Untuk mendukung Kampanye Dwikora di perbatasan Kalimantan, AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) mengerahkan helikopter angkut raksasa, Mil Mi-6 “Hook”.

Seperti Hercules berotor begitulah kira-kira gambaran helikopter raksasa asal Uni Soviet ini. Yang dimaksud Hercules adalah pesawat angkut milik AURI sejak tahun 1960, Lockheed C-130B Hercules (Baca: Kedatangan Hercules dan Lahirnya Kesatuan Pengangkut Jarak Jauh) yang memiliki kemampuan angkut mumpuni ke segala penjuru Indonesia. Dengan sepasang mesin turboshaft Soloviev D-25V yang menghasilkan 5.500 tk (tenaga kuda) dan sayap tambahan untuk meningkatkan daya angkat (lift), Mi-6 memiliki kemampuan angkut mendekati Hercules.

Ketika Presiden Soekarno mencanangkan Kampanye Dwikora pada tanggal 3 Mei 1964, AURI sudah memiliki helikopter berkategori angkut ringan dan sedang, berkapasitas satu sampai tiga ton kargo. Dengan Mi-6, kapasitasnya meningkat berkali lipat sampai 12 ton! Selain kargo, sang rakasasa juga dapat mengangkut sampai 70 pasukan atau 120 penumpang!

Helikopter raksasa Mil Mi-6 dioperasikan AURI sebanyak sembilan unit dan mulai berdatangan pada bulan Januari 1965. 

Kapasitas angkut Mi-6 mencapai 12 ton atau 70 pasukan. Dapat pula dioptimalkan untuk mengangkut sampai 120 penumpang!

Kapasitas yang masif itu utamanya digunakan Uni Soviet untuk menggelar dan memindahkan misil nuklir antar benua. Jika lewat jalur darat, justru lebih lambat dan lebih mudah dideteksi oleh intelijen Barat. Selain itu, Mi-6 digunakan untuk membantu pembangunan infrastruktur pertambangan, konstruksi, dan pekerjaan umum khususnya di daerah terpencil.

AURI mulai mempersiapkan kedatangan Mi-6 dengan mengirim 22 personel terdiri atas enam pilot, satu navigator, dan sisanya teknisi ke Akademi Angkatan Udara Uni Soviet di Frunze pada bulan Agustus 1964, dididik selama kurang lebih enam bulan. Setelah itu helikopter dikirim lewat laut dari Pelabuhan Sevastopol menuju Tanjung Priok pada bulan Januari 1965. Dari sana dibawa dengan jalan darat menuju Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma untuk dirakit lalu diterbangkan ke Semplak, Bogor sebagai pangkalan induknya.

Sayangnya pengangkutan lewat jalan darat tersebut memakan korban pada tanggal 29 Juli 1965. Salah satu Mi-6 dengan ekornya yang masif setinggi sembilan meter menyangkut di kabel listrik tegangan tinggi. Mayor Teknik Atang Senjaya yang berada di badan helikopter tersengat listrik dan meninggal. Sebagai bentuk penghormatan, namanya diabadikan menggantikan Semplak, menjadi Pangkalan Angkatan Udara Atang Senjaya setahun kemudian.

Di bawah hidung Mi-6 terpasang senapan mesin kaliber 12,7 mm untuk pertahanan diri walaupun kenyataannya tidak pernah digunakan.

Kokoh, tangguh,dan sosoknya yang luar biasa besar menarik perhatian masyarakat di perbatasan Kalimantan saat Dwikora. 

Seperti Hercules, Mi-6 memiliki pintu belakang berukuran besar untuk memudahkan bongkar muat kargo seberat lima ton sekali angkut.

Ada sembilan unit Mi-6 (H-270 s/d H-278) yang dibeli dan menjadi kekuatan Skadron 8 Helikopter Angkut Berat yang resmi dibentuk pada tanggal 25 Mei 1965 sekaligus berdirinya Wing Operasi Helikopter 004 berkekuatan Skadron 6, 7, dan 8.

Kampanye Dwikora berupa inflitrasi pasukan dan pembekalan logistik ulang dari Pontianak menjadi tugas utama Mi-6 selain melaksanakan evakuasi medis dan pesawat komando dan pengendalian (kodal). Helikopter raksasa ini digunakan untuk operasi khusus seperti Operasi “Hemat”, mengevakuasi komponen dan suku cadang Lockheed C-130B Hercules beregistrasi T-1306 yang jatuh terkena tembakan pasukan sendiri di Long Bawang dan mendukung Proyek S-1, peluncuran roket ilmiah Kappa milik LAPAN/Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Baca: Proyek S-1 dan Peluncuran Roket Kappa-8).

Selain tugas militer, tugas sipil juga dilaksanakan Mi-6. Pada bulan Juli 1965 dilaksanakan bulan PMI, pengumpulan dana dan mengundang para peserta ikut terbang gembira (joyflight) dari Bandara Kemayoran menuju daerah wisata Puncak di Bogor. Bulan Januari 1966, helikopter ini digunakan untuk evakuasi korban tabrakan dua pesawat Douglas DC-3 Dakota milik GIA (Garuda Indonesian Airways) di Palembang. Pada tanggal 18 dan 19 Maret 1966, Mi-6 terlibat dalam operasi kemanusiaan bencana banjir di Solo. Pada tahun 1967, PMI kembali lagi menyelenggarakan terbang gembira dengan Mi-6, jumlah yang diangkut mencapai 100 penumpang!

Saat dioperasikan itulah terbukti kemampuan Mi-6 dibesar-besarkan. Kecepatan jelajah yang disebut mencapai 200 km/jam, hanya 170-175 km/jam. Pengaruh iklim tropis di Indonesia berpengaruh banyak terhadap penurunan performa, kapasitas angkut yang diklaim 12 ton, ternyata hanya kurang dari lima ton. Penurunan drastis itu diakibatkan sebagian besar bobotnya dipakai untuk bahan bakar. Walaupun demikian angka lima ton itu cukup luar biasa jika dipakai untuk tugas pembekalan ulang di daerah perbatasan.

Saat Kampanye Dwikora, tugas utama Mi-6 adalah angkut pasukan dan logistik. Selain itu melaksanakan tugas sipil pula.

Deretan Mi-6 di Pangkalan Angkatan Udara Atang Senjaya, Bogor. Pengabdiannya singkat hanya tiga tahun dan berakhir sebagai besi tua.

Pengabdian sang raksasa ternyata sangat singkat. Pasca G30S dan turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan membuat pasokan suku cadang dari Uni Soviet tersendat dan bahkan terhenti sama sekali. Pada tahun 1968, Mi-6 resmi stop beroperasi dan dijual sebagai besi tua. Sayangnya lagi tidak ada satupun disisakan menjadi koleksi museum.

Akhir pengabdian Mi-6 mengakibatkan likuidasi pula Skadron 8, dan baru diaktifkan lagi pada tahun 1981 setelah kedatangan Aérospatiale SA 330 Puma tiga tahun sebelumnya. Helikopter asal Perancis ini tergolong helikopter angkut sedang, kapasitas angkutnya hanya dua sampai tiga ton kargo, jelas kalah kemampuannya dengan Mi-6, namun lebih fleksibel dan gesit untuk tugas beranekaragam baik militer maupun sipil. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)