Pada tahun 1992, Garuda Indonesia menerima dan mengoperasikan pesawat trijet McDonnell Douglas MD-11 untuk menggantikan trijet sebelumnya Douglas DC-10.

Dalam perencanaan regenerasi armada yang direncanakan pada sekitar pertengahan tahun 1980-an dan mulai terlaksana pada awal tahun 1990-an, MD-11 menjadi salah satu pesawat terbaru Garuda Indonesia, tiba hampir bersamaan dengan kedatangan Airbus A300-600, untuk menggantikan A300B4. Berikutnya Garuda Indonesia mendatangkan Boeing 747-400 untuk menggantikan series -200 dan masih ditambah Airbus A330-300.

Dalam iklan yang dimuat Majalah Angkasa No.2 November 1992, tampak jelas bahwa Garuda Indonesia ingin menganalogikan MD-11 sebagai Sang Garuda, dewa burung mitologi yang maha perkasa. Besar harapannya kedatangkan pesawat badan lebar yang merupakan versi full glass cockpit dari DC-10 akan menjadikan Garuda Indonesia sebagai maskapai flag carrier yang modern.

Keperkasaan-Burung-Garuda-1
Ternyata performa MD-11 tidak seperti yang diharapkan, bahkan kalah dari DC-10, pesawat yang harusnya menggantikannya. McDonnell Douglas lantas memproduksi versi perbaikannya, MD-11ER dan juga dioperasikan Garuda Indonesia pada tahun 1997, namun hasilnya tidak lebih baik.

Ditambah lagi ada manipulasi dan mark up dalam pengadaannya membuat pesawat ini semakin bernasib malang. Saat krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, MD-11 dan MD-11ER buru-buru dikembalikan ke perusahaan lessor GPA (Guinnes Peat Aviation) asal Irlandia. Keperkasaan Sang Garuda hanya berlangsung singkat dan justru menimbulkan kerugian cukup besar bagi manajemen Garuda Indonesia. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)