab Safir untuk belajar terbang instrumen sekitar belasan jam terbang. Terbang lanjutan dipindahkan ke Gilzerijen lanjut ke Eelde dan dilakukan dengan North American AT-6 Harvard, melaksanakan 90 jam terbang (40 jam dual, 50 jam solo). Terakhir terbang menggunakan pesawat bermesin ganda, Beechcraft D18S Twin Beech untuk mendapatkan 100 jam terbang (60 jam dual, 40 jam solo).

Sunarya Permadipura berpose di samping Saab Safir sebagai pesawat lanjutan setelah Tiger Moth untuk belajar terbang instrumen. Hanya belasan jam Grup RLS berlatih di pesawat ini.

Beechcraft D18S Twin Beech bermesin ganda, sebagai pesawat latih terakhir yang harus dikuasai Grup RLS untuk mendapatkan ME-R (Multi Engine-Rating).

Bila lancar seharusnya seluruh calon pilot menyelesaikan pendidikan pada pertengahan tahun 1955, namun RLS masih menganut sistem konservatif di mana setiap calon penerbang wajib lulus seluruh pelajaran teori lebih dulu. Satu mata pelajaran saja belum lulus maka tidak diperkenankan meneruskan pelajaran terbang. Akibatnya mereka kembali ke Indonesia tidak bersama-sama. F. Tumbelaka yang selesai pada bulan Juli 1954 menyempatkan magang sebagai third pilot di KLM dan kembali ke Jakarta pada bulan Juni 1955 sebagai yang pertama kali tiba, sedangkan Garnita Dendadipura dan Jopie Dion yang paling terakhir, pulang pada bulan Juni 1956, atau sampai empat tahun di Belanda!

Lulusan Grup RLS ini seluruhnya merupakan pilot berlisensi CPL (Commercial Pilot License) + IR (Instrument Rating) dan ME-R (Multi Engine-Rating). Nantinya di tanah air, mereka ikut ujian di Departemen Perhubungan Udara untuk mendapatkan lisensi berikutnya SCPL dan ATPL (Senior Commercial Pilot License) dan (Airline Transport Pilot License). Pilot-pilot alumni Grup RLS ini menerbangkan armada GIA mulai dari de Havilland Heron, Dakota, Convairliner 240/340/440, Convair 990A, dan Douglas Jet. Ada pula yang masih aktif terbang saat GIA menjadi Garuda Indonesia, menerbangkan Boeing 747-200 sampai awal tahun 1990-an. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)