Selain membeli pesawat tempur untuk pertahanan udara, untuk meningkatkan kemampuan patroli dan intai maritim, TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) mendatangkan tiga unit Boeing 737 Surveillence.
Pada tanggal 1 Juni 1982, pesawat pesanan pertama beregistrasi AI (Angkut Intai)-7301 mendarat di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, disambut langsung oleh KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Marsekal Ashadi Tjahjadi. Boeing membangun pesawat maritim dari pesawat komersial badan sempit (narrow body) yang populer, diberi angka khusus 737-2X9. Pengadaan ini membuat TNI-AU menjadi operator Boeing 737-200 pertama di Indonesia.
Rencana pembelian pesawat yang dilengkapi radar Motorola SLAMMR (Side Looking Airborne Modular Multi Mission Radar) ini, sudah dilakukan setahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27 Februari 1981, sebagai bagian dari Renstra (Rencana Strategis) II. Uniknya Boeing membangun platform pesawat patroli maritim ini hanya untuk Indonesia, sangat canggih pada waktu itu, dan sangat diperlukan mengingat tanggungjawab pengawasan kawasan perairan Indonesia yang sangat luas meliputi ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif).
Penandatanganan pembelian tiga unit Boeing 737-2X9 oleh KSAU dan pejabat Boeing pada tanggal 27 Februari 1981.
Lewat pembelian ini, TNI-AU praktis menjadi operator pertama pesawat Boeing 737-200 di Indonesia, tipe pesawat komersial badan sempit yang populer.
Pengiriman tiga unit pesawat berlangsung pada periode tahun 1982-1983. Pesawat pertama tiba pada tanggal 1 Juni 1982 di Halim Perdanakusuma, diterbangkan dari Seattle, Amerika Serikat.
KSAU menyambut langsung kedatangan pesawat beregistrasi militer AI-7301. Total ada tiga unit pesawat intai maritim berbasis Boeing 737-200 dioperasikan TNI-AU.
Ketiga pesawat menjadi kekuatan Skadron 5 TNI-AU dengan fungsi primer sebagai patroli maritim dan sekunder sebagai angkut militer dengan kapasitas 89 penumpang.
Pesawat bermesin ganda turbofan Pratt & Whitney JT8D-17BG 301 dan sanggup mengangkut sampai 89 penumpang ini ditujukan sebagai bagian dari kekuatan Skadron 5 Intai Laut/SAR (Search & Air Rescue) yang saat itu masih berpangkalan di Abdurrahman Saleh, Malang sebelum dipindahkan ke Sultan Hassanudin, Makassar pada tahun 1993. Saat itu skadron berlambang putri duyung tersebut masih mengandalkan lima unit pesawat amfibi Grumman UF-1/UF-2 Albatross yang sudah ketinggalan zaman.
Rencananya Boeing 737-2X9 secara bertahap menggantikan Albatross, bertugas tandem dengan Lockheed C-130H Hercules versi MPA (Maritime Patrol Aircraft) yang juga tiba hampir bersamaan. Sayangnya Hercules ini masa operasionalnya singkat, jatuh di Gunung Sibayak, Medan pada tahun 1985 (Baca: C-130H-MP, Hercules Patroli Maritim Semata Wayang TNI-AU). Alhasil Skadron 5 memiliki pesawat dengan jumlah paling kecil di TNI-AU, dan berlangsung terus sampai mendapat tambahan dua pesawat turboprop CN235 MPA buatan PT. DI (Dirgantara Indonesia), AI-2317 dan AI-2318 plus satu unit Boeing 737-2Q8 AI-7304 eks Skadron 17. Walaupun kenyataannya dua CN235 MPA telah dipindahkan untuk memperkuat Skadron 27 yang dibentuk pada tahun 2019. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)