Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, negara-negara maju dan berkembang di kawasan Asia Pasifik berlomba-lomba meluncurkan satelit untuk kebutuhan komunikasi domestik, antar negara, dan antar benua. Persaingan ketat tidak terhindarkan antara pemain lama dan pemain baru sebagai penyedia jasa roket pelontar satelit.
Pemain lama diwakili oleh Amerika Serikat dengan seri roket Delta, sedangkan pemain baru diwakili oleh Perancis yang menawarkan seri roket Ariane dan RRC (Republik Rakyat Cina) lewat seri roket Long March. Sebenarnya ada lagi seri roket Proton buatan Uni Soviet, namun karena belum siap secara komersial ditambah masalah politik dalam negeri yang klimaksnya bubarnya negara ini, otomatis tersingkir.
Indonesia menjadi pelanggan roket pelontar satelit tipe Delta buatan McDonnell Douglas yang saat ini menjadi ULA (United Launch Alliance).
Indonesia saat meluncurkan SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa A1 dan A2 (Baca: SKSD Palapa : Lewat Komunikasi Persatukan Indonesia) buatan Hughes, disatukan dengan roket Delta buatan McDonnell Douglas sebagai pelontarnya. Lagipula punya pilihan apa lagi? Pada pertengahan tahun 1970-an masih jarang sebuah negara bahkan yang sudah maju sekalipun memiliki satelit. Roket buatan Amerika Serikat dari tipe Delta, Atlas, dan Titan, termasuk space shuttle, cenderung memonopoli bisnis ini sampai akhirnya digoyahkan oleh Perancis di mana pada akhir 1980-an Arianespace sudah memiliki portofolio kesuksesan peluncuran Ariane 1, 2, dan 3 yang cukup signifikan, dan sedang berancang-ancang meluncurkan Ariane 4 sebagai generasi penerusnya.
Long March menjadi kuda hitam, portofolionya tidak sebaik Ariane, oleh karena itu premi asuransinya tergolong tinggi, namun berani bersaing dengan harga yang lebih murah. Sebagai contohnya saat proyek peluncuran Palapa B4, CGWIC (China Great Wall Industry Co.) sebagai perusahaan dan pabrik pembuat Long March menawarkan harga lebih murah, berselisih sampai USD 4 juta bila dibandingkan penawaran McDonnell Douglas sebesar USD 47 juta (Baca: Peluncuran Satelit Palapa B4). CGWIC berani menawarkan Long March 3 kepada Indonesia karena pada tahun 1990, berhasil melontarkan satelit AsiaSat 1 asal Hongkong yang juga merupakan satelit buatan Hughes, sama seperti Palapa.
Arianespace menawarkan Ariane 3 kepada Indonesia untuk melontarkan satelit Palapa B2R dan B4 namun gagal, baru berhasil saat proyek Palapa C2.
Walaupun di media massa tidak menyebut berapa penawaran oleh Arianespace, diperkirakan harganya hampir sama dengan McDonnell Douglas. Kalau dirinci lagi layanan Arianespace lebih unggul dari McDonnell Douglas karena peluncurannya dilakukan di Kourou, Guyana Perancis yang letaknya dekat dengan khatilistiwa, memungkinkan umur satelit dapat lebih panjang dua sampai tiga tahun. Namun seperti CGWIC, Arianespace pastinya menambahkan biaya tambahan pengiriman satelit dengan segala resikonya. Khusus untuk RRC, karena sebagai negara musuh dagang Amerika Serikat, masih dikenai biaya keamanan sebesar USD 1,5 juta agar teknologi satelit Palapa B4 buatan Hughes itu tidak dicuri!
Alhasil dengan pertimbangan murni ekonomi, roket Delta kembali terpilih untuk proyek Palapa B4. Ini adalah kekalahan Arianespace kedua di Indonesia setelah gagal mendapatkan kontrak pelontaran satelit Palapa B2R, padahal pimpinannya, Charles Bigot sudah menyempatkan datang langsung ke Jakarta pada pertengahan bulan Februari 1991. Sebagai catatan untuk Palapa B2R memang masih cukup kental nuansa politik dan kedekatan antara dua negara di mana Presiden Soeharto sendiri yang meminta langsung kepada Presiden Ronald Reagan dalam kunjungan kenegaraan di Bali pada tahun 1986 untuk segera meluncurkannya dengan roket Delta karena cukup lama tertunda akibat meledaknya space shuttle Challenger.
CGWIC menawarkan Long March 3 untuk melontarkan satelit Palapa B2R dan B4 namun gagal. Walaupun demikian derivatif roket ini terpilih untuk proyek Palapa D.
Walaupun Arianespace gagal tender untuk Palapa B2R dan B4 namun untuk berhasil memang butuh kesabaran dan ada waktunya. Setelah dilewati lagi oleh Palapa C1 dengan roket Atlas 2AS, akhirnya saat proyek Palapa C2, Arianespace dipilih oleh Indosat (Indonesia Satelit). Dengan menggunakan roket Ariane 4 (44L H10-3), Palapa C2 berhasil ditempatkan di GSO (Geo Stationary Orbit) pada tahun 1996. Keberhasilan lainnya diikuti oleh CGWIC, Long March 3B terpilih sebagai roket pelontar satelit Palapa D pada tahun 2009. Yang pasti saat ini dominasi Amerika Serikat sebagai negara penyedia jasa roket pelontar satelit semakin pudar, terlebih lagi perusahaan swasta seperti SpaceX dan Blue Origin juga melakukan bisnis yang sama. Berkat persaingan ini, konsumen diuntungkan karena memiliki beberapa pilihan dengan harga kompetitif. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)