Sudah 50 tahun sejak drama pembajakan pesawat pertama terjadi di Indonesia. Awalnya dianggap main-main namun ternyata serius. Berkat keberanian kedua pilot, pelaku pembajakan berhasil ditembak mati.

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam penerbangan MNA (Merpati Nusantara Airlines) MZ-171 tanggal 5 April 1972. Cuaca cerah menaungi pesawat bermesin empat Vickers Viscount PK-MVM “Merauke” yang lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi, Menado dengan tujuan Makassar, lanjut ke Surabaya dan berakhir di Jakarta.

Pukul 13.30 WIB (Waktu Indonesia bagian Barat), pesawat yang mengangkut 29 penumpang ini bersiap lepas landas dari Surabaya, namun petugas bandara mengisyaratkan agar menunggu. Mobil datang mendekati pesawat dengan membawa satu penumpang tambahan. Tidak disadari oleh Kapten Soleh Sukarnapradja dan Kapten Hindarto Sugondo, bahwa penumpang itulah, yang kemudian diketahui bernama Hermawan Hardjanto adalah pembajak.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-1Sempat dianggap becanda, Vickers Viscount PK-MVM “Merauke” akhirnya dikepung oleh petugas keamanan segera setelah mendarat di Bandara Adisucipto.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-2Dengan bantuan tangga, perwira polisi Bambang Widodo menyelundupkan pistol kepada Kapten Hindarto Sugondo saat pembajak lengah dan sibuk di kabin penumpang.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-3Kapten Hindarto Sugondo (kiri) dan Kapten Soleh Sukarnapradja setelah berhasil mengagalkan dan menembak mati pembajak.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-4Peristiwa pembajakan pesawat pertama di Indonesia dimuat di Kedaulatan Rakyat. Tindakan pilot MNA menembak mati pembajak dibenarkan dengan alasan membela diri.

Pembajak melaksanakan aksinya saat pesawat berada di atas Pekalongan, memaksa masuk kokpit dengan menyandra Kapten Soleh Sukarnapradja yang barus saja keluar dari toilet, mengancam akan meledakan dua granat dan satu tas berisi mesiu. Pembajak kemudian dengan rantai anjing mengikat tangan kanan Kapten Soleh Sukarnapradja dan tangan kanan kiri Kapten Hindarto Sugondo yang membuat mereka kesulitan menerbangkan pesawat karena tangan mereka juga terikat di sandaran kursi. Pembajak bertopeng yang mengaku-aku sebagai mantan Korps Komando Angkatan Laut (KKO-Marinir) dan residivis itu memerintahkan agar membelokan pesawat ke Yogyakarta.

Perintah itu dituruti, sambil kedua pilot melaporkan bahwa pesawat telah dibajak dan bersiap mendarat di Bandara Adisucipto. Laporan lewat radio itu sempat ditanggapi tidak serius baik oleh menara kontrol Jakarta maupun pesawat-pesawat yang sedang terbang berlalu-lalang di sepanjang rute gemuk tersebut. Baru setelah Viscount mendarat dan berhenti di apron, semua pihak menganggap serius ancaman pembajak.

Hermawan meminta uang Rp 20 juta dan parasut, jika terpenuhi pesawat akan terbang lagi dan dia akan keluar dari pesawat dengan parasut. Pembajak berbicara kepada kedua pilot sambil menunjuk di peta sekitar Tegal seraya mengancam akan membunuh keduanya oleh kaki tangannya jika rencananya gagal. Uang sebanyak itu sulit dikumpulkan pada tahun 1970-an, petugas di menara pengawas mengulur-ulur permintaan pembajak dan akhirnya permintaan uang turun menjadi Rp 5 juta saja.

