Bahkan di tengah revolusi fisik melawan Belanda, Indonesia mengembangkan secara swadaya teknologi helikopter (sayap putar/rotary wing) yang tergolong masih baru pada waktu itu.

Dibandingkan teknologi pesawat terbang (sayap tetap/fixed wing), teknologi helikopter yang mampu lepas landas dan mendarat secara vertikal tergolong rumit dan baru saja dimatangkan menjelang akhir tahun 1930-an dan pasca Perang Dunia II. Kalau di Amerika Serikat memiliki Igor Sikorsky, di Indonesia ada Yum Soemarsono sebagai pengagas teknologi ini.

Bermodalkan pengetahuan dari Majalah Popular Science bekas terbitan tahun 1939, buku stensil aerodinamika karya insinyur asal Belanda, Ir. Oyen terbitan tahun 1940, dan mesin sepeda motor BMW 500 cc menghasilkan 24 tk (tenaga kuda) pada putaran 3.000 rpm, pria yang lahir di Desa Soko, Purworejo pada tanggal 10 April 1946 mulai membangun helikopter pertama RI-H pada awal bulan Desember 1948 di Desa Tarikngarum, sebelah timur Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Ilustrasi helikopter pertama buatan Yum Soemarsono, RI-H yang desainnya tergolong sederhana, namun telah mengadopsi fitur rotor stabilizer.

Helikopter kedua buatan Yum Soemarsono bernama YSH, merupakan RI-H yang dibangun ulang dengan mesin dan rotor yang sama.

Bentuknya sederhana, badannya berupa rangka pipa alumunium sepanjang 5.75 m dengan bahan duraluminum dibentuk profil aerofoil NACA 23012 untuk dua bilah daun rotornya berdiameter 6,75 m dengan tali busur (cord) sepanjang 20 cm. Uniknya lagi pria yang pernah bekerja sebagai teknisi konstruksi (teekenaar contructeur) di Artelerie Constructie Winkel saat era Hindia Belanda menambahkan rotor stabilizer agar helikopter terbang dengan stabil, padahal di Amerika Serikat sendiri masih diterapkan dalam praktek.

Sayangnya RI-H tidak sempat diterbangkan pada tanggal 24 Desember 1948 akibat Agresi Militer Belanda II (Baca: 70 Tahun Agresi Militer Belanda II Operatie Kraai), Yum Soemarsono yang saat itu berstatus sebagai kapten teknik AD (Angkatan Darat) hanya mengujinya sebatas tes putaran rotor. RI-H ini akhirnya hancur terkena serangan udara Belanda.

Pasca pengakuan kedaulatan, kepiawaian di bidang teknik dan pembangunan helikopter membuat Yum Soemarsono ditawari masuk AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) dan pada tahun 1950 di bengkel PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) Pengok, Yogyakarta dengan bantuan modal dari pengusaha setempat bernama Suharto dan Hatmodjo, teman sekolah sekaligus rekan kerjanya, berhasil membuat YSH (Yum Suharto Hatmodjo). YSH ini dibuat berbasis motor dan rotor RI-H yang berhasil diselamatkan dan sempat melayang setinggi 10 cm saat uji coba di Lapangan Terbang, Sekip, Yogyakarta. Sayangnya saat ingin diuji coba di Kalijati, dalam perjalanan, tiang rotor YSH bengkok menabrak kabel listrik.

Keinginan membangun kembali YSH tertunda namun merupakan penundaan yang bagus karena pada tahun 1951, Yum Soemarsono mendapat pelatihan terbang sekaligus menjadi pilot helikopter, dilatih oleh pilot helikopter pertama Indonesia, Wiweko Soepono dengan Hiller 360 (Baca: Hiller 360, Helikopter Pertama di Indonesia). Dari sinilah dia mendapatkan ilmu untuk membangun helikopter yang lebih baik dan berdimensi lebih besar dari sebelumnya, dan diberi nama Soemarkopter pada tahun 1953.

Helikopter ketiga buatan Yum Soemarsono diberi nama Soemarkopter dan berhasil terbang setinggi satu meter saat diterbangkan oleh instruktur Hiller, Leonard Parish pada tanggal 10 April 1954.

