Hari ini tepat 30 tahun yang lalu kecelakaan fatal menimpa CN235 beregistrasi PK-MNN milik MNA (Merpati Nusantara Airways).
Kecelakaan menjadi sorotan karena CN235 merupakan pesawat komuter buatan IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang sering digadang-gadang sebagai pesawat kebanggaan nasional. Lainnya karena yang menjadi PIC (Pilot in Command) adalah Captain Fierda Panggabean, salah satu dari dua pilot perempuan CN235 di MNA, dan telah meraih brevet full captain untuk pesawat tipe ini.
Pada hari nahas itu, pesawat buatan tahun 1990 diawaki dua pilot dan dua pramugari, dan diberi nosename “Trangan” (bukan “Trangadi” seperti yang ditulis di media cetak pada waktu itu), nama pulau di Kepulauan Aru, sedang melaksanakan terbang rutin, melayani rute Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ke Semarang, Jawa Tengah, lalu berakhir di Bandung, Jawa Barat. Rute tersebut juga bukan rute baru bagi Captain Fierda, sudah ratusan kali dijalani baik sebagai kopilot maupun PIC di pesawat CN235.
Ilustrasi yang menggambarkan kira-kira perjalanan nahas “Trangan”. Karena cuaca buruk, rute W16S dialihkan dengan membelok ke arah selatan menuju Tasikmalaya yang akhirnya menabrak Gunung Puntang.
Ilustrasi rute “Trangan”. Cuaca buruk setelah terbang melewati Cirebon menuju Bandung menjadi sebab utama terjadinya kecelakaan, selain kesalahan pilot.
Lepas landas dari Bandara Ahmad Yani sekitar pukul 13.08 WIB (Waktu Indonesia Barat), pesawat dengan nomor penerbangan (flight number) MZ-5601 seharusnya mendarat di Bandung pada pukul 13.56 WIB. Saat berada di atas Cirebon, hujan deras dan badai kilat disertai dengan awan Cb (Cumulus Nimbus) menerpa wilayah Bandung dan sekitarnya. Karena situasi ini, Captain Fierda dan kopilot Adnan S. Paago memutuskan untuk tidak terbang mengikuti rute seperti biasanya, melainkan terbang berbelok ke arah selatan lalu tenggara menuju Tasikmalaya.
Dari sana pesawat akan berbelok ke arah utara, melewati deretan pegunungan, menuju Bandara Husein Sastranegara. Kontak terakhir ke Bandung Approach, kedua pilot meminta izin turun ke ketinggian dari 11.500 kaki menuju 8.500 kaki pada pukul 13.42 WIB. Itu merupakan kontak terakhir mereka. Diperkirakan 16 menit kemudian pesawat menabrak Gunung Puntang, yang posisinya bersisian dengan Gunung Papandayan di wilayah Garut. Pesawat terhempas keras dengan kecepatan mencapai 420 km/jam. Suaranya begitu keras sehingga sampai terdengar oleh masyarakat Desa Cipaganti. Api reruntuhan terguyur hujan deras dan tanah yang basah, menyisakan asap hitam.
Perencanaan proses SAR (Search & Air Rescue) dilakukan pada sore hari setelah mendapat laporan dari masyarakat Desa Canggah, Sumedang bahwa ada pesawat yang terbang rendah. Pesawat dan helikopter dari IPTN terbang berputar-putar di wilayah Garut dan Sumedang, dan tidak menemukan apa-apa. Baru kemudian titik lokasi kecelakaan ditemukan besok harinya, pada pukul 06.00 WIB setelah masuk laporan baru dari masyarakat Desa Cipaganti.
CN235 PK-MNN “Trangan” yang berakhir nahas di Gunung Puntang, dengan reruntuhan hanya menyisakan ekor pesawat yang masih relatif utuh.
Basarnas baru menemukan posisi titik kecelakaan pada tanggal 19 Oktober 1992 atau sehari setelahnya setelah mendapatkan laporan dari warga Cipaganti.