Selama proses tarik-ulur yang cukup lama itulah, petugas keamanan berkesempatan menyelinap ke bawah pesawat dan mengempiskan ban-ban pesawat, praktis Viscount tidak bisa terbang. Hal yang sebenarnya disesalkan karena akan membuat pembajak semakin marah. Beberapa penumpang yang merupakan kru Bouraq Airlines membuka pintu belakang pesawat dan berhasil keluar. Inisiatif mereka diikuti oleh seluruh penumpang termasuk empat kru lainnya, dua teknisi dan dua pramugari, walaupun tanpa bantuan tangga dengan posisinya dari atas tanah mencapai sekitar dua meter. Aksi ini dilakukan tidak diketahui pembajak karena sibuk berkomunikasi dengan menara pengawas di dalam kokpit dan mesin pesawat dalam kondisi hidup.

Pembajak baru sadar pesawat ditinggalkan penumpang sekitar pukul 15.30. Kesal karena rencananya berantakan seraya menuduh kedua pilot berkomplot membantu penumpang turun, Hermawan lantas mengobrak-abrik bagasi penumpang, mencari-cari barang berharga sambil menyiapkan mesiu dan sumbunya. Saat pembajak sedang sibuk di kabin penumpang itulah Bambang Widodo, seorang perwira polisi dengan bantuan tangga mencapai jendela kokpit dan menyusupkan pistol Colt kepada Kapten Hindarto Sugondo.

Keadaan semakin berbahaya saat pembajak membuka topengnya, berniat membakar sumbu mesiu untuk meledakan pesawat, bunuh diri bersama-sama kedua pilot. Pada detik-detik kritis itulah Kapten Hindarto Sugondo berhasil melepaskan ikatan rantai dengan bantuan keringat, segera menembakan pistol dari jarak dekat saat pembajak membelakangi mereka. Tiga peluru yang ditembakan oleh mantan pilot DAUM-AURI (Djawatan Angkatan Udara Militer-Angkatan Udara Republik Indonesia) dan alumi TALOA (Transocean Air Lines) itu berhasil menembus badan dan kepala belakang pembajak.

Untungnya rantai di tangan kanan Kapten Soleh Sukarnapradja juga berhasil dilepas. Keduanya segera lari, loncat, dan menjauh dari pesawat, khawatir pesawat akan meledak. Namun ledakan tidak terjadi. Pembajak tewas, jatuh menimpa sumbu yang menyala, di mana justru memadamkannya. Drama pembajakan pesawat pertama di Indonesia itu terjadi selama tiga jam dan tidak ada korban jiwa. Yang ada hanya kaki Kapten Soleh Sukarnapradja terkilir akibat meloncat dari pesawat.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-5Petugas keamanan Bandara Adisucipto memeriksa jenazah pembajak yang ditembak mati oleh Kapten Hindarto Sugondo.

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-6Ilustrasi denah pesawat Viscount, menunjukan posisi kedua pilot dan pembajak Hermawan Hardjanto yang merupakan anggota KKO (insert).

Pembajakan-Pesawat-Pertama-di-Indonesia-7PK-MVM “Merauke” dengan livery Jembatan Udara Nusantara. Pesawat ini terus dioperasikan sampai pensiun pada tahun 1989 dan menjadi rongsokan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.

Malam hari seluruh kru diinapkan di perumahan TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) sambil dijaga ketat sedangkan seluruh penumpang tinggal di hotel. Bahkan selama 45 hari kemudian kedua pilot masih dijaga oleh petugas kepolisian. Terus waspada jika kaki tangan pembajak benar-benar ingin membalas dendam, tapi hal tersebut tidak terjadi.

Di luar negeri, pembajakan pesawat periode tahun 1960-1970-an sangat marak dan sudah dianggap sebagai kejahatan yang serius, sementara di Indonesia masih dianggap sepele. Penjagaan keluar masuk wilayah bandara masih longgar, terlebih lagi pembajakan pesawat masih dianggap sebagai urusan polisi dan petugas keamanan bandara, bukan pasukan khusus anti teroris di bawah komando angkatan bersenjata. Baru setelah pembajakan pertama dan kedua (terjadi pada tahun 1977 rute Jakarta-Surabaya), Indonesia membentuk pasukan sendiri dan membuktikan kualitasnya saat terjadi pembajakan Douglas DC-9 “Woyla” pada tahun 1981. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)