Soemarkopter saat dititipkan di LAPIP. Sayangnya helikopter ini hilang tidak berbekas sepulangnya Yum Soemarsono dari Amerika Serikat pada tahun 1955.

Walaupun Yum Soemarsono telah diangkat menjadi Kepala Seksi Bengkel Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara, Bandung, AURI belum tertarik mengembangkan proyek helikopter. Dengan modal sumbangan mesin pesawat Piper Cub tipe Continental 65 tk dari pakar penerbangan Ir. Karno Barkah, dia justru membangun Soemarkopter di Bengkel Induk 90 milik Angkatan Darat!

Helikopter ini mendapat publikasi luas karena berhasil terbang setinggi satu meter tepat pada hari ulang tahun Yum Soemarsono ke-38, diterbangkan oleh instruktur Hiller asal Amerika Serikat, Leonard Parish. Parish sangat mengagumi Soemarkopter dan atas andil dia pula, Yum Soemarsono mendapat beasiswa di Palo Alto untuk melanjutkan belajar menerbangkan helikopter di Amerika Serikat sekaligus mengikuti Helicopter Design Course di Universitas Stanford. Saat berada di sana terbukti bahwa perhitungan rotor blade RI-H dengan ilmu otodidak dari Yum Soemarsono hanya berselisih satu inch dari perhitungan pimpinan insinyur Hiller, Wayne Wiesner!

Sepulangnya dari Amerika Serikat pada tahun 1955, Yum Soemarsono mendapat dukungan penuh dari AURI lewat LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang) pimpinan Nurtanio. Sayangnya Soemarkopter yang dititipkan di bengkel LAPIP hilang tidak berbekas, terpaksa dia membangun kembali dari awal. Helikopter keempat yang dibangunnya ini diberi nama Kepik oleh Presiden Soekarno.

Pembangunan Kepik tertunda karena kesibukannya setelah diangkat menjadi pilot helikopter kepresidenan dan instruktur helikopter tipe Hiller 360, Bell 47G/J, Sikorsky S-61, serta Mil Mi-1 dan Mi-4 pada tahun 1963. Awal tahun 1964, Kepik selesai dan saat diuji coba terbang oleh Yum Soemarsono untuk ketujuh kalinya pada tanggal 22 Maret di sore hari, peristiwa nahas terjadi, rotor terlepas dari dudukannya dan menebas lengan kirinya sekaligus menewaskan pembantu dekatnya, Dali. Rencananya Kepik ini akan diterbangkan ke Jakarta untuk diperlihatkan kepada Presiden Soekarno dan Jenderal Ahmad Yani.

Helikopter Kepik yang membuat Yum Soemarsono kehilangan lengan kirinya. Ini adalah helikopter keempat sekaligus yang terakhir buatannya.

Yum Soemarsono, bapak helikopter Indonesia. Pensiun sebagai letnan kolonel dan masih terbang dengan helikopter dengan alat buatannya sendiri, throttle collective device.

Selama 1,5 tahun, Yum Soemarsono memulihkan kesehatan dan mulai mencoba terbang lagi dengan Hiller 360 pada tanggal 27 September 1965 dengan throttle collective device buatannya sendiri yang memungkinkan dirinya berlengan satu dapat menerbangkan helikopter. Alat ini dikembangkan lebih lanjut agar dapat dipasang di helikopter Bell 47G/J. Sebagai pensiunan letnan kolonel AURI, Yum Soemarsono masih terus menerbangkan helikopter di sektor swasta, menyemprot hama tebu dan kelapa. Terakhir dia berhasil menghidupkan dan menerbangkan kembali Bell 47J eks Angkatan Laut yang dinamakan Walet sampai dijual pada bulan Januari 1990.

Swadaya pengembangan teknologi helikopter di Indonesia praktis berakhir pada tahun 1970-an karena IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang lahir pada tahun 1976 sebagai pengembangan dari LAPIP, lebih memilih mengadopsi saja secara lisensi produksi helikopter Bolkow BO-105 buatan Jerman Barat, Bell 212/412 buatan Amerika Serikat, serta Aérospatiale SA330 Puma dan SA332 Super Puma buatan Perancis. Walaupun demikian, Yum Soemarsono yang meninggal dunia pada tanggal 5 Maret 1999 akibat kanker paru-paru masih diingat prestasinya sebagai bapak helikopter Indonesia. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)