Tim Basarnas (Badan SAR Nasional) Udara yang terdiri dari Paskhas (Pasukan Khas) TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara) dari Husein Sastranegara dan Atang Senjaya, Bogor segera diterbangkan dengan helikopter dan berada di lokasi kejadian. Masih dibantu tim darat dari TNI-AD (Angkatan Darat), Brimob (Brigade Mobile) Kepolisian, dan masyarakat Desa Cipaganti. Pendirian posko (pos komando) SAR untuk memproses evakuasi korban dan reruntuhan pesawat dilaksanakan empat jam kemudian. Medannya terhitung sulit, reruntuhan pesawat hanya menyisakan ekor, berada di tebing gunung di ketinggian dua km dari atas permukaan laut.
Faktor cuaca buruk menjadi faktor utama dalam kecelakaan ini. Dipertanyakan pula kenapa kedua pilot memutuskan untuk terbang ke selatan dan tenggara, padahal jika tetap berada di jalur penerbangan dan naik ke ketinggian 12.000 kaki sebenarnya cukup aman. Atau terbang ke arah utara dengan kemungkinan divert menuju Jakarta. Apalagi keputusan untuk menurunkan ketinggian ke 8.500 kaki, padahal kawasan pegunungan di sekitarnya memiliki tinggi kurang lebih 9.000 kaki.
Bisa jadi Captain Fierda dan kopilot Adnan S. Paago melihat bahwa kondisi cuaca di sebelah selatan sedikit lebih baik dan berharap menemukan “celah” di antara awan-awan gelap dan deretan pegunungan. Informasi lainnya kemungkinan mereka mengikuti faktor kebiasaan dari pilot-pilot lainnya yang mengambil arah selatan jika cuaca tidak bersahabat. Harapan tinggal harapan, perkiraan mereka salah, di sebelah selatan cuaca ternyata sama buruknya. Faktor angin kencang menerpa dinding dan tebing gunung juga tidak dapat diabaikan, besar kemungkinan pesawat yang tergolong baru dengan umur jam terbang mencapai 2.050 jam ini terjebak tubulensi di atas Garut.
Selain Basarnas, peran warga Cipaganti dalam membantu evakuasi reruntuhan dan korban sangat besar, apalagi kondisi medan cukup sulit.
Salah satu tim Basarnas yang dilibatkan dalam evakuasi kecelakaan “Trangan” adalah Pashkas yang diterbangkan dengan helikopter Aérospatiale SA330 Puma dari Atang Senjaya, Bogor.
Bacharudin Jusuf Habibie yang menjadi Menristek (Menteri Riset dan Teknologi) sekaligus direktur utama IPTN saat itu menyanggah isu adanya kesalahan desain dari pesawat produksinya. KNKT (Komisi National Keselamatan Transportasi) dari penyelidikan lewat kotak hitam (black box) menyebut kesalahan pilot akibat kondisi cuaca buruk sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan. CN235 sendiri merupakan pesawat yang populer sebagai pesawat angkut militer namun tidak demikian halnya dengan versi sipil (disebut juga sebagai CN235-10), dengan MNA sebagai operator terbesar pesawat berkapasitas 35 penumpang ini, mengoperasikan sampai 15 unit.
PK-MNN “Trangan” tercatat dalam sejarah penerbangan sebagai kecelakaan pertama yang menimpa CN235, dengan meminta korban sampai 31 jiwa. Sebagai bentuk ucapan terimakasih terhadap masyarakat Desa Cipaganti yang telah banyak membantu evakuasi korban, setahun kemudian pemerintah daerah Garut dan manajemen MNA dengan dibantu TNI-AD dari Kodam (Komando Daerah Militer) III Siliwangi, memperbaiki jalan desa sekaligus mendirikan tugu peringatan peristiwa kecelakaan ini lengkap dengan salah satu baling-baling pesawat PK-MNN di depan kantor Desa Cipaganti. (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)