Terinspirasi dari Perang Pasifik, ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) mau tidak mau harus memiliki kekuatan udara, walaupun pelaksanaannya di lapangan tidak mudah.

Perang Pasifik mengajarkan tanpa dukungan udara yang cukup, armada laut menjadi tidak berdaya. MLD (Marineluchtvaartdienst) sebagai kekuatan laut yang melindungi Hindia Belanda saat Perang Pasifik telah meletakan pondasi dasar, salah satunya lewat pembangunan pangkalan pesawat amfibi di Tanjung Perak-Morokrembangan, Surabaya (Baca: Vliegkamp Morokrembangan – Pangkalan Udara MLD yang Tinggal Kenangan).

Mengembangkan unit baru yang nantinya disebut Biro Penerbal (Penerbangan Angkatan Laut) bukan perkara mudah, apalagi benar-benar dimulai dari nol. Masalah anggaran karena lebih diutamakan untuk pengadaan kapal perang dan terpenting adalah urusan SDM (Sumber Daya Manusia). Yang terakhir ini sudah dirintis dengan mengirimkan calon pilot dan teknisi ke Inggris untuk didik pada periode tahun 1950-1956.

Lahirnya-Rajawali-Laut-1

Lahirnya-Rajawali-Laut-2ALRI mengirim perwira muda ke Inggris tepatnya ke RAF (Royal Air Force) untuk dididik menjadi pilot Penerbal. Letnan Muda Hamami (atas) dan Tjokroadiredjo (bawah) menjadi pilot jet pertama di Indonesia, lebih cepat daripada pilot AURI!

Selama periode persiapan itu ALRI telah menghasilkan beberapa pilot, bahkan ada pilot Penerbal yang sudah mengantungi terbang solo pesawat latih jet de Havilland Vampire pada awal Februari 1956, lebih cepat beberapa minggu dari pilot AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang baru saja membentuk skadron jet pertama di Bandung (Baca: Vampire, Tipe Pesawat Jet Pertama di Indonesia)!

Pelaksanaan untuk mewujudkan skwadron udara Penerbal sempat tertunda karena konflik internal di tubuh ALRI sendiri. Alhasil pilot dan teknisi Penerbal saat pulang ke Tanah Air harus rela sementara waktu menjadi awak kapal, lainnya diperbantukan ke AURI, menerbangkan Vampire dan pesawat angkut Douglas C-47 Dakota. Konflik akhirnya selesai dan ALRI  mendandatangani pembelian pesawat ASW (Anti Submarine Warfare) Fairey Gannet eks Royal Navy pada tahun 1959, sebanyak 18 unit sebagai kekuatan skwadron pertama Biro Penerbangan Angkatan Laut, Skwadron 100.

Selain Gannet, Rajawali Laut julukan lain bagi Penerbal, juga menerima dua unit pesawat amfibi Grumman UF-2 Albatross pada bulan September 1960 yang fungsinya sebagai SAR (Search & Air Rescue). Kedua pesawat yang merupakan hibah dari Amerika Serikat ini dimasukkan ke dalam Flight Udara 300. Gannet dan Albatross diuji kemampuan operasionalnya untuk pertama kali saat Kampanye Trikora melawan Belanda di Papua.

Lahirnya-Rajawali-Laut-3

Lahirnya-Rajawali-Laut-4Fairey Gannet (atas) dan Grumman Albatross (bawah) menjadi dua tipe pesawat pertama Penerbal. Kemampuan operasionalnya diuji pertama kali saat Kampanye Trikora.

Sebagai pangkalan utama kedua tipe pesawat tersebut, PUALAM (Pangkalan Angkatan Laut Morokrembangan) dibangun kembali. Hanggar dan gudang eks MLD yang rusak akibat serangan Jepang maupun Sekutu diperbaiki, demikian juga pembuatan taxiway, apron, gedung kantor, asrama perwira dan prajurit, serta pembersihan area dari reruntuhan bangunan, rongsokan pesawat, dan semak belukar. PUALAM diresmikan langsung oleh PM (Perdana Menteri) Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 4 April 1960, siap menampung Gannet dan Albatross yang operasional seluruhnya setahun kemudian.

PUALAM tidak bertahan lama, untuk kebutuhan operasional militer di masa depan dinilai terlalu sempit apalagi juga mengakomodasi kepentingan penerbangan sipil. Kembali lagi lewat dukungan Djuanda, ALRI membangun pangkalan udara yang baru, di Waru yang kelak dinamakan Lanudual (Pangkalan Udara Angkatan Laut) Djuanda, yang sayangnya tidak diresmikan oleh Djuanda karena sudah meninggal dunia, digantikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 12 Agustus 1964.

Lahirnya-Rajawali-Laut-5Karena berperan besar dalam pengembangan ALRI dan Penerbal, PM Djuanda diberi Wings Kehormatan Penerbal oleh KSAL (Kepada Staf Angkatan Laut) Laksamana R.E. Martadinata saat peresmian PUALAM.

Lahirnya-Rajawali-Laut-6Penerbal menjadi kepanjangan mata dan tangan dari kapal perang ALRI. Karena tidak ada pasokan suku cadang, kekuatan Rajawali Laut sempat menurun pada awal tahun 1970-an, walaupun kemudian kembali bangkit.

Kekuatan Penerbal semakin bertambah pada tahun 1965 seiring dengan pencanangan Kampanye Dwikora, Skwadron 400 dibentuk lewat pembelian helikopter Mil Mi-4 “Hound” dan Skwadron 500 berkekuatan pesawat pembom torpedo Ilyushin Il-28T “Beagle” (Baca: Perjalanan Singkat “Beagle” Milik ALRI), keduanya buatan Uni Soviet. Kemudian kekuatan Rajawali Laut sempat menurun seiring dengan perubahan politik, pesawat dan helikopter baik buatan Barat dan Timur terpaksa di-grounded karena tidak ada pasokan suku cadang. Namun pelan-pelan kembali pulih, dimulai dengan pengadaan beberapa pesawat angkut Douglas C-47 Dakota, pesawat patroli maritim GAF Nomad (Baca: Si Pengembara Lautan Nusantara), helikopter, dan pesawat latih.

Rajawali Laut yang saat ini disebut Dispenerbal (Dinas Penerbangan TNI Angkatan Laut) memang kekuatan armada udaranya tidak sebesar “kakaknya”, TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara). Walaupun demikian Rajawali Laut telah membuktikan kemampuannya dalam beraneka-ragam operasi militer dan sipil sejak tahun 1960-an dan dalam tugas utamanya mengawasi dan melindungi perairan nusantara, sekaligus sebagai mata dan kepanjangan tangan dari armada kapal perang milik angkatan laut. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)